SETINGGI LANGIT DAN BINTANG

Bramanditya
Chapter #12

Sebuah Rencana

Pesawat mereka keluar dari lubang cancing dan melaju kembali dengan kecepatan normal.

Wajah-wajah tegang mereka masih terlukis dengan jelas dan disambut dengan hembusan nafas lega setelah mereka tahan beberapa saat lalu.

Erika terjatuh, lalu Vera dan Surya segera melepas sabuk pengamannya untuk membantunya.

Sementara Roni, setelah melepas sabuk pengamannya, perlahan berdiri namun sedetik kemudian dia jatuh pingsan.

"Ron ...," teriak Surya menghampirinya.

"Pemula," ejek Adam dan disambut senyuman dari Vera dan Erika.

"Kamu baik-baik saja?" Vera membantu Erika berdiri.

"Kelihatannya ada yang lebih parah."

Mereka berdua tersenyum dan menghampiri Surya dan Roni.

"Kita perlu menamparnya?"

"Aku baik-baik saja, hanya butuh waktu menyesuaikan diriku." Roni merespon dengan cepat pertanyaan Erika dan disambut senyuman semua.

Kini mereka duduk kembali di kursi mereka masing-masing.

"Apa yang terjadi seandainya kita masuk ke dalam lubang hitam tadi?" tanya Roni menatap pada Adam dan diikuti semuanya.

"Spagetifikasi."

"Hah ... apa?"

Roni penasaran dengan jawaban Erika.

"Seperti sehelai mie atau spageti, seperti itulah saat tubuhmu tersedot kedalam lubang hitam. Terkoyak sampai ukuran micrometer."

Semua terdiam dan menatap Erika mendengar jawabannya.

"Otakku masih sama," protes Erika karena melihat tatapan sahabat-sahabatnya yang meremehkannya.

"Terimakasih memberitahuku sekarang." Roni menggerutu dengan wajah kesal.

"Ada apa dengan kekuatanmu tadi?"

Semua kembali menatap kearah Adam dan menunggu jawaban dari pertanyaan Surya.

"Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi saat berada di sekitar lubang hitam atau horizon peristiwa. Aku seperti kehilangan kekuatan saat berada di sekitarnya."

"Lubang hitam adalah mimpi buruk bagi semesta," tambah Adam yang disambut dengan keheningan diantara mereka.

"Bagaimana sekarang? Apa rencanamu?" tanya Surya.

"Aku akan menyerahkan diri?"

Jawaban Adam membuat semua terkejut.

"Apa? Itu rencanamu? Kamu sedang bercandakan?" Surya berdiri dengan penuh emosi dan berjalan menuju belakang kursi lalu kembali menatap Surya.

"Serius?" tambah Roni.

"Adam?" teriak Vera.

"Dia sedang tidak bercanda?" Erika menenangkan teman-temannya dengan tatapan dingin kearah Adam, "Aku tebak kalau kita tidak akan bisa lolos dengan mudah saat memasuki planetmu."

Semua kembali menatap kearah Adam.

"Kita tidak akan lolos, aku yakinkan itu pada kalian. Untuk itulah aku dan Surya akan menyerahkan diri dan kalian bertiga akan aku turunkan di tempat yang aman dengan mengelabuhi tentara di planetku."

"Lalu apa yang kami lakukan? Menunggumu atau membebaskanmu?" Roni berdiri dan menatap Adam penasaran.

"Kalian tidak perlu membebaskanku, cukup menuju tempat tinggalku dan menunggu kami disana. Aku akan memberikan peralatan agar kalian mudah menuju rumahku."

"Kami ....?" Vera angkat bicara, "Maksudmu kamu dan Suryakan?"

Semua kembali menatap Adam dengan wajah serius.

"Aku harus bertemu dengan sesorang di tempat mereka mengurungnya dan membebaskan teman-temanku yang telah membantuku lolos dari para tentara dan keluar dari planetku."

"Siapa?" tanya Surya penasaran.

"Dia rekan kerja orang tuaku. Dia yang tahu dimana mesin waktu berada."

Surya menatap tajam mendengar kalimat Adam.

"Apa yang tidak kamu ceritakan pada kami? Aku merasa ini bukan hanya sekedar misi sederhana mengambil sebuah mesin waktu ..."

"Tunggu dulu, kamu yakin teman-temanmu masih terkurung disana setelah sepuluh tahun berlalu," sela Roni.

Semua terdiam menunggu jawaban dari Adam dan menatapnya.

"Mungkin aku sudah sepuluh tahun berada di Bumi, tapi aku hanya meninggalkan planetku selama sehari."

Semua memunculkan ekspresi terkejut di wajah mereka.

"Maksudmu bagaimana? Aku ... aku tidak paham."

Erika menoleh kearah Roni, "Saat kita berada di planetnya, waktu akan berjalan lebih lambat dari pada di Bumi Ron. Sehari berada di planetnya sama dengan sepuluh tahun di Bumi."

Roni menatap Erika dengan terkejut. "Tapi bagaimana bisa?"

Lihat selengkapnya