“Itu nggak benar pak.” kataku lirih sambil memain-mainkan pulpen. Pak Joko menurunkan kacamatanya. Teman-teman di kelas menoleh ke arahku terkejut tapi kemudian menghembuskan nafas tidak tertarik.
“Sudah dong, Diene,” tegur Rana, teman semejaku. Tapi aku bergeming.
“Apa kamu bilang?” Pak Joko menyahut dengan suara menggelegar.
“Konsep tentang cara membedakan planet dan bintang pada malam hari adalah planet tidak berkedip dan hanya bintang yang berkedip, itu tidak benar.”
“Apa alasannya? Jangan asal sebut.”
“Bintang berpijar sedangkan planet tidak, karena bintang memancarkan cahaya sendiri, sedangkan planet hanya memantulkan cahaya matahari, itu benar pak. Tapi jika bicara berkedip atau tidak, baik planet maupun bintang itu sama-sama berkedip. Kedipan itu disebabkan oleh berubahnya rapat udara dalam atmosfer bumi. Lapisan atmosfer itu membuat terjadi simpangan pada garis pandang kita.”
“Ah ngaco kamu.“
“Tidak ada yang ngaco disini pak, penyebab kedipan itu bukan pada bendanya, tetapi karena atmosfer kita. Dilihat dari permukaan bumi, planet memang tidak berkedip. Tapi pada kondisi atmosfer yang turbulensinya sangat kuat, atau saat planet berada di dekat horizon, planet juga berkedip.”
“Memangnya kamu pernah melihat atmosfer dari dekat?” Ejek pak Joko. Aku mulai emosi. Pegangan Rana pada tanganku kutepis.
“Hahaha. Kalau begitu, berarti bapak pernah ke luar angkasa?”
Wajah pak Joko memerah.
“Keluar kamu!” Kata Pak Joko. “Pintar bukan berarti bisa sok tau. Jelaskan dengan baik dan beralasan!”
Aku berdiri dan menunjukkan padanya bahwa aku tidak takut. “Oke!”
Begitulah awal hariku terjadi, lagi. Karena ini bukan kali pertama. Aku kerapkali bersitegang dengan guru-guru karena tidak tahan mendengar mereka asal bicara. Ayah terpaksa harus ke kantor konseling terlebih dulu ketika menjemputku pulang. Dengan setengah menunduk, ayah meminta di hadapan guru konseling dan Pak Joko. Guru konseling terlihat sungkan, padahal tadi dia menatapku seperti ingin memakanku. Apa-apaan mereka, dasar hipokrit. Kenapa tidak keluarkan saja aku? Mereka itu hanya butuh uang para orangtua kan? Pada akhirnya, sekolah adalah bisnis. Cih.
Guru-guru konseling itu makan gaji buta. Seharian cuma duduk di ruang konseling dan bergosip, apa lagi yang lebih buruk dari itu? Mereka sama sekali tidak memberi solusi buat siswa, hanya berusaha menunjukkan bahwa kolega mereka tidak bersalah.
“Yah, untuk apa ayah menunduk begitu. Aku kan tidak salah,” bisikku saat kami keluar dari ruang konseling.
Ayah terdiam dan berhenti berjalan. Wajahnya yang marah memandangiku lekat, tapi dia tak mengatakan apapun. Aku menelan ludah, ayah pasti marah sekali. Ia lalu kembali berjalan.
Aku menunduk.
"Kau itu sudah kelas 3, Diene. Kurang-kurangi egomu. Sebentar lagi kan lulus." Aku diam dan bersiap mendengarkan Ayah lebih banyak. Tapi dia tidak berkata-kata lagi. Ayah pasti capek sekali.
_____________________________________
“Jadi akhirnya kau mau masuk mana, Diene?” Rana menanyaiku dengan mulut penuh. Bel baru berbunyi setengah menit yang lalu, tapi makanan bekalnya sudah berkurang separuh.
“Kau ini kelaparan atau bagaimana sih?” Aku setengah tertawa. Dia mendorongku malu.
“Aku kan les full. Sore kita tambahan di sekolah. Pulang les di OG, malam privat.”
“Untuk apa kau capek-capek begitu. Tidak sayang badan?”
“Kau sih pintar, mudah ngomong begitu. Eh, kau belum jawab. Jadi sudah kau tentukan belum? Sudah dibicarakan dengan ayahmu soal tawaran di Institut Teknologi Indonesia Raya? Kita bisa kuliah bareng.”
Aku tersenyum pahit. “Untuk hal ini, aku agak iri tidak sekaya kau, Rana.”
Rana terbelalak, “Jadi kaya itu nggak enak. Temanku kan cuma kau.” Aku tak menjawab, hanya menatapnya dengan aneh. Apa dia? Bercanda? Rana, cantik, modis dan kaya. Makan banyak tapi tidak bisa gemuk. Tipikal ideal anak perempuan. Tapi penampilannya sederhana. Tidak pernah jajan ke kantin, karena selalu bawa bekal dari rumah. Bicara juga yang perlu-perlu saja. Tentu saja yang mau jadi temannya banyak, tapi dia tidak suka teman-teman mengikutinya karena uang. Yang mau jadi pacarnya juga mengantri.
“Hai!” tiba-tiba suara halus menyapa kami. Ares. Dia sepupu Rana dan…pacarku, kalau kubisa bilang begitu. Ares langsung menarik bangku dan duduk di dekat kami.
“Kok kau nggak ke kelas? Kutunggu padahal. Sakit?” Tanya Ares padaku. Sorot matanya yang lembut namun tajam menatapku penuh selidik. Aku tersenyum.
“Tidak, aku sedang malas saja.”
“Kau selalu begitu kalau sedang sakit. Bohong saja. Atau aku ada salah?”
“Aku perlu permisi tidak?” sahut Rana menginterupsi. Mulai lagi. Rana selalu risau melihat interaksi kami, dan cara Ares memperlakukanku di depannya.
“Halah, makanya cari pacar!” Ejek Ares. “Biar ada yang perhatiin!”
Aku sebenarnya tidak suka dua orang ini bertemu. Pasti ada saja yang mereka perdebatkan. Orangtua mereka juga sebenarnya tidak akur karena masalah perusahaan keluarga. Kakek Ares dan Rana adalah orang paling kaya di Kalimantan. Mungkin salah satu di Indonesia. Perusahaannya multisektor bernama Gusti Maju Group membawahi banyak jenis bisnis dari makanan, pakaian, perabotan, hingga kosmetik. Ayah mereka adalah saudara. Ayah Ares yang lebih tua, tetapi ayah Rana lebih kompeten dalam bisnis. Sehingga ada kemungkinan bisnis keluarga mereka akan jatuh ke tangan ayah Rana. Tidak heran hubungan mereka buruk dan tak mau mengakui hubungan kerabat. Tapi sekilas pun orang tahu mereka masih keluarga, dengan wajah bak dewa dewi seperti itu, sangat kentara.
“Siapa yang mau pacaran? Repot. Norak pula. Aku tau Diene tidak senorak itu. Kau itu yang norak.”
“Yah, kau tidak pernah coba juga. Bilang saja kau tidak laku.”
“Hah. Lihat saja, sampai kapan dengan gaya playboy begitu kau bertahan dengan Diene. Bukannya baru setahun juga? Memangnya yakin kalian akan selamanya? Congkak.”
Ares nampak kesal. Dia berdiri sambil menggebrak meja. Tidak mau kalah.
“Sudah Res, apa sih. Kalian ini begitu terus,” cegahku.
“Dengar Diene,” Tiba-tiba Ares menyebut namaku. Tapi wajahnya masih menatap Rana. Teman-teman di kelas yang awalnya ribut, ikut diam. Sepertinya Ares sadar suasana menjadi sepi. Dramatis.
“Eh yang lain boleh juga deh, dengarkan.”
“Apa sih Ares,” aku jadi panik melihat pandangan anak-anak kearah kami.
“Lepas kuliah nanti, aku akan menikah dengan Diene. Bagaimana menurutmu?”
Rana terbelalak. Aku melongo. Semua anak di kelas ikut kaget. Tapi dua detik kemudian, terdengar siulan dan kelas langsung bergemuruh.
“Lamaran! Itu lamaran kan barusan!”
“Ares kau gentleman,” Aryo si ketua kelas menghampiri dan menyalami Ares sambil tertawa. Tapi wajah Ares masih serius. Aku merasa seperti bagian dari lelucon di situ.
“Yah, tertutup sudah harapanku,” terdengar bisik-bisik anak perempuan. Aku memegangi kepalaku yang tidak sakit. Aku frustrasi. Benar-benar tidak mengerti jalan pikiran Ares.
“Tuh Res, padahal Diene biasanya cool! Bisa kaget begitu.” Teriak Kadita, biang gosip sekolah, sayup-sayup. Alamat bahwa itu mungkin akan dikenang dalam sejarah sekolah.
______________________________________
“Kau apa sih!” teriakku kesal pada Ares. Kuajak dia bicara di belakang taman hidroponik. Tempat kami belajar bersama biasanya.
“Loh, dia menyangsikan kita, Di. Sisi bagusnya kan dia tidak menjawab lagi setelah itu.”
“Sisi bagus buat siapa? Kau?”
“Apa salahnya? Aku memang suka padamu kan?”
“Tapi jangan seperti itu.”
Ares menghela nafas tidak mengerti. “Kenapa? Kau malu?”
“Bukan begitu maksudku Res. Kau selalu begitu kalau sudah soal Rana. Tapi kali ini kau bawa-bawa aku. Aku bukan bagian dari taruhan kalian.”
Ares senyap.
“Aku tidak terlibat dalam urusan kalian. Lain kali, tolong jangan bawa-bawa aku. Oke?"
“Kenapa tidak?”
“Ya ampun, Res…”
“Kelak kau akan bersamaku juga kan?”
Aku masih tidak bisa mengerti jalan berpikir Ares. Ares cukup pintar. Dia juara kelas di kelas lain. Tapi dia dan Rana sama saja, bahkan soal aku pun mereka tidak mau kalah.
Aku menatapnya dengan perih. Sebenarnya ada yang ingin kusampaikan pada Ares, tapi tidak hari ini. Aku berusaha mengurangi interaksi dengan Ares akhir-akhir ini. Kemungkinan bahwa aku tidak akan bisa satu tempat kuliah dengan Ares, harus aku sampaikan dari sekarang.
“Ares, kau ambil di ITIR?”
“Tentu, kau di sana juga kan?”
“Sepertinya tidak Res.”
Ares menatapku heran.
“Kenapa Di?”
“Aku tidak akan mampu sekolah di sana. Aku juga harus mengurus adikku di sini bersama ayah.”
“Tapi…. Ada beasiswa kan? Aku bisa bantu kau mengurusnya.”
Aku melihatnya dengan wajah marah. Mengurus? Cara mengurus apa yang anak-anak orang kaya tau? Aku bukannya tidak bisa lolos seleksi masuk, tapi tidak bisa membayar.
“Tidak usah. Aku tidak mau, dan jangan coba-coba lakukan.”
Kami hening sesaat dan sama-sama menunduk.
“Res…”
Ares masih menunduk.
“Aku sebenarnya ingin mengatakan ini nanti... tapi sepertinya sekarang juga sama saja. Kita putus saja ya.”
Ares hening sejenak. Lalu dia mendongak.
"Apa?"
______________________________________
Malam itu tak ada lagi pesan dari Ares. Tentu saja tidak, aku sudah membuatnya terluka tadi siang. Dia bahkan tak bisa berkata apa-apa saat kupinta putus. Hubungan kita baik-baik saja selama setahun ini, bahkan sangat supportif terutama dalam urusan belajar. Dia pernah mengatakan kalau sudah menyukaiku dari kelas 3 SMP. Jadi saat berhasil mendapatkanku, dia sampai mentraktir teman sekelasnya. Memang sih kadang-kadang dia agak nakal, tapi aku tetap perduli padanya karena dia cukup baik.
Hari ini mungkin dia benar-benar tak mengerti mengapa aku tak tertarik hubungan jarak jauh. Sebelum dia sempat bertanya, kutinggalkan dia. Aku tidak akan membiarkan diriku terluka lebih dalam karena menyukai seseorang secara berlebihan. Bagaimana jika di tempatnya yang baru dia menyukai orang lain? Itu akan menyulitkannya.