Setitik Cahaya Yang Meredup

sandra firnawati
Chapter #2

#2 Langkah Baru

Pangalengan, Juli 1993

Ini adalah hari pertamaku masuk kesekolah dengan status sebagai anak SMP dan juga hari pertama aku masuk kembali kesekolah setelah kepergian abah, karena saat abah meninggal waktu itu saat liburan kenaikan kelas dan ini pun adalah hari pertamaku datang kesekolah dengan predikat sebagai anak yatim. Ini sudah 3 minggu dari sejak kematian abah, tapi jujur saja, kami sekeluarga masih sangat merasa kehilangan abah. Mata emak pun masih sering terlihat sembab, mungkin karena hampir tiap malam, emak masih sering menangis tiap kali merindukan abah.

Aku tidak begitu paham dengan masalah perekonomian keluarga, namun itu jelas menjadi persoalan yang akhirnya harus dihadapi keluarga kami. Emak yang hanya ibu rumah tangga, tak punya penghasilan apapun. Selama ini, walaupun abah sudah pensiun tapi abah masih rajin mengurus sawah dan ladang yang selama ini kami andalkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, walaupun kakak-kakakku yang diluar kota pun rutin tiap bulan mengirimi uang untuk abah dan emak, tapi abah merasa tanggungjawab mencari nafkah tetaplah menjadi tanggungjawab abah, jadi abah tidak mau mengandalkan uang kiriman kakak-kakakku. Hampir semua uang yang dikirimkan kakak-kakakku dipakai hanya untuk bayar spp sekolah aku dan biaya kursus teh Kokom.

Teh Kokom yang selama ini kursus menjahit, akhirnya sekarang memutuskan untuk kursus sambil bekerja supaya bisa membiayai biaya kursusnya sendiri. Kang Ari yang sejak lama mengganggur, memutuskan untuk mencari kerja dijakarta ikut kang Herman, kakak nomor 2 ku yang sudah berkeluarga. Sedangkan aku yang baru saja masuk SMP, sempat ditawari untuk ikut kang Heru ke Bekasi untuk tinggal bersamanya dan keluarganya, namun aku menolak, selain karena merasa risih bila harus tinggal dengan orang lain walaupun kakakku sendiri, juga karena aku tidak tega meninggalkan emak. Aku ingin selalu bersama emak dan menghibur hati emak yang masih bersedih dan mungkin akan selalu sedih atas kepergian abah. Tapi entah mengapa, emak pun beberapa kali membujuk aku untuk mau ikut tinggal dengan kang Heru.

"Neng, lebih baik kamu tinggal sama Heru di bekasi. Supaya ada yang urus dan biayai kehidupan kamu."

"Neng ga mau mak. Neng pengen disini aja sama emak, nemenin emak."

"Tapi sekarang abah udah ga ada Neng, kan kamu tau sendiri, uang pensiunan abah udah habis, emak pun ga kerja apa-apa, sedangkan kamu masih harus melanjutkan sekolah kamu. Emak ga mau kalo nanti kamu harus putus sekolah ditengah jalan hanya karena biaya sekolah ga bisa dibayar."

"Tapi Neng maunya sama emak. Ga apa-apa Neng ga sekolah yang penting Neng tetap tinggal sama-sama dengan emak."

Aku mulai menangis sambil memeluk erat emak, seolah-olah takut dipisahkan dengan emak. Emak ikut menangis.

"Yang paling penting itu kelanjutan hidup kamu Neng, kamu harus bisa sekolah setinggi-tingginya, minimal sampai kamu lulus SMA. Lagipula disana kan ada Ani yang usianya ga jauh dengan kamu, hanya selisih 3 tahun lebih tua dari kamu, jadi nanti disana kamu malah ada temannya."

"Justru itu mak..Neng tuh ga suka sama anak-anaknya kang Heru. Neng ngerasa kalo mereka itu ga suka sama Neng. Setiap kali mereka liburan disini, mereka selalu cuek bahkan jarang ngobrol sama Neng, padahal walaupun usia Neng lebih muda dari mereka, tapi kan Neng ini tetap aja bibi kecilnya mereka. Apalagi yang namanya Ani, dia galak banget, Neng bisa ngerasain kalo dia bukan sekedar ga suka sama Neng tapi lebih tepatnya membenci Neng, padahal apa salah Neng sama dia? Lagian kenapa sih emak dari kemarin ngebujuk-bujuk terus Neng supaya tinggal sama kang Heru? Selama ini yang Neng liat, sepertinya emak dan abah selalu mengistimewakan kang Heru dibanding akang-akang atau teteh-tetehnya Neng yang lainnya dihadapan Neng."

Ya, aku terkadang heran dengan sikap emak dan abah setiap kali kang Heru dan anak-anaknya datang berkunjung kerumah. Akulah yang selalu disuruh untuk menyuguhkan minuman dan makanan untuk mereka, dan aku juga yang selalu disuruh untuk ngajak main atau bergabung dengan anak-anaknya kang Heru, yang padahal aku rasakan, mereka ga suka dengan kehadiran aku didekat mereka. Ani yang jelas-jelas menunjukan rasa bencinya padaku, yang sering kali aku ajak bicara dia diam saja dengan wajah judesnya, kadang dia menatapku dengan tatapan sinisnya, bahkan setiap kali aku ajak bersalaman, dia selalu menepis tanganku. Tatapan dan sikap mereka membuatku seolah menjadi seorang terdakwa dari kasus kriminal yang harus dihukum mati.

Lalu sekarang aku diminta untuk tinggal bersama mereka, itu sama saja dengan aku menjebloskan diri ke dalam kandang harimau. Entah apa salahku, mereka tidak pernah beritahu, entah apa masalahnya, mereka tidak pernah menjelaskan padaku. Kalaupun aku mengadu pada abah atau emak, mereka hanya bilang, "ah, itu mungkin karena mereka masih lelah baru sampai disini, kan perjalanan dari Bekasi ke Pangalengan sangat jauh, sampai 6 jam perjalanan. Wajar kalau mereka kelelahan dan akhirnya bersikap seperti ga peduli sama kamu." Atau, kalau aku bercerita sama teh Kokom atau kang Ari, mereka selalu jawab, "itu hanya perasaan kamu aja Neng, mereka emang begitu, biasa aja."

Padahal Lia, Wahyu, Dede,-anak dari teh Wiwin- juga Fitri dan Elis-anak kang Herman-yang rumahnya pun sama jauh dengan rumah kang Heru, butuh hampir 6 jam lebih untuk sampai dirumah kami dari rumah mereka di Tangerang dan Jakarta, setiap kali mereka datang dan berlibur kerumah abah, pastilah mereka pun lelah tapi mereka tetap terlihat senang dan bersikap sangat baik padaku, bahkan selalu seru main denganku.

Entahlah kenapa dengan anak-anak kang Heru seperti itu padaku, yang pasti setiap aku ingat-ingat, memang aku tidak pernah membuat kesalahan apapun pada mereka, jadi aku pun belajar untuk tidak mempedulikan sikap mereka yang benci sama aku.

"Maaf yah mak, aku menolak ajakan kang Heru untuk tinggal bersamanya. Aku memilih untuk tetep tinggal disini, diPangalengan, nemenin emak sampai kapanpun. Ga apa-apa kalo nanti Neng harus berhenti sekolah karena tidak ada biaya, kan Neng nanti bisa minta diajarin ngejahit sama teh Kokom, terus ikut kerja dipabrik konveksi bu Ratna, tempat kerja teh Kokom, jadi emak ga perlu khawatirin Neng yah? Dan jangan lagi nyuruh-nyuruh Neng untuk ikut kang Heru ke Bekasi."

Emak tak menjawab apa-apa, emak hanya memelukku sangat erat seolah-olah emak tak ingin aku pergi dari sisinya. Aku tidak mengerti mengapa emak begitu sering memintaku untuk mau tinggal dengan kang Heru dan mengapa harus kang heru saja? Mengapa emak tidak memintaku tinggal bersama teh Wiwin yang jelas-jelas suami juga anak-anak teh Wiwin sangat dekat dan akrab denganku, walaupun sebenarnya juga jika emak meminta aku untuk tinggal bersama teh Wiwin, tetap saja aku tidak akan mau. Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah meninggalkan emak, aku akan selalu membawa emak kemanapun aku pergi.

Begitulah hari-hari yang terjadi selepas abah berpulang. Hampir setiap hari emak mencoba membujuk aku untuk mau tinggal dengan kang Heru. Bahkan di hari pertama aku masuk sekolah pun, emak masih saja membahas masalah itu lagi, padahal sudah jelas-jelas aku menolak terus-terusan.

“Neng yakin ga mau nyoba dulu tinggal sama kang Heru diBekasi? Dikota loh Neng. Kamu mungkin bisa sukses disana, trus nanti kan Neng juga masih bisa kunjungi emak sesekali setiap liburan sekolah.”

“Hm mm..” Aku malas menjawab pertanyaan emak.

“Disana sekolahannya bagus loh Neng. Ga seperti disini, dikampung. Dikampung fasilitas sekolahnya juga ga lengkap. Lagipula kalo kamu tinggal sama akang kamu, kamu bisa sekolah bareng sama Ani. Berangkat dan pulang sekolah bareng-bareng. Emak yakin, lama-lama yanti pasti berubah sikapnya sama kamu”

“Hm mm..” Aku masih juga malas menjawab emak. Aku pura-pura sibuk menyiapkan perlengkapan sekolahku pagi itu, yang padahal sudah rapih karena sudah aku siapkan sejak semalam.

Lihat selengkapnya