Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis, tapi airmataku terus saja bercucuran. Sebenarnya aku tidak ingin menangisi diri aku sendiri, aku tidak mau seolah mengasihani diri sendiri, tapi apalah daya, memang nasibku ini sangat menyedihkan.
Pantas saja mereka menamaiku dengan nama Neneng CUCU Rahayu, bukan karena usiaku yang sepantaran dengan usia cucu-cucu abah dan emak, tapi karena memang aku adalah cucu mereka, mengapa aku tak pernah tersadar. Aku teringat, pernah suatu hari aku bertanya pada Ani atas sikap dingin dan judesnya padaku, dan waktu itu dia hanya menjawab, “semuanya gara-gara kamu” hanya itu jawabannya dan aku tidak pernah merasa penasaran dan tidak mencari tahu apa maksudnya karena aku tidak mau ambil pusing atas sikap Ani. Sekarang aku baru mengerti, jadi inilah yang Ani sebut, “semuanya gara-gara kamu”, karena kelahiranku, ibu mereka meninggal, padahal itu juga ibuku. Dan mereka jadi sangat membenci aku atas sesuatu yang bukan atas kemauanku.
Aahh.. airmata ini tidak bisa kuhentikan, sakit sekali rasanya menerima kenyataan pahit ini. Mengapa kalian harus seperti ini padaku? Salahkah aku yang terlahir kedunia ini? Mengapa emak dan abah tidak bilang saja padaku sejak dulu bahwa aku adalah cucu mereka? Apa karena saudara-saudara kandungku yang tidak bisa menerima kehadiranku? Dimana letak kesalahanku? Bahkan aku tidak bisa memaklumi semua cerita ini.
Ya Allah.. aku sedih sekali.
Kupandang langit diatasku, mulai gelap, warna jingga sore hari telah semakin memudar seiring terbenamnya sang mentari.
“Bah, langit neng kini gelap lagi, apakah nanti akan terang kembali?”
Aku berusaha mencari sinar di langit yang mulai menghitam, bahkan sepertinya malam ini tak akan ada bulan maupun bintang yang bersinar, sepertinya langit mewakili perasaanku saat ini. Sudah seharian aku lari dari rumah, bersembunyi ditempat yang mungkin tak akan ada yang menemukanku. Ini sebenarnya bukan lah tempat yang cocok untuk bersembunyi, karena ini adalah hanya tanah lapang diatas bukit yang dikelilingi oleh pepohonan rindang, tak ada ruangan maupun bangunan yang bisa aku jadikan tempat bersembunyi. Tapi aku memilih berada disini karena tempat ini jauh dari rumah, dan tempat ini merupakan tempat favorit untuk aku dan Aisyah. Kami pernah sesekali datang kesini untuk menikmati keindahan pemandangan diatas bukit.
Ya, dari sini sebagian besar kampung kami bisa terlihat sangat indah, kami bisa betah berlama-lama disini untuk berbincang, bersenda gurau, bahkan sambil menyantap makanan yang kami bawa dari rumah. Tapi karena jaraknya lumayan agak jauh dari rumah kami, makanya kami jarang sekali kesini, dan kini aku memilih untuk bersembunyi disini untuk membuang jauh semua kesedihan yang aku rasakan saat ini, setidaknya pemandangan disini bisa menghibur sedikit lara yang tengah aku rasakan.
Sewaktu abah pergi untuk selama-lamanya, aku pun merasakan sedih, tapi tidak terasa sakit seperti ini, sampai ingin pergi menjauh dari semua yang ada disekitarku. Sedih yang menyakitkan ini membuat aku ingin hanya sendiri, walau aku tak mengerti untuk apa aku harus sendiri, akankah mereka mencariku? Akan kah mereka mengkhawatirkanku? Harusnya aku tak usah hadir di dunia ini bila memang seperti ini kenyataannya.
Bayang-bayang abah dan emak yang selalu mengasihiku berkelebatan diantara bulir airmata yang terus berjatuhan. Emak dan abah begitu menyayangiku, tak pernah sedikitpun aku dicampakkan oleh mereka, bahkan emak dan abah tak pernah sekalipun membentak atau memarahi aku, hatiku mengakui bahwa kasih sayang abah dan emak padaku memanglah tulus, tapi kenyataan ini, ahh..sungguh ironis.
Apa yang harus aku lakukan setelah semua kenyataan ini terungkap? Penggilanku pada emak berubah jadi nenek? Aku memanggil kang Heru menjadi bapak? Yeti, Adi, Ani yang selama ini aku anggap sebagai keponakan besar,-karena usia mereka diatas aku-, akhirnya harus kupanggil dengan sebutan akang dan teteh??? Memuakkan membayangkan itu semua, statusku berubah seketika hanya karena selembar kertas data diri di raport. Lagi-lagi terjawab sudah pertanyaanku sewaktu emak membujuk aku untuk tinggal bersama kang Heru selepas abah meninggal, jadi karena inilah, karena emak ingin mengembalikanku pada keluarga nyataku, mengembalikan status asliku. Andai saja waktu itu emak menceritakan alasannya karena ini semua, tetap saja aku tak bisa menerima semua kenyataan pahit ini.
Banyak pertanyaan bermunculan dalam pikiranku. Tentang ide siapa menyembunyikan statusku selama ini? Tentang siapa saja yang tahu semua hal ini? Apakah anak-anak emak yang lain tahu mengenai ini semua? Pasti mereka tahu dan ikut menyembunyikannya dariku. Bahkan aku curiga, jangan-jangan bukan hanya keluargaku saja yang mengetahui tentang ini semua, apakah warga disekitar kami pun tahu? Pantas saja waktu itu nenek Aisyah keceplosan bicara tentang ‘kumpul para nenek’, bukan karena nek Irah menganggap aku cucunya emak, tapi pasti karena nek Irah tahu bahwa emak memanglah nenekku, dan jangan-jangan Aisyah pun sudah tahu lebih dulu tentang statusku ini, apa dia juga termasuk orang yang menyembunyikan kebenaran dariku?
Aarrrgghhhhh…
Semakin aku berfikir, membuatku semakin menyedihkan.
Lalu siapa lagi yang bisa aku percaya didunia ini? Semua orang menyembunyikan kebenaran dariku. Haruskah aku kembali pada mereka yang telah membohongiku?
Kupandang langit yang kini benar-benar sudah gelap.
“Neeeennnngggggggg!!!!!”
Tiba-tiba saja ada yang memelukku sangat erat. Aku tahu itu pasti Aisyah, disusul kemudian emak dan teh kokom yang ikut memelukku sangat erat. Pasti Aisyah yang menunjukkan tempat ini.
“Terimakasih Gusti ALLAH, akhirnya Neng Cucu ketemu, Alhamdulillah..” emak menciumi pipiku dan terus memelukku lagi.
“Neng, kamu ga apa-apa Neng? Kamu baik-baik aja kan Neng? Neng aku khawatir” Aisyah pun tidak melepaskan pelukannya padaku, sedang teh Kokom tidak berkata apa-apa, tapi aku tahu teh Kokom pun menangis saat memelukku.
“Neng, ayo pulang! Emak dan lainnya udah seharian nyariin kamu, ayo kita pulang Neng” emak merangkul tubuhku, berusaha mengajakku beranjak dari tempatku saat itu.
“Pulang kemana?” aku bertanya sambil menoleh memandang wajah emak
“Kita pulang ke rumah Neng, ayo pulang”
“Rumah siapa? Rumah emaknya Neng atau rumah neneknya Neng? Atau emak ingin Neng pulang kerumah orangtua Neng di Bekasi?” Pertanyaanku membuat emak menangis tersedu-sedu
“Maafkan emak Neng..maafkan emak! Ini pasti menyakitkan untuk kamu, tapi kamu harus bisa menerima semua ini”
“Menerima apa mak? Menerima bahwa Neng ternyata bukan anak emak dan abah melainkan cucu emak dan abah? Atau menerima bahwa selama ini Neng dibohongi oleh kalian semua?”
“Sudah Neng..sudah..ayo pulang Neng”
“Pulang kemana mak? Pulang kemana? Aku kan bukan anak emak” aku menangis sejadi-jadinya, tak pernah sekalipun terbayang dalam benakku, bahwa aku akan mengalami ini semua, bahkan bermimpi buruk seperti ini pun aku tak pernah. Emak tak sanggup menjawab pertanyaanku, emak hanya memelukku semakin erat.
“Sudahlah Neng, kamu ga perlu seperti ini pada emak, kasian emak Neng, seharian emak menangis mencari kamu kemana-mana, bahkan emak sampai ga makan. Kebenaran ini mungkin sangat berat buat kamu, tapi kamu jangan salahkan emak, ini bukan salah emak. Emak dan abah pun ga mau kamu mengalami ini semua. Kamu mungkin berfikir kami jahat sama kamu, tapi teteh yakin, kamu pasti bisa melalui semua ini dengan baik Neng.”
Teh Kokom yang sedari tadi tak bicara, akhirnya berusaha untuk menenangkan aku. Mendengar kata-kata teh Kokom, aku jadi teringat nasehat terakhir abah padaku, "neng cucu..kepahitan dalam hidup itu kadang akan menjadi obat untuk diri kita sendiri", apakah ini yang dimaksud oleh abah? Kepahitan ini kah bah?”