Pangalengan, Akhir Desember 1994
Akhirnya aku bisa menjalani hari-hariku dengan normal kembali. Persis seperti apa yang emak katakan, tidak ada yang berubah semenjak aku mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Walaupun di awal-awal terasa berat, namun karena dukungan dari orang-orang disekitarku yang begitu menyayangiku, maka aku bisa melewati semua fase itu dengan baik.
Sudah 1 tahun dan aku menjalani semuanya dengan baik-baik saja. Aku tetap memanggil emak pada emak, aku tetap memanggil teteh pada teh Kokom, dan hampir semuanya tetap sama, tidak berubah, kecuali satu hal. Emak bilang padaku, walaupun sekarang aku masih belum mau kembali kepada bapak dan saudara-saudara kandungku, namun emak meminta padaku untuk mengganti panggilan yang selama ini kang Heru dan Teh Lilis, kini menjadi bapak dan ibu. Begitu pula dengan panggilan kakak-kakakku, mulai sekarang aku harus mulai membiasakan diri memanggil akang dan teteh kepada mereka.
Bapakku sudah tahu bahwa aku sudah tahu tentang semua hal ini, dan lagi-lagi dia memintaku untuk mau tinggal bareng dengan mereka di Bekasi. Aku tetap menolak. Kali ini aku menolak bukan hanya karena aku tidak suka dengan perlakuan kakak-kakakku yang tidak menyenangkan padaku, tapi juga karena tekadku untuk selalu bersama emak dan menemani emak, semakin membesar. Lagipula, aku benar-benar sangat nyaman berada disini, ditambah dengan aku memiliki sahabat sebaik Aisyah, rasanya tidak mungkin aku bisa berpisah jauh dari Aisyah.
Semenjak aku sudah tahu tentang semuanya, Aisyah menjadi lebih perhatian padaku, mungkin itu cara Aisyah untuk menguatkanku, walaupun terkadang aku merasa geli sendiri dengan perhatian Aisyah yang berlebihan, seperti minggu lalu ketika liburan sekolah semesteran, rumah emak ramai kedatangan anak beserta cucu-cucunya. Ya, kabar tentang terungkapnya identitas asliku, sudah sampai ditelinga anak-anak emak, untuk mencairkan suasana yang sempat kaku diantara keluargaku, emak berinisitif untuk lebih sering mengadakan kumpul keluarga. Ah emak, kan suasana yang kaku hanya melibatkan aku seorang, itupun aku sudah berusaha untuk berlaku seperti biasanya, kenapa harus semua anggota keluarga dikumpulkan? Saat awal kumpul keluarga setelah terungkapnya kenyataan, terus terang memang aku sedikit agak kikuk saat bertemu dan berbincang dengan semuanya, termasuk dengan sepupu-sepupuku yang selama ini aku anggap ponakanku. Rasanya aneh membayangkan bahwa yang selama ini aku momong sebagai ponakanku, ternyata sepupuku. Bagusnya, karena usia kami berdekatan, sejak dulu mereka dibiasakan untuk memanggil teteh saja padaku, begitupun dengan kakak-kakak kandungku, sejak dulu mereka memanggilku dengan sebutan teteh walaupun sebenarnya usia mereka lebih tua dariku,-karena memang ternyata mereka kakak-kakakku-. Panggilan ponakan-ponakanku yang sekarang jadi sepupu-sepupuku, tetap memanggilku teteh, sedang kakak-kakak kandungku, sekarang memanggilku Neng cucu, bukan teteh lagi, aku terima itu.
Pada saat kumpul keluarga pertama kalinya, tepat beberapa hari setelah semua kenyataan terungkap, aku memilih untuk lebih banyak diam, memang karena perasaanku yang masih bercampur aduk, juga karena aku ada sedikit merasa seperti orang asing.
“Kamu kenapa Neng? Kok emak perhatikan, sepertinya kamu murung sekali. Kamu masih memikirkan tentang status kamu yah?” tanya emak padaku disela kesibukan emak menyiapkan banyak hidangan untuk anak-anak dan cucu-cucunya.
“Ga apa-apa mak. Neng hanya merasa sedikit berbeda. Ah mungkin itu hanya perasaan Neng aja mak, Neng belum bisa mengelola perasaan Neng dengan baik.”
“Emak maklum Neng. Tapi emak harap, Neng bisa lebih beradaptasi lagi dengan kenyataan yang sudah Neng ketahui sekarang, sebenarnya tidak ada yang berubah Neng, dulu dan sekarang, kamu tetap anggota dikeluarga ini.”
“Iya mak, Neng paham. Mungkin Neng hanya butuh waktu saja, perlahan-lahan Neng pasti bisa melewati ini semua”
“Kamu hebat Neng!! kamu memang luar biasa, persis seperti ibu kamu” mata emak berkaca-kaca menatap wajahku, senyum emak begitu teduh buatku, sama seperti senyum ibuku ditiap foto dirinya.
“Kalau Neng disuruh pilih, Neng akan memlih untuk tetap jadi anak emak dan abah. Neng sangat sayang sama emak dan abah.” Kupeluk emak dengan sangat erat. Apa yang aku ucapkan memang benar-benar apa yang ada didalam pikiranku.
“Kamu cucu emak, kamu juga anak emak, ga ada yang berubah Neng.”
“Iya mak”
“Tapi mungkin ada satu hal yang emak minta sama kamu.”
“Apa mak?”
“Walau kamu masih belum mau untuk kumpul kembali dengan bapak dan kakak-kakak kamu, tapi sejak sekarang, kamu mulailah untuk memanggil Bapakdan ibu kepada Heru dan Lilis juga sebutan akang teteh kepada kakak-kakak kamu”
Aku diam. Aku inginnya menolak, tapi bukankah aku sedang berusaha untuk menerima semua kenyataan yang ada? Meskipun emak berkali-kali bilang, tidak ada yang berubah, tapi tetap saja ada yang berbeda setelah semua terungkap.
“Baik mak, Neng akan coba memanggil bapak dan ibu kepada kang Heru dan teh Lilis, mulai sekarang. Neng juga akan memanggil akang dan teteh ke Yeti, Adi dan Ani.”
Liburan semesteran dikelas 1 tahun lalu, menjadi berbeda jauh dengan apa yang sudah aku rencanakan dengan aisyah. Daftar lokasi dan kegiatan yang sudah kami rangkai sedemikian rupa untuk kami berdua dan rencana mengajak cucu-cucu emak, akhirnya tidak terlaksana. Jangankan untuk bersenang-senang, untuk tersenyum pun aku masih berat. Pada liburan berikutnya pun, saat libur kenaikan kelas, pun sama. Anak-anak beserta cucu-cucu emak datang kembali kerumah emak, lengkap. Namun saat itu, kondisi hati aku sudah jauh lebih. Perjalanan berat yang memang sangat berat. Sudah tidak ada lagi airmata yang menetes tiba-tiba karena perasaan melow, perasaan hati aku sudah jauh lebih baik dari sebelumnya, tapi pikiranku masih terus bekerja, bagaimana cara aku untuk bisa ‘dekat’ dengan bapak dan kakak-kakakku saat mereka ada didekatku. Sebelum mereka semua datang kerumah, aku mengungkapkan kegelisahanku pada Aisyah.
“Syah, aku bingung deh”
“Bingung kenapa Neng?”
“Ya bingung aja”
“Iya tapi bingung karena apa? kamu ada masalah? Ayo cerita sama aku.”
“Ga ada apa-apa sih Syah.”
“Laahh terus kenapa kamu bingung? Tadi katanya bingung”
“Gini Syah, sebentar lagi kan keluarga ku bakalan liburan disini seperti liburan kemarin, termasuk bapak dan kakak-kakakku. Nah memang kan aku sejak dulu ga pernah dekat sama kakak-kakakku, sampai dengan detik ini pun kami memang sama sekali tidak dekat.”
“Terus?”
“Yaahh..kalau dulu kan aku ga peduli dengan sikap mereka sama aku karena aku belum tahu yang sesungguhnya, tapi sekarang kan beda Syah, aku udah tahu ceritanya, dan aku sudah bisa membayangkan bagaimana penderitaan mereka bertahun-tahun setelah kepergian ibu kami.”
“Terus?”