Setitik Cahaya Yang Meredup

sandra firnawati
Chapter #8

#8 Bogor

      Hampir tiap malam aku mendatangi rumah Aisyah. Aku berharap, dengan kehadiranku bisa sedikit mengobati luka yang dirasakan nek Irah maupun bi Esih. Kami merasakan rasa sakit yang sama dengan perginya Aisyah, mungkin dengan bersama, kami bisa semakin kuat menerima semua ini.

           Ini tahlil malam ke tujuh kematian Aisyah, sejak pulang sekolah siang tadi aku sudah berada di rumah Aisyah untuk bantu-bantu mempersiapkan acara tahlilan malam ini. Sudah 3 hari ini aku mulai bersekolah lagi karena kakiku yang diurut setelah kedua kalinya, pulih lebih cepat dan bisa dipakai beraktivitas seperti biasa lagi. Kakiku memang sudah tak mengapa, hatikulah yang masih terasa hampa. Apalagi saat aku pertama kali bersekolah setelah kepergian Aisyah, disudut manapun aku berada, selalu terbayang-bayang Aisyah yang biasa menemaniku. Bangku kosong disebelahku mampu menguras airmata kesedihanku, dimana-mana aku hanya melihat bayang-bayang Aisyah.

Syah, kamu beneran udah pergi yah? Kamu bahagia kan disana Syah?

Syah, aku rindu

Kapan kita bisa bertemu lagi Syah?

Kapan kita bisa tertawa-tawa lagi Syah?

Syah, aku benar-benar merindukan kamu Syah

           Airmataku membasahi pipiku lagi setiap kali teringat Aisyah. Aku duduk di meja belajar yang berada di kamar Aisyah, semuanya masih sama, bahkan aroma khas kamar Aisyah rasanya tidak berubah. Nek Irah dan bi Esih sengaja membiarkan kamar Aisyah tertata seperti biasanya, seperti terakhir kalinya Aisyah gunakan. Aisyah memang anak yang bersih dan rapih, semua barang Aisyah tertata dengan sangat apik di meja belajarnya. Kupandangi semua yang ada didalam kamar Aisyah, semuanya penuh dengan kenangan manis kami berdua. Dulu kami sering menghabiskan waktu untuk mengobrol berjam-jam di kamar ini saat aku sedang menginap di rumah Aisyah. Apapun kami ceritakan, apapun kami tertawakan, kami sungguh bahagia. Yang tak pernah ku tahu dan tak pernah diceritakan Aisyah padaku adalah mengenai status bapaknya Aisyah yang ternyata adalah seorang buronan polisi.

           Aku memaklumi mengapa Aisyah tidak pernah menceritakan hal itu padaku, mungkin karena bagi Aisyah itu bukan hal yang penting, juga mungkin karena Aisyah malu bila harus menceritakan hal itu padaku, bagaimanapun juga bagi Aisyah, mang Jajang tetaplah bapaknya meski menyandang status buronan polisi. Pantas saja nek Irah maupun bi Esih melarang keras Aisyah untuk bertemu dengan bapaknya, dan pantas juga waktu itu, aku suruh Aisyah ditemani oleh Ela pada saat menemui bapaknya, Aisyah sangat menolak, mungkin karena Aisyah tidak mau siapapun mengenali bapaknya kecuali aku.

           Menurut cerita bi Esih, sejak perceraian dia dengan mang Jajang, hidup mang Jajang menjadi lebih kacau dan kabarnya mang Jajang melakukan tindak pencurian yang akhirnya membuat dia menjadi buronan polisi. Bi Esih tidak pernah menyangka mang Jajang bisa dengan tega membunuh darah dagingnya sendiri. Walau selama proses penyidikan, mang Jajang selalu bilang bahwa dia khilaf dan tidak berniat membunuh Aisyah saat itu, hanya saja situasi mental dia saat itu sedang labil sehingga tanpa sadar emosinya memuncak begitu Aisyah berkata dengan tegas bahwa Aisyah tidak akan mempertemukan dia dengan bi Esih, Aisyah pun berusaha terus menasehati mang Jajang sehingga mang Jajang hilang kendali kemudian mencekik leher Aisyah supaya Aisyah berhenti bicara, namun hanya dalam hitungan menit, Aisyah kehabisan nafas lalu menghembuskan nafas terakhir di tangan bapaknya sendiri.

           Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Aisyah saat itu, untuk bertemu dengan bapaknya seorang diri pun Aisyah sudah bersusah payah mengumpulkan segenap keberaniannya dan bahkan dia berusaha berbicara dengan tegas dan juga menasehati bapaknya yang dia sendiri tahu bagaimana kondisi emosional bapaknya, entah apa yang ada dipikiran Aisyah saat itu, entah apa yang membuatnya menjadi seberani itu.

“Neng, kamu masih disini?” sapa bi Esih mengagetkanku

“Eh iya bi. Neng masih kangen sama Aisyah. Dikamar Aisyah ini, Neng bisa merasakan kehadiran Aisyah walau hanya sekedar bayangan” mataku menerawang ke setiap sudut ruangan.

“Benar Neng. Bi Esih pun hampir setiap kali masuk kedalam kamar ini, seolah-olah melihat Aisyah yang tengah tertidur pulas dikasur ini. Selama ini bi Esih terlalu sibuk bekerja, sampai-sampai jarang meluangkan waktu untuk dihabiskan bersama-sama dengan Aisyah, bahkan bi Esih sampai enggak tahu bahwa ternyata Aisyah sudah 3 kali diam-diam bertemu dengan bapaknya.”

“Maafkan Neng yah bi, karena selama ini juga ikut menyembunyikan hal itu sama bi Esih maupun nek Irah. Selama ini Aisyah enggak pernah cerita status mang Jajang yang ternyata sedang jadi buronan polisi. Mungkin kalau Neng tahu tentang itu sejak awal, Neng juga enggak akan biarin Aisyah bertemu dengan mang Jajang, maafkan Neng yah bi” aku benar-benar merasa bersalah atas apa yang telah menimpa Aisyah, kadang rasa bersalah lebih menyakitkan daripada rasa kehilangan atas kematian Aisyah.

“Kamu enggak perlu minta maaf Neng, kamu enggak salah. Justru bi Esih yang mau berterimakasih sebanyak-banyaknya sama Neng karena selama ini Neng udah selalu setia nemenin dan jagain Aisyah dari bapaknya. Kematian Aisyah tetaplah sudah garis takdir dari Gusti ALLAH, mau bagaimanapun juga memang sudah waktunya Aisyah untuk pergi selama-lamanya. Hanya saja proses kematiannya yang kadang masih terasa sakit dan membuat kita sulit menerima” bi Esih membelai rambutku, aku hanya mampu menundukkan kepalaku, bagaimanapun juga masih ada sedikit rasa sesal di dalam lubuk hatiku.

“Neng kamu harus berusaha mengikhlaskan Aisyah yah, supaya Aisyah tenang di alam sana”pinta bi Esih padaku

“Iya bi, Neng sedang berusaha untuk bisa mengikhlaskan kepergian Aisyah.” Jawabku

“Makasih yah Neng” kata bi Esih sambil tersenyum padaku, senyum bi Esih persis sekali seperti senyum tulusnya Aisyah, aku menganggukkan kepala.

“Oh iya Neng, besok pagi bi Esih akan balik ke bandung karena harus kembali bekerja, boleh ga kalau bi Esih minta 1 permintaan sama Neng?’

“Apa itu bi?”

“Tolong Neng tetap rutin mampir kesini yah, supaya nenek enggak terlalu merasakan kesepian setelah kepergian Aisyah. Dan Neng juga boleh pakai kamar Aisyah ini sesuka hati Neng, anggap aja kamar ini sekarang adalah kamar kamu. Gimana? Kamu keberatan ga dengan permintaan bi Esih?”

“Iya bi, Neng akan main terus ke rumah ini, nemenin nek Irah juga. Tapi kamar ini tetap kamar Aisyah bi, Neng akan biarkan kamar ini seperti ini saja, supaya bayang Aisyah masih bisa menemani kita disini. Paling Neng pinjam buku-buku catatan Aisyah aja untuk Neng belajar, karena kan sebentar lagi mau EBTANAS, biasanya catatan-catatan Aisyah lebih lengkap dan lebih rapih daripada punya Neng”

“Iya Neng, silahkan kamu gunakan semuanya dengan sebaik-baiknya. Sekali lagi makasih yah Neng untuk segalanya” Kami berdua berpelukan, sudah tidak ada airmata, karena kami sedang mencoba ikhlas untuk Aisyah.

🔹🔹🔹

Pangalengan, Juni 1996

           Ini hari kelulusan kami, yaa..harusnya menjadi hari kelulusan kami, tapi karena Aisyah sudah tak ada, ini menjadi hari keluluan aku saja. Meskipun Aisyah sudah tidak ada dan belum sempat mengikuti EBTANAS, namun karena prestasi akademis Aisyah selama ini sangat baik dengan peringkat kedua atau kesatu dikelas, yang selalu bersaingan denganku, maka pihak sekolah pun mengundang keluarga Aisyah untuk datang di acara kelulusan sekolah kami. Bi Esih yang datang dan sekolah memberikan penghargaan atas nilai-nilai terbaiknya Aisyah selama ini, bi Esih diminta untuk naik ke atas panggung dan memberikan sepatah dua patah kata, maka bi Esih pun mengajakku turut serta naik ke atas panggung.

Lihat selengkapnya