Bogor, April 1999
Sejak kami pindah ke Bogor, anak-anak emak jadi rutin datang bergantian hampir setiap akhir pekan, jadi tidak perlu menunggu liburan lagi untuk berjumpa dengan mereka. Itu membuat emak terlihat lebih bahagia karena jadi bisa lebih sering bertemu dengan anak-anak dan cucu-cucunya. Memang hampir semua anak-anak emak tinggalnya di jakarta dan sekitarnya, hanya teh Siti saja yang tinggalnya di Sukabumi, tapi jarak Sukabumi-Bogor pun masih lebih dekat dibanding Sukabumi-Pangalengan.
Dan ada satu hal lagi yang sangat menghibur emak setiap harinya, yaitu dengan kehadiran anak pertama teh Kokom, kini usianya sudah hampir 2 tahun. Anak pertama teh Kokom, laki-laki. Selain lucu, dia sangat lincah dan aktif sekali, namanya Redi. Rumah jadi ramai dengan celoteh-celoteh dan tingkah laku Redi yang menggemaskan. Setiap hari, ada saja tingkah Redi yang selalu bikin kami tertawa bahagia. Aku banyak membantu teh Kokom dalam mengurus Redi, karena memang aku suka dengan anak kecil. Lucu yah, dulu saat aku kecil, teh Kokom yang banyak membantu emak dalam hal mengurusku, dan kini aku yang membantu teh Kokom dalam hal mengurus anaknya, waktu seolah terulang kembali.
Sejak pertama aku pindah ke Bogor, emak sempat menawarkan kepadaku, apakah aku sudah mau untuk tinggal bareng dengan bapak dan kakak-kakakku, namun dengan tegas aku tetap menolak. Bagaimanapun aku sudah berjanji pada diriku sendiri bahwa aku tidak akan meninggalkan emak dan aku tidak mau kembali kepada keluargaku, toh kehadiranku sepertinya masih belum di harapkan oleh kakak-kakakku. Walau begitu, karena sekarang aku tinggal dengan teh Kokom di Bogor, dan jarak Bogor-Bekasi terbilang cukup dekat, jadi sudah beberapa kali saat tanggal merah atau liburan sekolah, aku selalu dijemput bapak dan diajak menginap dirumahnya barang 2 atau 3 malam saja. Mungkin karena itulah, pada akhirnya aku merasakan perbedaan sikap kakak-kakakku padaku, mereka sekarang menjadi sedikit lebih ramah padaku, walau belum sepenuhnya bisa menerima kehadiranku. Meski baru sedikit perubahan yang aku rasakan, aku sudah bersyukur, setidaknya benar apa yang dikatakan Aisyah dulu, bahwa waktulah yang akhirnya perlahan-lahan akan merubah sikap kakak-kakakku padaku.
Saat ini aku duduk di bangku kelas 3 SMA. Berkat nilai hasil EBTANAS SMP aku yang bagus, di Bogor ini aku bisa masuk ke SMA paling favorit nomor satu dikota Bogor, yaitu SMA Negeri 1 Bogor. SMA ini terletak persis di tengah kota Bogor, persis di seberang area istana Bogor. Rumah teh Kokom yang terletak di Sempur, tidak terlalu jauh dari lokasi SMAN 1, butuh waktu sekitar 15 menit dengan angkutan umum untuk sampai ke sekolah, itu sudah terhitung juga lama waktu ngetem angkot, macet dan naik turun penumpang. Masih sama seperti sebelum-sebelumnya, nilai aku pun selama di SMA selalu memuaskan, dikelas aku selalu masuk ke peringkat 5 besar. Memang sainganku di SMA ini bukanlah saingan yang mudah di taklukan, mereka yang masuk ke SMA ini, bukan hanya siswa siswi dari kota Bogor saja, melainkan juga dari kabupaten Bogor. Tapi ada satu hal yang berbeda, disini aku belum menemukan teman sebaik dan sedekat seperti dengan Aisyah. Entah mungkin karena aku yang memang sedikit menutup diri, atau memang aku belum menemukan teman yang cocok seperti Aisyah. Meski begitu, aku dikenal sebagai siswa yang ramah di sekolah ini
Aku pun masih rutin berziarah ke kuburan abah, ibu dan Aisyah di Pangalengan. Sesuai dengan kesepakatan antara aku dan keluarga Aisyah, kami janjian bertemu di Pangalengan setiap akhir tahun sekalian berziarah kubur. Walau hanya bertemu setahun sekali, tapi kami manfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk melepas rindu, sekedar makan dan jalan-jalan. Aku dan emak selalu diantar kang Hasbi ke Pangalengan, Alhamdulillah sekarang kang Hasbi sudah memiliki sebuah mobil, walau hanya mobil kijang tua, tapi itu sudah lebih dari cukup bagi kami,. Tak ku sangka, setelah menikah, teh Kokom mengalami perubahan hidup ke taraf yang lebih baik, teh Kokom tak perlu lagi bekerja keras untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga seperti zaman dulu. Kini teh Kokom hanya fokus mengurus suami dan anaknya.
Nek Irah dan bi Esih, menempuh perjalanan yang sangat jauh dari Jogja ke Bandung dengan kereta api lalu dilanjut dengan bus menuju Pangalengan, sebab itulah nek Irah dan bi Esih selalu menginap tiap kali datang ke Pangalengan, kadang menginap di penginapan dekat terminal, tapi pernah juga menginap di rumah tetangga nek Irah waktu dulu masih tinggal di Pangalengan. Kalau aku dan emak memilih untuk melakukan perjalanan pulang pergi saja setiap kali ke Pangalengan.
Di kelas 3 SMA ini, selain sedang dipersiapkan untuk menghadapi EBTANAS, kami juga dipersiapkan untuk mengikuti UMPTN (*Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Selain melalui jalur UMPTN, kami juga di beri kesempatan untuk ikut seleksi PMDK (*Penelurusan Minat Dan Kemampuan) melalui seleksi nilai raport. Aku terpilih sebagai salah satu yang mendapatkan kesempatan melalui jalur PMDK dari Institute Pertanian Bogor (IPB). Dari hasil seleksi nilai raport, aku termasuk yang berhasil lolos masuk ke IPB. Itu sungguh prestasi yang luar biasa. Dengan lolos PMDK ini, aku jadi tidak perlu lagi mengikuti UMPTN, dimana melalui jalur UMPTN ini pasti persaingan menjadi lebih berat karena itu dilaksanakan dan diikuti oleh serempak peserta di seluruh daerah. Aku sangat ingin bisa melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi, aku ingin bisa sekolah setinggi-tingginya supaya bisa menjadi kebanggaan keluarga. Tapi ada satu hal yang sedang aku pikirkan, mengenai biaya kuliah aku nantinya, darimana aku bisa mendapatkan uang untuk membayar uang kuliah? Tidak mungkin rasanya meminta emak yang membiayai aku, karena emak sendiri tidak memiliki pemghasilan sama sekali. Dan tidak mungkin juga aku meminta di biayai oleh teh Kokom dsn kang Hasbi, walau sepertinya, tanpa diminta pun mereka pasti akan mengusahakan untuk membiayai uang kuliahku. Seperti saat ini, sejak aku tinggal bersama teh Kokom dan kang Hasbi, 100% merekalah yang membiayai aku bersekolah. Tidak seperti dulu saat masih di Pangalengan, uang sekolahku dibiayai oleh kiriman-kiriman uang dari anak-anak emak. Sejak tinggal dengan teh Kokom, teh Kokom membiarkan semua uang kiriman anak-anak emak, untuk emak seluruhnya dan teh Kokomlah yang menanggung biaya sekolah aku.
Walaupun kehidupan teh Kokom sekarang memang lebih baik daripada sebelum menikah, tapi aku pun tidak enak rasanya bila nanti biaya kuliah aku pun harus dibiayai oleh mereka, apalagi sekarang Redi sudah tambah besar, pasti kebutuhan untuk Redi pun bertambah banyak. Pernah suatu malam, aku membicarakan perihal ini kepada emak.
"Mak, kalau Neng mau lanjut kuliah, menurut emak gimana?" tanyaku pada emak waktu itu
"Bagus Neng, biar kamu bisa jadi orang" jawab emak
"Terus untuk biayanya gimana mak?" tanyaku lagi
"Hm mm..nanti coba kita pikirkan Neng. Emak nanti coba bicarain sama keluarga kita yah"
"Ga usah mak, Neng ga mau jadi beban buat anak-anaknya emak. Lagian anak-anak emak pun punya tanggungan masing-masing karena anak-anaknya juga sudah pada besar, pasti biaya hidupnya juga nambah, Neng ga mau nambah beban mereka" ujarku pada emak
"Nanti emak coba bicara sama bapak kamu yah Neng. Walaupun kamu ga tinggal bareng bapak kamu, tapi kan kamu tetap anaknya, toh selama ini bapak kamu pun selalu rutin ngirim uang untuk kamu"
Memang selama ini bapak selalu rutin kirim uang untukku, jumlahnya tidak seberapa besar, dan selalu ditolak teh Kokom ketika aku serahkan uang kiriman dari bapak kepada teh Kokom. Maksud aku untuk mengganti biaya sekolah yang teh Kokom keluarkan, mungkin memang tidak bisa menutup sepenuhnya biaya spp aku di SMA, tapi setidaknya bisa mengurangi beban pengeluaran teh Kokom. Tapi teh Kokom selalu menolak, akhirnya uang dari bapak aku pakai untuk membeli keperluan-keperluanku selama disekolah, juga aku pakai untuk uang jajanku selama di SMA, jadi aku tak perlu lagi meminta pada emak atau teh Kokom bila ingin membeli sesuatu. Bahkan pembalut pun aku sudah tidak mau meminta lagi dibelikan oleh teh Kokom atau emak.
Namun rasa-rasanya, apa mungkin bila aku meminta bapakku untuk membayar biaya kuliahku? Aku tidak punya keberanian untuk meminta pada bapak. Seumur-umur hidupku, aku memang tidak pernah meminta apapun sama bapak, entah itu semenjak aku mengetahui bahwa dia adalah bapakku, juga dulu waktu aku masih menganggap dia adalah kakakku. Bapak hanya karyawan biasa yang gajinya tidak seberapa, meskipun kakak-kakakku sudah besar dan semua sudah bekerja, tapi kan bapak tetap harus membiayai hidup ibu Lilis dan juga kakak-kakakku yang masih tinggal hidup bersama bapak. Sepertinya pengeluaran bapak cukup besar, apakah bapak masih mau untuk membiayai kuliahku?
"Memangnya bapak bisa mak untuk biayai kuliah Neng nanti? Setahu Neng, dari semua kakak-kakak Neng, ga ada satupun yang sekolahnya sampai kuliah. Semua hanya lulusan SMA lalu bekerja"
"Mungkin karena kakak-kakak kamu ga minat kuliah seperti kamu Neng"
"Masa sih mak ada orang yang ga minat untuk kuliah? Itu Fitri anaknya kang Herman, dia kuliah. Elis dan Lia pun, mereka cerita sama Neng, kalau mereka rencananya mau melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi, karena memang kang Herman dan teh Wiwin, sanggup untuk biayai mereka kuliah"
"Emak ga tahu kenapa kakak-kakak kamu tidak kuliah Neng. Tapi kalau memang kamu pengen dan berencana melanjutkan sekolahmu ke tingkat perguruan tinggi, baiknya nanti coba kita bicarakan sama bapak kamu, kalaupun bapak kamu memang ga sanggup untuk biayai kamu, nanti kita bisa bicarakan masalah ini sama Kokom dan Hasbi"
"Eh jangan mak! Neng sengaja bicarain masalah ini sama emak karena memang belum mau membicarkan sama teh Kokom. Teh Kokom dan kang Hasbi pasti akan mengusahakan untuk bisa biayain Neng kuliah. Tapi Neng ga mau mak, Neng ga mau bebanin teh Kokom lagi. Selama ini kan teh Kokom dan kang Hasbi udah biayain sekolah Neng"
"Ya atuh ga apa-apa Neng kalau memang Kokom dan Hasbi mau dan sanggup biayain kuliah kamu, yang penting kan kamu bisa kuliah"
"Neng ga mau mak. Beneran deh Neng ga mau membebani teh Kokom lagi. Biaya kuliah itu cukup besar mak, beda dengan spp SMA"
"Kamu bicarain hal ini, memangnya sudah ada rencana mau kuliah dimana Neng?" tanya emak padaku.
"Sebenarnya, Neng lolos seleksi nilai raport untuk jalur PMDK di IPB mak" kataku dengan senyum bangga pada emak
"Ya ALLAH...Alhamdulillah atuh Neng, emak seneng banget dengernya, emak bangga banget sama kamu, kamu memang anak yang pintar, kamu hebat Neng" emak memelukku dan menciumi pipiku, kulihat mata emak berkaca-kaca, bukan,itu bukan airmata kesedihan, tapi airmata bangga dan haru padaku.
"Yasudah kalau begitu, hari sabtu ini, kita ke Bekasi yah Neng, kita kerumah bapak kamu. Emak akan bicarakan soal rencana kuliah kamu dengan bapak kamu, emak yakin Heru dan Lilis juga pasti seneng dengar kabar ini" emak terus menatapku dengan senyuman kebahagiaannya itu, aku senang karena bisa membuat emak bangga, dan aku yakin abah, ibu dan Aisyah, mereka pun yang sekarang berada di alam yang berbeda, merekapun bangga dengan pencapaianku.
๐น๐น๐น
Sabtu siang ini, sepulang sekolah, aku dan emak akan diantar oleh kang Hasbi ke Bekasi, kerumah bapakku. Kami berencana menginap semalam disana, sedang kang Hasbi hanya sebatas mengantar saja lalu langsung balik pulang ke Bogor. Saat malam hari, selepas solat Isya, setelah semua kakakku yang bekerja sudah sampai dirumah, emak meminta kepada bapakku untuk mengumpulkan semua anggota keluarga di ruang tamu, emak ingin menyampaikan mengenai rencana kuliah aku juga kabar gembira bahwa aku sudah diterima di IPB.
"Ada apa mak? Kok sampe harus berkumpul seperti ini?" tanya bapak pada emak.
"Emak ingin menyampaikan sesuatu mengenai sekolahnya Neng" jawab emak
"Memang Neng ada masalah apa di sekolah? Bukannya dia itu anak yang pintar dan baik disekolah?" tanya teh Ani, masih dengan nada bicara sedikit agak ketus, dia memang yang paling sulit berubah sikapnya padaku, tapi aku tidak mau ambil pusing.
"Neng memang anak yang baik dan pintar disekolah, bahkan Neng cukup berprestasi disekolahnya" sahut emak
"Terus ada masalah apa mak?" tanya ibu Lilis dengan lembut pada emak.
"Bukan masalah, tapi ini kabar gembira. Neng lolos seleksi nilai raport untuk masuk perguruan tinggi, dan Alhamdulillah Neng diterima di IPB melalui jalur PMDK ini." jawab emak dengan senyum bangganya padaku, sambil megusap kepalaku dengan lembut. Aku diam saja, menunggu reaksi dari semua yang mendengarkan saat itu.
"Oh Alhamdulillah..pinter banget kamu Neng, selamat yah" ibu Lilis mengusap-usap punggung tanganku, kurasakan dia tulus memberikan selamat padaku., sedang bapak dan kakak-kakakku, tidak memberikan respon apapun.
"Biaya kuliah kan mahal mak, walaupun kuliahnya di perguruan tinggi negeri, tapi tetap aja harus bayar dan ga sedikit, darimana kita bisa dapat uang untuk membayar biaya kuliah Neng?"
Deg.
Perkataan bapakku barusan seketika menghancurkan mimpi-minpi yang telah ku rajut dengan rapih. Aku tidak menyangka, kalimat itulah yang pertama kali dia lontarkan saat tahu anak bungsunya yang selama ini hidup terpisah jauh darinya, mendapatkan prestasi cukup cemerlang disekolahnya.
"Emak kesini untuk membicarakan hal itu Heru. Bagaimana pun juga, kita harus mendukung prestasinya Neng, kita harus bisa mewujudkan impian Neng untuk bisa sekolah setinggi-tingginya. Karena emak juga ga sanggup biayain kuliah Neng seorang diri, makanya mak dan Neng kesini utnuk membicarakannya sama kamu Her, kamu kan bapaknya Neng" jelas emak.
"Tapi gaji Heru ga akan cukup menutup biaya kuliah Neng mak. Heru khawatir malah nanti Neng bisa berhenti kuliah di tengah jalan hanya karena ga bisa bayar kuliah"
"Kita kan bisa patungan Her untuk nutup biaya kuliah Neng, nanti mak akan coba bicarakan hal ini juga sama anak-anak emak yang lainnya, emak yakin mereka pun mau sama-sama patungan untuk bisa biayain kuliah Neng"
"Heru ga enak sama anak-anak emak, bagaimanapun juga Neng itu anak Heru, bukan anak emak. Jadi anak-anak emak ga ada kewajiban untuk membiayai Neng. Selama ini Kokom bantu biayain sekolah Neng, sebenernya Heru juga ga enak, makanya udah sejak lama Heru selalu minta supaya Neng tinggal aja sama Heru, supaya Neng bisa jadi tanggungan Heru sepenuhnya"
"Jadi kalau mulai sekarang Neng tinggal sama kamu, kamu mau biayain kuliah Neng nanti Her?" tanya emak dengan tatapan tajam pada bapakku.
"Bukan begitu juga mak. Gaji bapak itu kecil, walau kami anak-anak bapak udah kerja semua, tapi juga bukan berarti kami sanggup biayai Neng untuk kuliah. Gaji kita ga besar mak, untuk memenuhi kebutuhan sendiri aja kami kadang masih kekurangan dan masih suka minta sama bapak, terus kalau bapak juga harus biayain kuliah Neng, apa cukup sisa gajinya untuk biaya hidup kami semua yang ada di rumah ini? Kami bertiga aja ga ada satu pun yang kuliah mak, bukan karena kami ga mau kuliah tapi kami tahu diri dan ga mau memaksakan keinginan kami kepada bapak, yang memang ga sanggup untuk biayai kami kuliah. Kalau sekarang Neng dibiayai kuliah sama bapak, apakah itu adil bagi kami?" teh Yeti mencoba menjelaskan kepada emak, tapi penjelasan teh Yeti justru semakin menohok perasaan aku.
Apa mereka pikir aku tidak tahu diri karena mencoba meminta dibiayai kuliah oleh bapak aku sendiri? Apakah memang harus yang mereka alami pun harus juga aku alami? Sejak dulu mereka memang ingin aku bisa merasakan kepahitan yang telah mereka rasakan, termasuk sekarang ini, aku harus bisa merasakan memendam rasa kecewa karena tidak bisa melanjutkan sekolah ke perguruan tingga, tidak bisa mewujudkan impian-impiam yang telah aku rajut sendiri, merasakan pahit bahwa prestasiku tidak ada harganya dimata bapakku sendiri.
Seketika rasanya aku ingin marah, airmata kekesalan hampir jatuh dari pelupuk mataku, tapi aku mencoba menahan itu semua. Saat emak ingin melanjutkan pembicaraan, aku genggam tangan emak sekeras-kerasnya, memberi isyarat bahwa aku ingin emak menghentikan pembicaraan ini, sepertinya emak paham maksudku, akhirnya emak tidak melanjutkan pembicaraan dan pamit ingin beristirahat dikamar bersama ku. Sekilas ku lihat ibu Lilis menundukkan kepalanya seolah merasa bersalah karena tidak bisa berbuat apa-apa. Padahal dia hanya ibu tiri yang tidak pernah merawatku, tapi dia bisa jauh lebih menghargai aku di banding bapak dan kakak-kakakku sendiri.
Sedang bapak dan kakak-kakakku, hanya memalingkan wajahnya, enggan bertatap muka denganku, hampir saja kebencian kembali datang dalam diriku, namun aku coba membuang semua rasa itu. Aku berfikir, lebih baik aku tidak merasakan perasaan apapun pada keluarga ini.
Saat masuk kamar, aku langsung menghantamkan diriku ke kasur, menutup rapat kepalaku dengan bantal dan guling, aku menangis tapi berusaha menutupinya dari emak, meskipun emak pasti tahu bahwa aku sedang menangis.
"Sudah lah Neng, kamu ga usah pikirin perkataan Yeti tadi yah, sebaiknya kita anggap saja kita tidak pernah membicarakan apapun sama mereka. Kita anggap yang tadi itu tidak pernah terjadi" emak berkata sambil mengusap-usap punggungku.
"Kamu ga usah khawatir, kamu pasti bisa kuliah Neng, emak janji sama Neng, emak akan bicarakan hal ini sama anak-anak emak, mereka pasti mau bantu" janji emak padaku, aku tidak menyahut apapun, aku benar-benar sedang tidak ingin bicara apapun. Emak ikut berbaring disebelahku, masih dengan tangannya yang mengusap-usap punggungku, kami menghabiskan malam kami dengan diam seribu bahasa.
๐น๐น๐น
Sehabis solat subuh, aku minta sama emak untuk bersiap-siap, aku minta pulang ke Bogor pagi ini juga. Memang rencananya kami pulang tidak akan dijemput oleh kang Hasbi, tapi nanti kami akan minta bapakku untuk mengantarkan kami pulang naik bus diminggu sore seperti sebelum-sebelumnya aku pernah menginap dirumah bapak. Tapi sejak percakapan tadi malam, aku berubah pikiran, aku ingin segera pulang ke Bogor, rasanya tidak betah berlama-lama berada di keluarga yang memang masih tidak bisa menerima aku sepenuhnya.
Emak setuju dengan rencana kepulangan kami yang mendadak dipagi hari ini. Kami bisa naik bus dari Bekasi ke Bogor tanpa harus di temani bapak, aku sudah cukup besar untuk bisa berpergian dengan kendaraan umum, walaupun harus membawa emak yang usianya cukup renta, tapi aku berani dan yakin bisa sampai dengan selamat ke rumah teh Kokom dengan mengendarai kendaraan umum.
Sekitar jam setengah 7, ketika ibu Lilis sedang sibuk meyiapkan sarapan di dapur, sedang bapak dan kakak-kakakku sepertinya masih berada dikamarnya masing-masing, aku dan emak mengutarakan niat kepulangan kami dipagi hari ini. Ibu Lilis sempat tidak membolehkan kami pulang sendirian dengan kendaraan umum tanpa ditemani bapak, apalagi masih pagi sekali, tapi aku beralasan bahwa ada suatu hal penting yang aku lupakan dan harus segera aku selesikan sebelum siang ini di Bogor. Karena aku dan emak terus memaksa untuk pulang, akhirnya ibu Lilis dan bapak mengijinkan, bapak akan mengantar kami sampai ke terminal bus. Memang bapak pagi ini pun ada janji bertemu dengan orang katanya, sehingga tidak memungkinkan untuk mengantar kami ke Bogor dipagi hari, bapak baru bisa mengantar paling cepat siang atau sore hari. Sebenarnya sama saja diantar atau tidak oleh bapak, kami tetap akan pulang dengan kendaraan umum.
Emak meyakinkan bapakku bahwa kami akan baik-baik saja bila pulang pagi ini dengan kendaraan umum. Akhirnya kami pun diantar sampai ke terminal, setelah kami selesai sarapan sebelumnya. Diangkot yang kami tumpangi menuju terminal Bekasi, kami bertiga lebih banyak diam dan tak berbicara satu sama lainnya dan memang sepertinya sudah tidak ada yang bisa dibicarakan antara kami dengan bapakku. Bapak pun tidak berusaha untuk mengajakku bicara, entah karena merasa bersalah atau memang dia malas membicarakan hal apapun padaku, apalagi setelah aku datang kerumahnya hanya untuk meminta dibiayai kuliah, ah entahlah apa yang ada dalam pikiran bapak, aku sudah tidak ingin memikirkannya.
"Kami pamit yah Her, salam buat Ani dan adi, tadi kami ga sempat ketemu, sepertinya mereka masih tidur" kata emak pada bapak.
"Iya mak, nanti saya sampaikan. Hati-hati di jalan yah mak, semoga selamat sampai tujuan. Kamu baik-baik yah Neng" bapak mengusap kepalaku, aku tidak menjawab apa-apa, aku hanya mencium tangannya lalu masuk kedalam bus disusul kemudian emak yang ikut masuk ke dalam bus.
Di dalam bus, aku berusaha menata hati aku supaya rasa kesal aku tidak membuat aku bersikap cuek sama emak, emak kan ga salah apa-apa.
"Kamu masih sedih yah Neng? Daritadi kamu diam aja"
"Iya mak masih kesal, tapi sudahlah ga usah dipikirin mak"
"Maaf yah Neng kamu jadi harus merasakan hal tidak mengenakkan seperti ini"
"Bukan salah emak. Jadi emak ga perlu minta maaf. Merekanya aja yang memang ga suka sama Neng, makanya ngomong seenak jidat mereka"
"Ya sudah, ga perlu dipikirkan lagi"
"Oh iya mak, ada yang pengen Neng omongin sama emak"
"Apa Neng?"
"Tentang rencana kuliah Neng. Tadi malam Neng banyak merenung. Setelah Neng pikir-pikir, sebaiknya emak ga perlu membicarakan perihal rencana kuliah Neng sama anak-anak emak, terutama sama teh Kokom"
"Loh kenapa Neng?"
"Karena Neng sudah ambil keputusan. Neng ga akan kuliah mak, Neng mau cari kerja aja" aku mencoba sekuat tenaga memberanikan diri mengatakan hal yang begitu menyakitkan untuk diriku sendiri kepada emak. Emak jelas kaget mendengarnya.
"Kenapa seperti itu Neng? Kamu ada kesempatan untuk kuliah, kenapa harus kamu korbankan? Kata masih bisa cari cara untuk masalah biaya kuliah kamu. Emak ga peduli bapak kamu mau bantu biayain atau enggak, tapi emak yakin anak-anak emak pasti mau bantu biayain kuliah kamu Neng"
"Justru itu mak. Neng ga mau jadi beban untuk yang lainnya, Neng pengen bisa berdiri dikaki Neng sendiri. Walaupun Neng ga kuliah, tapi Neng yakin Neng bisa berhasil. Mungkin tahun ini Neng coba untuk kerja dulu, ngumpulin uang yang banyak, siapa tahu tahun depan Neng masih bisa kuliah, kan tahun depan Neng masih punya kesempatan untuk ikut UMPTN mak." jelas ku pada emak, emak hanya geleng-geleng kepala.
"Kita kan bisa bicarakan masalah ini sama Kokom dan Hasbi Neng"
"Ga usah mak, Neng bener-bener ga mau membebani mereka. Tolong emak ngertiin maunya Neng yah, tolong emak dukung Neng dengan langkah apapun yang Neng ambil. Tolong mak, Neng mohon sama emak!" pintaku dengan wajah memelas.
Hhuuffhhh..
Emak menghela nafas panjang.
"Baiklah Neng kalau memang itu yang kamu mau. Emak harap kamu udah pikirkan keputusan kamu baik-baik yah. Apapun langkah yang kamu ambil, selama itu baik, emak akan dukung kamu Neng"
"Alhamdulillah..Makasih mak"
Kupeluk tubuh emak. Keputusan itu bukanlah hal yang mudah bagiku, namun aku sudah memikirkan ini dengan matang. Aku ingin buktikan sama bapak dan kakak-kakakku, bahwa aku juga bisa mengandalkan diri aku sendiri. Aku ga akan memohon-mohon sama bapak supaya bisa kuliah, aku pun ga mau jadi beban untuk anak-anak emak terutama teh Kokom bila harus membiayai kuliahku. Aku ingin mandiri, berdiri diatas kakiku sendiri, sekalipun itu berat, aku pasti bisa hadapi.
Bus melaju dengan cepat, lalu lintas dijalan masih cukup lengang. Kualihkan pandanganku ke jendela bus, memandangi hamparan sawah yang mulai menguning warnanya. Aku berkata pada diriku sendiri, aku pasti bisa.
๐น๐น๐น
ย Begitu sampai di rumah teh Kokom, aku ingatkan emak lagi supaya tidak cerita apapun mengenai masalah kuliahku kepada teh Kokom maupun kang Hasbi. Bila mereka bertanya mengapa kami pulang lebih awal, kami akan sepakat bilang, seperti yang aku jadikan alasan kepada bu Lilis dan bapak tadi, bahwa ada hal yang aku lupakan dan mesti aku selesaikan sebelum siang ini, karena itulah kami mendadak pulang pagi ini.
Aku langsung mengajak main Redi begitu sampai dirumah, supaya tidak ada raut kekecewaan yang tertinggal di wajahku. Bermain bersama Redi, mengubah mood aku yang jelek sejak semalam, menjadi lebih baik rasanya. Anak ini super menggemaskan bagiku, sambil menggoda Redi, ku sisipkan sebaris doa untuk Redi, agar dia tidak pernah merasakan pahit seperti yang aku rasakan sepanjang hidupku.