Setitik Cahaya Yang Meredup

sandra firnawati
Chapter #10

#10 Mungkin Yang Terakhir

Bogor, Maret 2001

           Memang semua harus aku alami, berproses namanya. Sekarang aku bisa lebih menerima semua hal dengan baik. Awal-awal aku bekerja di tempat ini, setiap kali tanpa sengaja bertemu dengan teman-teman SMA ku yang melanjutkan kuliah di berbagai tempat, aku kadang merasa malu. Malu karena aku tidak bisa seperti mereka. Dikala mereka sibuk mencari buku yang mereka butuhkan untuk kuliah, aku malah sibuk melayani mereka karena aku adalah pegawai ditempat yang dikunjungi teman-temanku.

           Ya, aku karyawan di toko buku Gramedia, toko buku yang sangat besar. Selepas lulus SMA, aku dan Dafin mencoba beberapa kali melamar kerja di berbagai tempat, sampai pada akhirnya, kami di terima kerja di toko buku Gramedia. Setelah melewati masa percobaan selama 3 bulan, akhirnya aku dan Dafin dinyatakan di terima sebagai karyawan Gramedia. Hanya saja kami ditempatkan di wilayah yang berbeda. Aku beruntung karena dijadikan karyawan Gramedia cabang Bogor yang berada di dekat terminal Baranangsiang, lokasinya tidak seberapa jauh dari rumah teh Kokom. Sedang Dafin, dia ditempatkan di Gramedia pusat di Matraman, Jakarta. Dafin memilih untuk pulang pergi menggunakan kereta api setiap hari untuk bekerja.

           Sejak bekerja, aku dan Dafin jadi lebih jarang bertemu, kami sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Tapi Dafin selalu menyempatkan diri main ke rumah teh Kokom setiap akhir bulan, sepertinya dia menunggu gajian dulu baru datang ke rumah teh Kokom, karena dia selalu membawakan bingkisan ataupun mainan untuk Redi. Teh Kokom sering menggodaku, katanya setiap weekend di akhir bulan adalah waktunya Dafin ngapelin aku. Sebenarnya tidak ada hubungan khusus antara aku dan Dafin, aku masih menganggap Dafin adalah teman biasa. Tapi berbeda dengan emak, emak merasa bahwa Dafin adalah orang yang pantas untuk aku ajak ke hubungan yang lebih serius. Emak tidak ingin aku berpacaran dengan Dafin, jadi menurut emak, bila memang Dafin maupun aku berencana untuk ke hubungan yang lebih serius, baiknya di segerakan, supaya tidak ada fitnah.

           Bagaimana aku bisa lebih serius dengan Dafin, kami saja tidak pernah menyatakan perasaan apapun satu sama lain. Lagipula, Dafin setiap main ke rumah teh Kokom, tidak meski untuk menemuiku, kadang beberapa kali Dafin datang saat kebetulan aku sedang tidak ada dirumah, dan memang tujuan dafin kerumah teh Kokom bukan untuk bertemu denganku saja, tapi memang untuk bersilaturahim dengan keluargaku. Dafin lebih banyak menghabiskan waktunya berbincang-bincang dengan kang Hasbi daripada denganku. Seperti malam ini, tumben sekali Dafin datang di hari jumat. Saat aku baru sampai di rumah sepulang kerja, Dafin tengah berbincang-bincang dengan kang Hasbi dan teh Kokom di teras rumah. Aku yang masih merasa lelah hanya menyapanya sebentar lalu pamit masuk ke dalam untuk bebersih badan dan makan malam. Emak menyambut kedatanganku di dalam kamar.

“Kamu udah ketemu Dafin Neng di depan?” tanya emak

“Sudah mak” jawabku

“Dia bilang apa?” tanya emak lagi

“Cuma nyapa aja mak. Malah Neng yang nanya sama dia, kok tumben datang ke sini hari jumat, biasanya hari sabtu atau minggu, terus dia jawab katanya tadi pas turun dari kereta dia lihat ada mainan kereta-keretaan, dia ingat sama Redi, terus dia beli mainannya dan langsung kesini. Memangnya kenapa mak?” tanyaku kemudian

“Ah ga apa-apa. Kamu mandi dulu gih, habis itu makan, habis itu temui kami di depan yah, kita ngobrol-ngobrol” perintah emak padaku. Aku heran dengan sikap emak barusan, tapi aku nurut saja, aku lakukan semua yang emak suruh padaku.

           Selesai mandi dan makan, aku beranjak menuju ke teras rumah. Ternyata Dafin masih ada. Emak, teh Kokom, kang Hasbi, dan Dafin sekarang berpindah tempat ke ruang tamu, mereka masih berbincang. Redi sepertinya sudah tidur di kamar. Aku ikut nimbrung bersama mereka semua.

“Neng, gimana kerjaan kamu?” tanya Dafin padaku

“Tambah sibuk Fin, sekarang kan mendekati ujian nasional, jadi banyak anak-anak yang berburu buku kumpulan soal-soal, setiap hari toko selalu ramai dengan anak sekolah” jawabku

“Wah, sama yah Neng, di Gramed pusat juga begitu. Malah sekarang kita bikin stand khusus untuk menjual buku-buku kumpulan soal-soal ujian, setiap hari pasti banyak yang laku bukunya”

“Neng, ada yang mau aku bicarakan ke kamu, mumpung keluarga kamu juga ada disini” ujar Dafin

“Ada apaan Fin? Ngomong aja” kataku santai

“Kamu mau ga nikah sama aku?”

Hah?!

           Apa-apaan Dafin ini? Kenapa dia tiba-tiba bicara ngaco seperti ini? Ga ada angin, ga ada hujan, tiba-tiba dia melamar aku, di depan keluarga ku pula.

“Heh! Jangan becanda kamu, ngaco deh. Nanti keluarga aku malah jadi salah paham” kataku sambil kulemparkan koran yang ada di hadapanku.

“Aku serius Neng. Sebenarnya udah lama aku nyimpen perasaan sama kamu, tapi aku menjaga perasaan itu sampai aku siap menyatakannya sama kamu. Apalagi yang aku kenal, kamu perempuan yang sangat menjaga diri kamu dengan lawan jenis. Buktinya, walau kita berteman sudah sangat dekat, tapi kamu tetap menjaga jarak kamu denganku. Itulah yang membuat aku suka sama kamu. Aku udah bicara sebelumnya tentang perasaan aku ini sama emak kamu, dan emak merespon dengan baik, emak mendukung dan merestui aku. Aku butuh waktu untuk mempersiapkan diri untuk menyatakannya langsung sama kamu, dan hari ini, di hari jumat yang berkah ini, aku beranikan diri untuk melamar kamu di depan keluarga kamu” jelas Dafin panjang lebar

           Hatiku tiba-tiba berdetak dengan kencang. Perasaan apa ini? Kenapa tiba-tiba aku jadi salah tingkah. Kenapa Dafin menyatakan ini tanpa memberi kode terlebih dahulu padaku? Aku mulai mempelajari perasaan yang ada dalam diriku. Selama ini memang aku hanya menganggap Dafin sebagai teman dekatku, tapi hanya sebatas teman saja. Dafin memang sangat baik padaku, dia pun selalu bersikap tulus. Tapi apakah aku bisa mencintainya? Membayangkan menikah dengannya membuat aku malu sendiri. Hatiku terasa berdesir.

“Gimana Neng?” pertanyaan Dafin membuyarkan lamunanku.

“Eh gimana apanya?” tanyaku seperti orang bodoh

“Ya jawaban kamu. Kamu mau ga menikah denganku?” Dafin mengulangi pertanyaannya kembali

           Aku bingung harus menjawab apa. Semuanya terlalu dadakan. Benar-benar mengagetkan buatku. Aku melirik pada teh Kokom, teh Kokom tersenyum menggodaku. Aku menatap emak dan kang Hasbi, mereka tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Apa yang harus aku jawab. Tak ada alasan untuk aku menolak Dafin, keluargaku pun sepertinya sudah setuju. Tapi menerimanya, artinya aku akan menikah dengan Dafin, Aaahh aku geli sendiri membayangkannya.

Lihat selengkapnya