Depok, November 2015
Tahun demi tahun berlalu meninggalkan kami. Semua sisa kehidupanku adalah kebahagiaan. Apa yang aku rajut bersama Dafin menjadi sebuah bingkai indah dalam hidupku. Tak terasa sudah 14 tahun aku berumah tangga dengan Dafin. Segala hal telah kami lewati bersama. Dengan dianugerahi 2 orang anak, membuat kehidupan kami terasa sempurna. Bahkan kami sudah bisa memiliki rumah sendiri, jadi tidak perlu mengontrak lagi.
Banyak hal yang telah terjadi selama ini, kami pun beberapa kali masih harus merasakan kerikil-kerikil kecil dalam kehidupan kami, namun aku kini lebih kuat di banding Neng yang dahulu. Banyak hal yang telah berubah sekarang, meskipun kami tetap merasa bahwa satu sama lain diantara kami rasanya masih seperti teman di 14 tahun yang lalu.
Aku didampingi Dafin dan kedua anakku, bisa lebih tegar dalam mengahadapi kesedihan di kala emak harus menutup mata di usia senja di tahun 2006. Pahit manis kehidupan telah emak nikmati selama hidupnya. Ketika emak harus berpulang ke Rahmatullah, hati ini jauh lebih ikhlas melepaskannnya. Setidaknya, sampai di penghujung hidup emak, emak tak pernah merasakan sakit ataupun kepayahan. Fisik emak memang melemah, tapi emak masih bisa berjalan dan melakukan aktivis sendiri meskipun tetap harus kami jaga dengan baik. Seperti janjiku pada diriku sendiri di kala abah pergi, bahwa aku akan selalu berada disisi emak apapun yang terjadi. Maka setelah aku menikah dengan Dafin, lalu pindah ke rumah kontrakan kami di Depok, emak pun turut serta kami bawa. Buatku, emak bukan sekedar orangtua, tapi dialah permata yang sangat berharga. Aku bersyukur bisa berada disisi emak sampai akhir hayatnya.
Ditahun berukutnya, aku mendengar kabar dari bi Esih, bahwa nek Irah pun telah menutup mata untuk selama-lamanya. Bi Esih sangat telaten dalam merawat nek Irah yg sakit stroke selama kurang lebih 5 tahun. Pernah aku sekali waktu pergi ke Jogja bersama Dafin dan anak pertamaku Ali yang masih berusia 1 tahun untuk bersilaturahim kerumah bi Esih, melepas rindu setelah bertahun-tahun tidak bertemu. Sejak nek Irah sakit, bi Esih dan nek Irah sudah tidak pernah lagi ke Pangalengan untuk berziarah ke makam Aisyah. Akupun sama, sejak rumah dan sawah emak laku terjual, kami menjadi lebih jarang ke Pangalengan. Kalaupun kami ingin berziarah ke makam abah, biasanya berganti-gantian tiap tahunnya. Meninggalnya nek Irah bukan berarti terputus hubungan aku dengan bi Esih, sampai dengan saat ini aku masih sesekali bertukar kabar dengan bi Esih, apalagi jaman sekarang tekhnologi lebih canggih, ponsel dan smartphone sudah menjadi tren nomor satu di masyarakat. Tak perlu berjauh-jauh datang ke tempat yang ingin kita kunjungi, cukup melakukan panggilan video melalui whatsapp, kita sudah bisa menatap wajah saudara kita yang berada jauh di ujung dunia.
Dan hampir setiap tahun secara berurutan, aku harus kehilangan orang-orang di sekitarku. Setelah emak, nek irah, lalu ibu mertuaku disusul kemudian ayah mertuaku, dan yang terakhir Bapakku. Mereka pergi meninggalkan banyak kenangan untuk kami. Yang berbeda sekarang, kepergian mereka tidak membuat hidupku terasa kelam, tidak seperti pada saat aku kehilangan abah maupun Aisyah. Aku menjadi pribadi yang jauh lebih mudah ikhlas dibanding sebelum-sebelumnya.
Sejak orangtua Dafin telah tiada, rumah mereka kemudian di tempati oleh Teguh, adiknya Dafin dengan istri dan anaknya, sedang Intan kini tinggal di Menado bersama suaminya yang sedang tugas dinas disana. Pengorbanan Dafin untuk kedua adiknya berbuah manis. Dengan Dafin memilih untuk bekerja selepas SMA, kemudian kondisi usaha kedai baso milik pak Satya, ayah Dafin, perlahan semakin berkembang, sampai akhirnya kedua adik Dafin bisa merasakan duduk di bangku kuliah. Mereka pun lulusan-lulusan terbaik di universitasnya masing-masing.
Sejak emak tiada, anak-anak emak masih sering mengadakan kumpul keluarga besar. Aku yang memang lebih merasa nyaman berada diantara anak-anak emak, selalu antusias saat pertemuan keluarga besar, aku tetap merasa menjadi anak bungsu diantara anak-anak emak. Berbeda dengan teh Yeti, kang Adi dan teh Ani, setelah bapak meninggal, mereka menjadi semakin jarang ikut kumpul keluarga besar. Entahlah kenapa mereka seperti itu, padahal mau bagaimana juga, anak-anak emak adalah paman dan bibi mereka juga, padahal cucu-cucu emak adalah saudara sepupu mereka juga. Tapi mereka malah seperti memberi jarak pada keluarga besar kami. Aku sudah tidak mau memusingkan mereka lagi, aku pun sudah tidak peduli bila kehadiranku di dunia ini dianggap sebagai mala petaka untuk mereka. Kini yang ku pikirkan hanya Ali dan Balqis, kedua anakku yang kini sudah bertambah besar.
Ali kini berusia 13 tahun, baru mau masuk SMP kelas 1. Sedangkan Balqis kini berusia 10 tahun, masih duduk di bangku kelas 3 SD. Mereka anugerah terindah dalam hidupku. Dulu saat baru memiliki Ali, aku masih bekerja. Di rumah, selain di temani oleh emak, aku pun menyediakan seorang pengasuh yang menjaga Ali selama aku pergi bekerja. Namun saat Balqis lahir, Dafin memintaku untuk resign dari tempat kerjaku supaya bisa lebih banyak menghabiskan waktu bersama dengan kedua anakku, toh kehidupan kami pun sudah cukup dengan hanya mengandalkan gaji Dafin, kami masih bisa memenuhi semua kebutuhan kami.
Sejak menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya, aku menjadi lebih sibuk wara-wiri mengurus segalanya, bahkan anak-anakpun berangkat dan pulang sekolah selalu aku yang mengantar menggunakan motor bebekku. Kadang-kadang jika aku sedang jenuh di rumah sendiri saat anak-anak masih di sekolah, aku ikut ngumpul bareng dengan ibu-ibu yang menunggu anaknya di sekolah, seperti hari ini.
“Mamah Balqis, lagi sakit yah?” tanya mamah Reni, temanku yang sama-sama sedang menunggu anaknya di sekolah.
“Ah ga apa-apa, cuma lagi ga enak aja badanku, mungkin karena lagi datang bulan” jawabku
“Tapi pucet banget loh mukanya, tuh lihat..iya kan?” mamah Reni bertanya pada ibu-ibu lainnya, sontak semua ibu yang ada disitu memperhatikan wajahku.
“Iya bener, pucet banget itu. Beneran mamah Balqis ga apa-apa? Kalau sakit, istirahat aja di rumah, biar Balqis nanti saya yang anter pulang ke rumah” tawar mamah Cindi yang memang rumahnya berdekatan dengan rumahku.
“Enggak usah mam, habis jemput Balqis, saya mau langsung jemput abang, kebetulan abangnya hari ini pulang cepat” jawabku menolak tawaran mamah Cindi.
“Yaelaaahh.. gampang itu mah mam. Nanti biar saya sekalian jemput, Ali sekolahnya di SMP 2 kan? Deketlah dari sini”
“Iya mam, mendingan dirimu pulang gih, istirahat di rumah! Urusan anak-anak nanti biar mamah Cindi yang nganter sampe ke rumah. Lagian ini masih jam 11, masih 1 jam lagi sampai anak-anak bubar sekolah, kelamaan loh dirimu nunggu disini, nanti tambah sakit” ibu-ibu yang lain pun ikut membujukku supaya pulang saja ke rumah untuk isitrahat. Mereka bukan membujuk sebenarnya, tapi lebih tepatnya memaksa. Karena memang aku merasakan sedikit agak mual juga, akhirnya aku menuruti perkataan ibu-ibu ini.
“Maaf yah mamah Cindi, aku jadi merepotkan” kataku pada mamah Cindi sebelum pulang
“Santai aja mam, yang penting mamah Balqis istirahat yah, kira-kira kuat ga bawa motor sendiri? Atau mau diantar?” tawar mamah Cindi lagi
“Ah ga usah mam, aku kuat kok. Ya udah, aku pamit pulang duluan yah, makasih yah” kataku sambil melajukan motorku perlahan.
Beberapa bulan ini memang aku menjadi lebih sering sakit-sakitan, awalnya aku pikir sakitnya aku hanya setiap datang bulan, karena memang biasanya saat datang bulan, badanku sering pegal-pegal. Tapi sekarang-sekarang, sakitnya lebih menjadi-jadi. Aku pernah bilang sama Dafin, dan Dafin menyuruhku untuk segera berobat ke dokter, tapi aku masih enggan berobat, ada sedikit rasa takut dalam diriku, apalagi sekarang malah muncul hal-hal aneh dalam tubuhku.
Berat badanku turun drastis, nafsu makanku berkurang bahkan sepertinya aku tidak ada nafsu makan sama sekali. Baru satu atau dua suap makanan masuk ke mulutku, perutku langsung terasa begah, kenyang dan mual. Tapi anehnya, meskipun berat badanku turun, tapi perutku malah buncit, membesar. Saat diraba, perutku keras seperti batu. Itu yang membuat Dafin khawatir dan sering menyuruhku periksa ke dokter, tapi aku malah takut. Bila rasa mual dan pusing datang seperti sekarang ini, aku hanya mengandalkan obat-obatan warung saja.
Sesampainya di rumah, aku langsung merebahkan diriku di tempat tidur, pusingnya bertambah dahsyat, keringat dingin membasahi tubuhku, ku coba mengatur nafas dan memejamkan mataku. Mungkin sebaiknya aku tidur dulu saja, siapa tahu bangun tidur, badanku bisa lebih enakkan.
🔹🔹🔹
“Assalamualaikum..Bundaaaa”
Tok tok tok
“Bundaaaa…”
Suara anak-anak yang memanggilku, mengagetkanku, membuat aku terbangun dari tidurku yang cukup lelap. Aku memegang kepalaku yang masih terasa pusing. Aku pikir pusingku akan hilang setelah aku tidur, tapi ternyata masih terasa juga. Perlahan aku bangun dari tempat tidurku menuju ke pintu depan untuk membukakan pintu, sepertinya anak-anak sudah pulang.
“Waalaikumsalam..” jawabku sambil membukakan pintu, Ali dan Balqis duduk di teras rumah, mamah Cindi masih menemani mereka.
“Kok lama banget bukain pintunya bun?” tanya Balqis manyun
“Iya maaf, barusan bunda ketiduran” jawabku sambil mencium kening kedua anakku, mereka menciun tanganku lalu berbegas masuk ke dalam rumah.
“Gimana mam, udah enakan belum? Kok masih lemes dan pucet gitu?” mamah Cindi menunjuk pada wajahku
“Iya nih masih terasa pusing, ga tau kenapa” jawabku
“Ke dokter gih mam, periksa! Itu pucet banget loh, udah makan belum?” tanya mamah Cindi lagi.
“Belum, ga kepengen makan”
“Makan dong mam, nanti tambah parah sakitnya”
“Iya nanti deh. Masuk dulu yuk mam, panas di luar” ajakku pada mamah Cindi
“Enggak usah, aku mau kepasar dulu nih, anak-anak lagi minta dimasakin macem-macem. Eh nanti aku masakin santen ikan peda yah buat mamah Balqis, dirimu kan suka banget tuh peda masakan aku, nanti aku bikinin yang pedeeeeesss banget, biar dirimu tambah nafsu makan” tawar mamah Cindi, aku hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala, sepertinya memang aku harus makan sesuatu yang benar-benar aku suka, makanya aku mau dimasakin oleh mamah Cindi. Santen ikan peda buatan mamah Cindi memang juara, mirip dengan masakan almarhumah emak.
Mamah Cindi pun pergi dengan motor maticnya menuju pasar, aku segera masuk ke dalam rumah. Anak-anak masih berganti baju di kamarnya masing-masing. Aku segera menyiapkan makan siang untuk kedua anakku. Bagusnya pagi tadi aku masih sempat memasak untuk makan anak-anak.
“Bang Ali! Ade Balqis! Makan dulu sini” panggilku
“Iya sebentar bun, abang mau solat dulu” sahut Ali. Sedang Balqis, tahu-tahu sudah duduk di hadapanku.
“Bunda masak apa?” tanya Balqis
“Hari ini bunda masak cumi goreng tepung kesukaan kalian” jawabku sambil menyendokkan nasi ke piring Balqis.
“Wah enak nih” Balqis tak sabar untuk mencicipi masakanku, dia mencomot satu udang goreng tepung yang ada di meja.
“Hmm… enak banget bunda! Top deh masakan bunda” ujar Balqis, aku tersenyum mendengarnya.
“Eh Balqis udah solat belum? Tuh abang langsung solat dulu”
“Belum bun, Ade laper banget nih. Solatnya nanti aja yah sehabis makan” jawab Balqis sambil memegangi perutnya yang memang berbunyi keroncongan.
“Ya sudah, tapi nanti solat yah kalau sudah selesai makannya” ujarku sambil duduk di samping Balqis, menatap Balqis yang sedang makan.
“Bunda ga makan?” tanya Balqis dengan mulut penuh makanan
“Enggak, nanti aja, belum laper” jawabku. Tak seberapa lama, Ali muncul, dia langsung mengambil piring dan menyendokkan nasinya sendiri.
“Bunda kok tadi ga jemput kita? Kata mamah Cindi, bunda sakit yah?” Ali bertanya padaku, dia mengambil posisi duduk di hadapanku.
“Iya, kepala bunda pusing, makanya tadi bunda minta tolong mamah Cindi untuk jemput kalian”
“Bunda kok sering sakit sih sekarang? Mending bunda ke dokter deh, biar ga sakit terus bun” pinta Ali, ternyata anak-anak pun perhatian dengan kondisiku.
“Iya nanti bunda berobat deh. Sekarang kalian terusin makannya yah. Makan yang banyak. Bunda mau isitrahat lagi di kamar yah. Balqis jangan lupa solat habis ini” perintahku pada dua anakku ini, sambil beranjak dari tempat dudukku. Pusingnya terasa lagi dan aku merasa tak kuat duduk lama-lama, aku ingin merebahkan diri lagi di Kasur.
🔹🔹🔹
Ada yang menyentuh keningku, aku membuka mataku. Ternyata Dafin. Jam berapa ini, kok Dafin sudah pulang, masa aku tertidur sampai malam, pikirku. Ku lihat jam di dinding, ternyata baru jam 3, mengapa Dafin sudah pulang jam segini? Aku mencoba bangun dari tidurku, tapi di tahan oleh Dafin.
“Kamu ga usah bangun, tiduran aja yah” seru Dafin
“Kok kamu udah pulang jam segini kang?” setelah menikah, aku memanggilnya dengan sebutan akang.
“Tadi anak-anak telpon aku. Katanya kamu sakit, makanya aku langsung ijin pulang cepat” jawab Dafin.
“Aku ga apa-apa kok” kataku
“Ayo sekarang kita ke dokter! Pokoknya kamu harus berobat, badan kamu panas banget”
“Kapan-kapan aja kang, nanti aku minum obat demam aja”
“Enggak! Pokoknya sekarang Neng, kamu nurut yah sama akang. Kasihan tuh anak-anak sampai khawatir sama kamu”
Ku lihat Dafin langsung berganti pakaian. Aku inginnya menolak ajakan Dafin, tapi memang kali ini aku tak kuat merasakan sakit di tubuhku. Aku tak berganti pakaian lagi karena aku masih memakai pakaian saat aku mau menjemput Balqis tadi siang, aku hanya tinggal mengenakan jilbab saja. Setelah Dafin siap, dia memapahku keluar kamar. Anak-anak yang melihatku keluar kamar, langsung menghampiriku.
“Bunda, tadi abang yang telpon ayah, nyuruh ayah cepat pulang. Soalnya tadi waktu abang ke kamar bunda, pas abang pegang badan bunda, panas banget. Abang khawatir, makanya abang langsung telpon ayah” jelas Ali padaku
“Iya ga apa-apa bang. Makasih yah udah perhatiin bunda” aku membelai lembut pipi anak pertamaku ini, tak menyangka dia punya inisiatif untuk menelpon ayahnya, pikirannya sekarang lebih dewasa.