Stasiun Kepanjen, Malang.
Pukul 01.35 dini hari, seorang Gadis tengah duduk seorang diri.
Mematung ditemani angin yang berhembus pelan, sentuhannya menerbangkan pucuk kerudungnya yang melambai-lambai. Tangan kanannya memegang sebuah koper besar, dan matanya memutar setengah mencari kesana kemari.
Harusnya ini jadi momen boyong yang indah. Dijemput orang tua atau paling tidak bisa memeluk ibunya seperti semua santri pada umumnya. Namun kehidupan gadis itu berbeda, boyong berarti dia harus menemukan tempat baru seorang diri.
Hawa dingin Malang seolah menusuk ke dalam tubuhnya. Ini bukan hanya tentang berani atau tidak, dia seorang perempuan dan tengah malam duduk sendirian di lorong Stasiun, bohong jika dia tak merasa ketakutan.
Tak jauh dari tempatnya, seorang lelaki tengah duduk melipat kaki. Sedari tadi melihat ke arahnya, namun setiap gadis itu melihatnya, lelaki itu membuang muka. Jujur rasa khawatirnya sedang menggebu, tak dia pungkiri rasa takut seolah menggelayuti. Namun dia tak ingin terus berprasangka buruk pada lelaki itu. Meski begitu rasa takutnya tak berkurang barang seukuran jari pun.
Setengah jam yang lalu, lelaki itu masih agak jauh darinya. Tapi lama kelamaan duduknya makin mendekat padanya saja. Udara malam seolah mengulitinya, beberapa kali dia menengok ponselnya. Tapi pesannya belum juga dibalas oleh Bibinya.
Duduk gadis itu tak lagi tenang. Jika saja dia punya alamat Bibinya, dia akan memberanikan diri naik ojek daripada harus menunggu seperti ini. Dalam hati dia terus berdoa memohon pada Allah semoga langkahnya selalu dilindungi olehNya.
Namun buruknya, sebuah pesan masuk di ponselnya. Menjelaskan padanya bahwa Bibi yang sedang ditunggunya tak berada di Malang saat ini. Dingin semakin menusuk kulitnya, bagaimana bisa beliau tak ada disini ketika sudah tahu dia akan datang.
Dalam pesan itu terucap permintaan maaf yang panjang, mengutarakan alasan dibalik keberadaannya sekarang. Paling cepat dia bisa datang ketika hari sudah siang, karena beliau sedang berada di rumah saudaranya di Probolinggo saat ini. Beliau juga berpesan, nanti akan ada seseorang yang datang menjemputnya.
Tubuhnya lemas, matanya sudah terjaga sedari sore tapi sekarang masih harus menahan kantuk di tengah hawa dingin malam. Ditambah sekarang ada beberapa pasang mata sedang mengawasinya, mungkin ada banyak pertanyaan dikepala mereka. Kenapa gadis seusianya terdampar disini tanpa siapapun disampingnya.
Malangnya, mereka justru mendekat dan memburu gadis itu dengan pertanyaan. Seolah dia sasaran empuk saja. Mereka tentu bisa membaca raut wajah gadis yang setengah kebingungan itu. Namun Gadis itu hanya membisu, dia tak ingin memberikan informasi apapun terkait dirinya.
"Halwa," sebuah suara menyadarkannya, seorang pria berjaket parasut hitam menepuk bahunya. Sesekali melihat layar ponselnya lalu melihat ke arahnya seolah sedang memastikan.
"Siapa anda?" Gadis itu bertanya-tanya, sambil berdiri rasa takut tentunya masih membayangi hatinya sekarang. Semua orang didepannya sangat asing baginya.
"Halwatuzzahra," suara itu kembali menyapanya, langit malam yang mendung didukung lampu temaram membuat wajah pria itu tampak kabur di matanya. Selebar apapun matanya dibuka, wajahnya tetap tak tampak dengan sempurna.
"Siapa anda?"
"Aku disuruh Bi Inggar untuk jemput kamu," sembari menarik lengan gadis itu yang sedang dikerumuni banyak orang. Tarikannya sedikit memaksa , ada rasa tak suka dibalik sentuhan itu.
Halwa yang kaget setengah mati melepas tangan pria itu, dia terjatuh terduduk lemas. Nafasnya berhembus keras, seolah rasa khawatir lenyap sudah. Merasa lega memenuhi rongga dadanya. Dia menutup wajahnya bersyukur kepada Allah, ada orang yang mengenalnya disini.
Kerumunan orang mulai pergi, senyap mulai menghampiri mereka. Yang terdengar hanyalah deru nafas Halwa yang memburu.