Selesai bersih-bersih peralatan makan, Bi Inggar menyuruh Halwa istirahat. Karena perjalanannya semalam pasti sangat melelahkan baginya. Tetapi tubuh Halwa belum merasa lelah, dia masih ingin merasakan udara Malang yang terkenal dengan nuansa dinginnya.
Langit malam sangat cerah, bintang bertebaran dan bulan nampak berpendar terang. Udaranya benar-benar segar, perumahan di daerah ini memang masih baru. Disekitar rumah masih banyak tumbuh pohon kelapa yang menjulang tinggi. Sesekali angin malam menggoyangkan rimbun pepohonan.
Dari yang Halwa dengar, bibinya baru pindah kesini satu tahun yang lalu. Daerahnya belum penuh penduduk, jarak rumah masih agak berjauhan. Jadi hawa malam benar-benar terasa tenang, apalagi perumahan ini agak jauh dari jalan raya. Tenang gelap dan sepi.
Pendar di atas sana menyalakan sinar Illahi yang dibuat khusus untuk menerangi penduduk bumi. Halwa masih asyik dengan lamunannya, dia sedikit tidak percaya akhirnya menginjakkan kaki disini. Dia menyesap udara malam itu menarik nafas sedalam mungkin menyatu dengan dunia tempatnya berpijak sekarang.
Namun anehnya tak seperti saat kedatangannya tadi, sekarang Halwa tak merasakan udara dingin sama sekali. Jauh dari kesan adem yang khas menempel dari kota Malang.
Ibra berjalan menuju beranda, mencari udara segar katanya. Bosan setiap malam main game dengan Arya. Yang selalu berakhir dengan Arya yang merem duluan. Dan begitulah Arya selalu tertidur sehabis makan, maklum tubuh bulat Arya memang lebih berisi dibandingkan yang lain.
Membuatnya menghabiskan dua hingga tiga kali lebih banyak dibanding manusia normal pada umumnya. Sehingga selalu merasakan kantuk yang mendera tiap kali selesai bersantap.
Disadarinya Halwa berdiri di beranda rumah, menghadap ke langit seorang diri. Di mata Halwa, langit sedikit berubah. Yang tadinya terang benderang sekarang mulai gelap pekat. Seolah tampungnya hendak meluruhkan tetesan air padat.
Tiba-tiba Halwa membalik arah, tatapan mata mereka bertemu. Keduanya sama-sama canggung, melihat kesana kemari mengalihkan pandangan. Mungkin langit yang mendung itu menyambut kedatangan orang satu ini.
Halwa sendiri tak ingin menatap mata pria itu, dia belum mengenal Ibra dengan baik. Kepribadian Ibra belum terbaca oleh Halwa. Dia pikir pembicaraan apapun tak akan cocok dengannya.
Dia masih ingat benar pesan Ustadzah Zulfa, bahwa dia harus menjaga pandangan terhadap lawan jenis agar senantiasa terjaga hati dan juga pikirannya.
"Maaf,"
Halwa akhirnya mau tak mau memalingkan wajahnya mencari sumber suara. "Ya Allah, ampuni hambamu yang lemah iman ini," bisik hatinya.
Sedang Ibra begitu tenang tanpa ekspresi.
"Untuk apa?"
"Untuk pagi tadi, mungkin ada kata-kata ku yang menyinggungmu,"