Tidak ada perubahan signifikan. Rasika masih tetap sosok yang sama seperti tiga belas tahun lalu. Sosok lembut, ramah dan punya banyak prinsip. Mungkin yang berubah hanya lah kini ia bukanlah lagi siswi yang mengenakan seragam putih abu-abu melainkan sosok psikiater yang di kesehariannya mengenakan kameja berpadu jas putih.
Rasika tidak pernah menyangka dirinya akan menjadi seorang psikiater. Rasika selalu mengingat dirinya sebelumnya tidak pernah tertarik mengamati manusia lainnya apalagi memahami perasaan mereka.
Hanya satu alasan Rasika yang membawanya pada posisi ini. Rasika tidak mengejar sebuah kebahagiaan namun ia bisa membuat orang lain berani mengejar kebahagiaan mereka.
Rasika meraih ponselnya tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar komputer di depannya. Sebelah tangannya pun sibuk menari-nari di atas keyboard. Di seberang sana, papanya sekaligus atasannya di rumah sakit yang bernama Adley Nareka mengucapkan salam kepadanya. Rasika membalas salam papanya dengan suara pelan.
“Ke ruangan papa sekarang juga.” perintah Adley di seberang sana.
“Pa, aku bukan pengangguran yang bisa bebas ke sana kemari.” ujar Rasika menolak perintah papanya.
“Kamu kesini. Papa masih atasan kamu, papa ingatkan kamu kalo kamu lupa.” perintah Adley tidak menerima penolakan.
Rasika menghela napas berat. Menghentikan kegiatan tangannya yang sedari tadi menari-nari di atas keyboard laptopnya. Rasika bergerak meninggalkan pekerjaannya kemudian untuk menemui papanya sesuai dengan perintah papanya.
Rasika menyapa balik semua orang yang menyapanya dalam perjalanan menuju ruang kerja papanya. Rasika berdiri menghadap Friska yang langsung berdiri dari kursinya sejak melihat kemunculan dirinya di lantai eksekutif rumah sakit tempatnya bekerja.
“Pagi, Kak Friska.” sapa Rasika.
“Pagi, Rasika.” sapa balik Friska, menatap heran keberadaan Rasika di hadapannya.
“Saya diminta Pak Adley buat datang.” ujar Rasika menjelaskan secara singkat maksud kemunculan secara tiba-tibanya ini.
Friska mengangguk mengerti. Seulas senyuman tipis menghiasi wajah Friska namun Rasika tetap datar. Gestur tangan Friska mempersilahkan Rasika untuk masuk ke dalam ruangan atasan mereka segera.
Rasika mengangguk melihat Friska sejenak kemudian masuk ke dalam ruangan papa sekaligus atasannya. Kemunculan Rasika jelas menarik perhatian terlebih perhatian Ralu. Adley meminta Rasika untuk duduk di sampingnya dengan gestur tangan. Rasika hanya menurut walau ada rasa heran dalam kadar tinggi ia rasakan. Kehadiran sosok lain dalam ruangan papanya itu mengganggu untuknya terlebih sosok itu terlalu dalam menatap dirinya saat ini.
“Ini dr. Rasika Nelianska, dia salah satu andalan poliklinik kesehatan jiwa rumah sakit ini, dr. Ralu.” ujar Adley memperkenalkan Rasika secara singkat pada Ralu, sosok yang sejak tadi tidak bisa mengalihkan perhatiannya dari profil Rasika.
“Saya Ralu Andara, psikiater baru di rumah sakit ini.” ujar Ralu seraya mengulurkan tangannya buat berjabat tangan dengan Rasika namun di abaikan. Jadinya, ia menarik tangannya kembali.
“Saya Rasika Nelianska.” ujar Rasika singkat seraya melihat Ralu sekilas.
“Rasika, papa meminta kamu karena papa ingin meminta kamu menjadi pemandu khusus dr. Ralu hari ini untuk mengelilingi rumah sakit. Mengenal setiap sudutnya.” jelas Adley singkat pada Rasika yang menatap lekat-lekat dirinya saat ini.
“Itu saja, pa? Kalo udah, aku pergi.” pamit Rasika.
Adley menganggukkan kepala pada Rasika. Rasika menganggap itu sebagai izin kalo ia sudah boleh pergi. Rasika beranjak dari posisinya. Melangkah santai keluar dari ruangan papanya berbeda dengan Ralu. Lelaki itu tampak kebingungan. Menatap Adley meminta jawaban. Adley terkekeh melihat wajah kebingungan Ralu.
“Susul Rasika.” ujar Adley singkat disertai senyuman tipis.
Ralu pun langsung pamit keluar menyusul Rasika. Rekan kerjanya itu telah berada di dalam lift. Ralu pun berlari menghampirinya agar tidak ketinggalan. Tepat sedetik sebelum pintu lift tertutup rapat, Ralu berhasil. Ralu berdiri di samping Rasika menunggu bersama lift itu mencapai lantai empat, lantai poliklinik kesehatan jiwa berada.
Ralu melirik Rasika beberapa kali sebelum akhirnya memutuskan untuk menatap lekat-lekat wajah Rasika. Rasika sendiri merasa tidak nyaman di perhatikan selekat itu oleh seseorang yang baru saja ia temui.
“Ralu Andara, usia tiga puluh dua tahun, kedua orang tua angkatku tinggal di Singapura sementara kedua orang tua kandung ku entah dimana. Psikiater dengan pengalaman minim.” ujar Ralu memperkenalkan diri ulang. Lebih lengkap dari sebelumnya.