Rasika tentu saja melaksanakan perintah papa sekaligus atasannya dengan baik. Meski merasa tidak nyaman pada tingkah Ralu, Rasika tetap memandu Ralu. Rasika mengantar Ralu menemui satu persatu rekan kerja mereka di poliklinik kesehatan jiwa buat di perkenalkan. Rasika memperkenalkan Ralu kepada mereka sebagai psikiater baru. Terakhir, Rasika mengantar Ralu ke ruangan Mardeana, rekan kerja terakhir yang belum Ralu temui menurut Rasika.
Rasika menunjuk pintu ruangan Mardeana dengan ibu jarinya. Ralu menatap datar papan nama yang terpasang pada pintu ruangan tersebut. Pintu ruangan yang warna catnya paling beda dengan ruangan-ruangan lain di poliklinik kesehatan jiwa. Warna merah jambu di saat poliklinik kesehatan jiwa di dominasi warna putih.
“Ini ruangan dr. Mardeana, kamu bisa temui dia sendiri.” ujar Rasika.
“Kenapa?” tanya Ralu.
Rasika mengernyit heran tidak paham pada pertanyaan Ralu barusan. Ralu memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya. Menunjuk pintu ruangan Mardeana. “Kenapa aku menemuinya sendiri? Kamu mau pergi?” tanya Ralu memperjelas.
“Iya.” jawab Rasika singkat.
“Kemana?” tanya Ralu yang membuat Rasika mengarahkan jari telunjuk kepadanya.
“Kamu tidak berada di posisi yang membuat aku harus memberi jawaban.” ujar Rasika lalu memilih pergi, tidak memberi Ralu kesempatan buat bereaksi dengan benar.
Ralu menatap punggung Rasika hingga menghilang dari jangkauan matanya. Rasika memasuki ruangan yang berjarak dua ruangan dari posisi Ralu sekarang. Ralu menghela napas kemudian dengan malas mengetuk pintu cat berwarna merah jambu di depannya.
Tidak lama pintu ruangan tersebut terbuka. Mardeana muncul dalam balutan gaun bermotif bunga warna warni. Tidak ada jas putih yang menutupi gaun tersebut. Mardeana tampak syok melihat keberadaan Ralu di hadapannya.
“I miss you, Ralu.” ujar Mardeana antusias, langsung bergerak ingin memeluk Ralu namun Ralu menolak.
Mardeana cemberut. Tidak suka pelukannya di tolak sama Ralu. Ralu biasa saja. Tetap datar. Mardeana mengulurkan tangannya ingin menyentuh bahu Ralu namun lagi-lagi Ralu melakukan pergerakan cepat menolaknya. Wajah Mardeana makin muram.
“Ralu, aku kangen kamu. Jadi, peluk yuk.” ajak Mardeana manja seraya menggerakkan tangannya pelan, mau bergelayut manja di lengan Ralu.
Seorang suster secara kebetulan melewati keduanya. Suster tersebut merasa tidak nyaman mendengar suara manja Mardeana. Menganggap atasannya satu itu sebagai seseorang tidak tahu malu.
“Aku tidak kangen kamu.” ujar Ralu menolak tegas. Tidak memikirkan perasaan Mardeana sama sekali. Suster tadi masih dalam jarak bisa mendengar pembicaraan keduanya menertawai Mardeana dalam hati.
“Kalo begitu kenapa kamu disini?” tanya Mardeana mengangkat lebih tinggi dagunya, menjaga dirinya tetap terlihat percaya diri walau perkataan Ralu tadi sebenarnya sangat melukai kepercayaan dirinya.