Sudah satu minggu berlalu semenjak bergabungnya Ralu sebagai psikiater di Poliklinik Kesehatan Jiwa Rumah Sakit Areana dan sudah satu minggu juga laki-laki itu secsra terus menerus di teror oleh papanya dengan satu pertanyaan sama yaitu kapan melamar putri direktur Adley. Ralu hanya menjawab dengan satu kata yaitu segera. Lalu mengalihkan topik pembicaraan.
Memangnya Ralu punya jawaban selain satu kata itu? Tentu saja tidak ada. Ralu bahkan sejauh ini belum benar-benar memiliki waktu berkualitas bersama putri direktur Adley padahal dirinya punya prinsip dirinya tidak akan melamar putri direktur Adley sebelum berhasil membuat putri direktur Adley setidaknya nyaman dengannya.
Ayolah, Rasika tidak pernah membiarkan Ralu mendekat semenjak pesta penyambutannya usai. Tidak sengaja sebenarnya, Rasika hanya selalu sibuk di waktu kosong Ralu. Yap, putri direktur Adley yang akan Ralu lamar adalah Rasika bukan Mardeana. Jadi, segala sikap penolakannya pada Mardeana sejak hari pertama Ralu bekerja itu nyata.
Ralu melirik jam yang melingkari pergelangan tangannya. Jam dua belas siang. Waktu istirahat sudah menjemput ternyata. Ralu memeriksa agendanya hari ini, memastikan dirinya tidak ada lagi jadwal setelah jam makan siang hingga jam pulang tiba dan yes sesuai keinginannya.
Ralu membereskan barang-barangnya dengan semangat. Ralu bergerak keluar dari ruangan kerjanya sembari membawa tas punggungnya yang sudah satu minggu ini setia menemaninya menjalani hari-harinya sebagai psikiater di Kota Makassar. Kota kelahirannya berdasarkan akta kelahiran dan dokumen pentingnya lain.
Ralu baru saja akan mengetuk pintu ruangan Rasika kala pintu itu lebih dulu terbuka dari dalam. Rasika muncul dalam balutan kameja merah jambu bermotif garis-garis biru muda sebagai atasan sementara untuk bawahan, Rasika mengenakan rok biru muda. Helai-helai rambut Rasika berkumpul dalam satu kunciran. Rasika menarik secara sederhana, Ralu akui itu dari dulu. Rasika menatap heran kemunculan Ralu di depan ruangannya.
“Hai, Rasika.” sapa Ralu sembari mengangkat sebelah tangannya. Senyumannya terulas lebar dan terkesan hangat.
“Juga.” sapa balik Rasika.
“Mau pergi makan siang ya?” tanya Ralu.
“Iya.” jawab Rasika singkat.
“Aku boleh bergabung?” tanya Ralu meminta izin. Suara Ralu terdengar santai dan tenang berbanding terbalik dengan kondisi hati dan otaknya sebenarnya. Ralu gugup dan mencoba sebaik mungkin menutupinya.
Rasika di posisinya berhadapan dengan Ralu tampak berpikir keras sembari menatap lekat-lekat wajah Ralu. Rasika bingung, haruskah ia kasih izin atau tidak. Rasika sebenarnya sudah biasa berada di situasi seperti ini dan ia sudah biasa juga memberikan jawaban tidak lalu kenapa sekarang ia bingung? Rasika menggelengkan kepala saat pemikiran bahwa dirinya begini karena jatuh cinta pada Ralu. Itu tidak mungkin. Ingatkan tentang betapa menyebalkannya Ralu saat pesta penyambutan cowok itu beberapa hari yang lalu.
“Tidak ya?” tanya Ralu memastikan setelah mengambil satu kesimpulan jawaban berdasarkan gelengan kepala Rasika barusan. Raut wajahnya yang semula ceria kini berubah murung.
“Hah?” Rasika kebingungan. Kenapa Ralu bilang tidak disaat dirinya bahkan belum memberikan jawaban sama sekali? Rasika belum memiliki jawaban saat ini.
“Aku nggak apa-apa. Kamu boleh duluan.” ujar Ralu yang sudah larut pada kesimpulannya sendiri. Suaranya terdengar kecewa dan itu membuat Rasika merasa bersalah.
“Bukan begitu, dr. Ralu. Aku bahkan belum ngasih jawaban lalu kenapa kamu bisa mengatakan kalo jawaban aku tidak?” tanya Rasika seraya menatap lekat-lekat raut murung Ralu yang perlahan-lahan bersinar cerah.
“Jadi, kamu ngizinin aku gabung kalo gitu. Oke, ayo.” ujar Ralu semangat seraya menarik Rasika pergi bersamanya.