Pagi-pagi Rasika berangkat ke rumah sakit. Rasika melewatkan sarapan di rumah dan lebih memilih sarapan di ruang kerjanya. Dua bungkus roti dan segelas teh hangat adalah menu sarapannya. Rasika melakukan itu buat menghindari pertemuan dengan Mardeana.
Resiko menghindari Mardeana karena kemarin Mardeana mendapati dirinya makan berdua dengan Ralu. Rasika tidak akan pernah lupa pada tatapan tajam yang kakak perempuannya itu layangkan kepadanya kemarin. Bukan takut tapi karena ia malas bertengkar dengan Mardeana di depan papa mereka. Itu menyakitkan buat dilihat papa mereka menurut Rasika.
Rasika pun sangat menyadari apa yang membuat kakaknya menatap tajam dirinya kemarin. Itu karena sang kakak angkatnya itu mencintai Ralu. Rasika tahu dari pertama kali ia melihat interaksi antara Mardeana dengan Ralu. Tatapan Mardeana pada Ralu berbeda dan itu pertama kalinya Mardeana menatap seseorang seperti itu.
Rasika menggelengkan kepalanya lalu fokus menekuni layar komputer di depannya. Menonton sesi konseling profesor Asdar dengan pasien yang ia ketahui bernama Reta. Reta sendiri merupakan calon pasiennya.
Di tengah fokusnya Rasika menonton, pintu ruangannya dibuka secara kasar dan luar. Fokus Rasika langsung terpecah. Rasika menekan tombol pause lalu menghampiri Mardeana yang bertindak tidak sopan nyelonong masuk dan duduk di sofanya tanpa izin darinya.
“Apa yang dr. Mardeana lakukan?” tanya Rasika sesantai mungkin.
“Kamu buta?” tanya balik Mardeana sarkasme.
“Ini ruanganku dan apa yang baru saja kamu lakukan tidak sopan.” balas Rasika. Menyindir Mardeana yang lebih dulu melemparkan pertanyaan bernada sarkasme kepadanya.
“Apa maksud kamu kemarin jalan berdua dengan my future husband?” tanya Mardeana ketus. Ya, ketus tapi malah terdengar lebay di telinga seorang Rasika.
“Tidak ada apa-apa.” balas Rasika sera yang mendudukkan dirinya di pinggir meja kerjanya menghadap Mardeana.
“Duduk di meja juga bukan hal sopan.” ujar Mardeana membalas sindiran Rasika sebelumnya.
“Sudah selesai? Silahkan keluar, aku masih punya banyak pekerjaan dan kau pun begitu. Kita sama-sama bukan pengangguran.” ujar Rasika mengusir Mardeana, mengabaikan balasan sindiran yang baru saja Mardeana lontarkan kepadanya.
Mardeana mengulas senyum sinis seraya mendekati Rasika. “Rasika, jangan pernah bermimpi kamu bisa bahagia. Kamu tak punya hak buat bahagia dan jangan menyeret Ralu buat tidak bahagia bersama kamu. Jangan sampai Ralu mengalami hal sama dengan apa yang Alan alami. Terlebih lagi Ralu adalah suami masa depanku.” bisik Mardeana memperingati Rasika.
Setelah mengutarakan kata-kata kejamnya, Mardeana berbalik buat pergi dari ruangan Rasika. Namun baru satu langkah, ia sudah di paksa berhenti oleh Rasika. Rasika mencengkeram tangannya kuat.
“Kamu tidak berhak menilai apa aku ada hak atau tidak buat bahagia dan jangan pernah memprovokasi aku lagi setelah ini. Kamu tahu sebanyak apa yang akan raib dari genggaman kamu jika aku bertindak.” balas Rasika memperingati Mardeana.
Rasika melepaskan cengkeramannya pada Mardeana setelah menyelesaikan penuturannya yang penuh peringatan lalu kembali duduk di kursi kerjanya. Menekuni isi map kuning yang secara random di ambilnya. Rasika berusaha sesantai mungkin.
Berbeda dengan Mardeana yang sudah di selimuti marah dan ingin meledak tapi tidak tahu harus mengatakan apa. Mardeana memilih melampiaskan amarahnya dengan melempar gelas teh yang sudah tidak ada isinya di atas meja kerja Rasika ke sembarang arah lalu pergi.
Ralu yang ruangan kerjanya bersebelahan dengan ruangan kerja Rasika tentu saja mendengar suara lemparan gelas itu. Namun Ralu tidak bisa mendatangi Rasika sekarang. Di depannya ada Bella yang butuh ketenangan darinya. Bella bereaksi atas kegaduhan yang berasal dari ruangan Rasika. Bella kecil memeluk erat-erat pensil dan buku gambar pemberiannya dalam pelukannya.