Rasika memijat keningnya pusing melihat tingkah manusia-manusia di depannya. Mereka bertengkar hebat tentang kepemilikan sebuah boneka kelinci warna putih yang kini sudah tidak berbentuk lagi. Isi boneka tersebut sudah berhambur keluar. Namun tangan-tangan dan mulut-mulut manusia-manusia itu masih beradu debat.
Rasika menolehkan kepalanya pada sosok Maria dan Firlan di sampingnya. Kedua perawat itu kelihatan sama pusingnya dengan dirinya. Rasika mencoba mendekat untuk melerai perkelahian tersebut namun yang ada muka cantiknya malah jadi sasaran empuk lemparan bantal. Bahkan ia sampai jatuh. Maria dan Firlan segera mendekat untuk menolong Rasika. Membantu Rasika untuk berdiri. Lalu mengajak Rasika mundur menjauh dari perkelahian.
Rasika tidak merasa sakit akibat lemparan bantal tersebut. Kepalanya lebih pusing berpikir tentang bagaimana cara menghentikan tingkah luar biasa para pasiennya ini. Jika satu atau dua orang mungkin nggak jadi masalah namun itu sepuluh orang lebih. Itu terlalu banyak tidak selaras dengan tenaganya. Maria dan Firlan pun tidak akan banyak membantu.
“Apa yang harus kita lakukan buat menghentikan mereka?” tanya Rasika pada Maria dan Firlan.
Firlan menggelengkan kepala, tidak punya ide. Sementara Maria menjentikkan jarinya tangan kanannya. Senyum terulas di bibirnya. Sepertinya perawat satu itu baru saja dapat ide. Rasika berharap banyak.
“Kita minta bantuan dr. Ralu saja, dok.” ujar Maria.
“Kamu benar, Maria. Segera panggil dia buat kesini. Katakan padanya kalo tenaga Firlan nggak cukup kokoh buat mengatasi.” ujar Rasika sedikit menyindir kekuatan perawat laki-laki yang selama ini membantunya.
“Dokter.” Panggil Firlan setengah merengek.
“Jangan sampai aku membuat laporan keluhan Firlan. Kamu butuh olahraga.” ujar Rasika seraya menatap penuh peringatan wajah memelas yang Firlan tunjukkan kepadanya.
Maria cekikikan melihat ekspresi takut di wajah Firlan. Rasika berdehem dan beralih menatap tajam Maria membuat Maria berhenti cekikikan dan seketika pamit untuk menemui Ralu. Firlan ingin balas menertawai Maria tapi tidak. Posisinya sangat tidak menguntungkan sekarang.
Rasika perlahan kembali maju. Tujuannya bukan untuk melerai perkelahian para pasiennya tapi buat mengambil boneka yang menjadi alasan perkelahian tersebut. Rasika meneliti boneka tersebut yang sudah tidak jelas lagi bentuknya. Mencari keistimewaan boneka tersebut hingga menjadi rebutan tapi tidak ada sama sekali. Itu boneka kelinci yang banyak di jual di pasaran. Ingatkan Rasika buat besok singgah lebih dulu di pasar membelikan boneka yang sama buat para pasiennya yang masih bertengkar di hadapannya itu.
Firlan pun maju mendekati satu-satunya pasien yang tidak terlibat dalam pertengkaran dan berada di sudut ruangan. Memeluk kedua lutut dan menenggelamkan kepala di antara lipatan kedua lutut. Firlan menepuk bahu pasien tersebut pelan namun tidak ada reaksi. Firlan pun langsung menggunakan kekuatannya untuk melihat kondisi pasien tersebut. Muka basah oleh air mata adalah hal yang pertama Firman lihat kala ia berhasil membuat pasien tersebut mengangkat wajah menatapnya.
“dr. Rasika.” panggil Firlan seketika.
Rasika langsung menghampiri Firlan dan pasien tersebut sesaat setelah mendengar namanya di panggil. Rasika menundukkan kepalanya, berlutut agar bisa melihat lebih jelas wajah pasiennya itu.