Selepas memperhatikan interaksi Ralu dan Bella, Rasika melanjutkan langkahnya pulang ke rumah. Ralu di dalam ruangannya sebenarnya menyadari kehadirannya di luar namun sayang Ralu yang sempat mempertanyakan tentang kapan terakhir Rasika tersenyum dan tertawa tidak melihat senyuman dan tawa Rasika tadi.
Tidak lama setelah Rasika pergi, Mama Bella dan Papa Bella muncul. Keduanya baru saja kembali dari kantor dan kesini buat menjemput Bella. Alangkah terkejutnya keduanya melihat muka belepotan Ralu yang penuh dengan make up. Tidak hanya penampilan Ralu yang mengejutkan keduanya tapi penampilan Bella juga. Bella tampak menggemaskan dengan rambutnya yang di kepang dua. Poni menutupi dahi secara sempurna.
“dr. Ralu, Bella kah pelakunya?” tanya Papa Bella merasa bersalah.
“Ini bukan apa-apa, pak. Perjuangan Bella selanjutnya jauh lebih berat dari menghapus make up ini. Ya, cuma gitu Ibu Bella sepertinya harus beli make up lagi.” ujar Ralu.
“Tidak masalah kalo soal make up itu dokter. Kami justru harus minta maaf karena Bella udah mencoret-coret muka dokter, jangan sampai dr. Rasika ilfeel ngelihatnya.” ujar Mama Bella mengikhlaskan make up-nya sekaligus menghawatirkan pendapat Rasika tentang penampilan Ralu sekarang. Ia bersama suaminya tadi berpapasan dengan Rasika sewaktu mereka menunggu lift.
Ralu terperangah memasang muka bodoh mendengar Mama Bella menyangkut pautkan penampilannya dengan pandangan Rasika. Apa sekentara itu ya kalo iya sayang sama Rasika sehingga orang yang bahkan belum puluhan kali di temuinya mengetahui perasaannya? Tapi kalo begitu, mengapa Rasika tidak melihatnya?
Keluarga Bella kemudian pamit pergi. Ralu masih setia di ruangannya tiga puluh menit kemudian setelah kepergian keluarga Bella. Suara dering ponselnya terdengar memenuhi penjuru ruangannya. Ralu beranjak untuk mengambil ponselnya yang ia letakkan di atas meja kerjanya sedari tadi.
“Assalamu alaikum, pa.” salam Ralu.
“Waalaikum salam, nak.” salam balik Papa Ralu.
“Apa kabar, pa?” tanya Ralu sembari membereskan barang-barangnya. Memasukkan ke dalam tasnya dokumen-dokumen yang perlu dan harus ia baca hari ini juga. Pasiennya sudah mulai bertambah.
“Kamu sudah melamar calon menantu papa?” alih-alih menjawab pertanyaan Ralu, Papa Ralu lebih memilih buat bertanya.
Ralu menghela napasnya. Papanya memang tipikal yang sudah buat bersabar. Tidak terhitung sudah berapa kali papanya melontarkan pertanyaan yang sama tentang Rasika. Tentang waktu ia melamar Rasika. Sepertinya papanya sudah kebelet ingin punya menantun dan juga cucu.
“Aku baru melamar lewat papanya.” jawab Ralu.
“Belum Rasika? Kenapa nggak melamar Rasika lebih dulu baru kemudian memintanya kepada papanya?” tanya Papa Ralu.
“Terjadi begitu saja, Pa. Lagi pula restu pak Adley aku yakin merupakan perioritas utama Rasika dalam urusan pernikahannya.” jawab Ralu.
“Ya, sudah kalo begitu. Semangat ya nak.”
“Iya, pa.”
“Ada yang ingin kamu katakan pada mama?” tanya Papa Ralu.
“I miss you dari Ralu. Katakan itu padanya.” jawab Ralu.
“Oke, papa pasti sampaikan. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
“Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.”
Sambungan telepon terputus. Ralu menghela napas. Menyakukan ponselnya. Ralu beranjak dari ruangannya. Tas punggungnya terpasang rapi pada punggungnya. Sepanjang koridor rumah sakit, ada beberapa orang menyapanya kemudian ia sapa balik.
Ralu lalu turun ke basement menggunakan lift khusus untuk staf rumah sakit. Ralu mengemudikan mobilnya pelan menuju salah satu tempat favoritnya dulu kala ia masih remaja. Kala ia masih menjadi anak dan pelajar baik yang tidak mengenal barang haram.
Ralu menajamkan tatapan matanya kala tanpa sengaja menangkap kehadiran Rasika dan Reza di dalam tempat favoritnya. Kafe baca pelangi. Ralu tidak hanya merasa tidak nyaman tapi juga cemburu kala melihat betapa akrabnya interaksi yang terbangun antara dua orang lawan jenis itu. Mungkin, Ralu harus mendengarkan papanya yaitu segera melamar Rasika.
Ralu memasuki kafe baca dan langsung di sambut oleh Arediat sang pemilik kafe baca. Satu-satunya sahabat yang ia punya. Sahabatnya yang dulu mati-matian memintanya buat menjauh dari barang haram. Arediat juga menjadi satu-satunya sahabat ia punya setelah ia semakin tenggelam di kelamnya kehidupan remajanya waktu itu. Hari ini adalah pertama kali mereka bertemu semenjak ia oleh orang tuanya di pindahkan ke Singapura.
“Apa kabar, Ralu?” tanya Arediat sembari memeluk Ralu.