Ada yang berbeda dari sosok Ralu. Memang, Ralu masih sama perhatiannya seperti biasa, hanya saja Rasika dapat merasakan ada yang mengganggu Ralu saat ini. Rasika ingin tahu namun ia tidak tahu bagaimana menanyakannya.
Rasika melirik Ralu di hadapannya. Laki-laki itu begitu fokus pada makanannya. Rasika menghela napas kemudian memanggil nama Ralu dengan suara pelan. Berharap perhatian Ralu akan sedikit terbagi untuknya.
“Ada apa? Makanannya tidak enak?” tanya Ralu menatap makanan Rasika.
“Ini enak.” jawab Rasika singkat lalu menyuapi dirinya sendiri.
“Oke.” ujar Ralu kembali fokus pada makanannya.
Suasana kembali hening di antara keduanya. Rasika meremas sendok di tangannya. Ralu walau matanya menatap makanannya, ia tetap tahu hal itu. Ralu menyadari perubahannya sendiri dan ia tahu Rasika pasti dapat merasakannya. Ralu menghela napas lalu bergerak menyodorkan sesendok makanannya ke depan mulut Rasika. Terlihat sekali kalo Rasika heran pada tindakannya itu namun meski begitu Rasika tetap membuka mulut menerima suapan dari dirinya.
“Bagaimana reaksi Mardeana soal rencana pernikahan kita?” tanya Ralu membuka topik baru.
“Dia marah.” jawab Rasika.
“Apa ia bertindak di luar batas?” tanya Ralu lebih lanjut.
“Bertindak luar batas? Seperti mencaci maki aku, menampar dan memukul aku?”
Ralu menggeleng. “Apa dia ada melukai dirinya sendiri?” Ralu tahu tidak baik untuk menanyakan hal ini tapi ia tidak bisa menahan diri. Ia ingin melihat apa Rasika bisa merasa cemburu.
“Apakah sekarang kamu sedang menunjukkan padaku kalo kamu mengkhawatirkan Mardeana?”
“Kenapa? Tidak suka?”
“Tentu saja tidak suka. Kamu ‘kan calon suami aku mana boleh mengkhawatirkan perasaan perempuan lain apalagi perasaan mantan kamu itu.” tanpa sadar Rasika menggerutu.
Bibir Rasika melengkung cemberut membuat Ralu merasa senang melihatnya. Ia juga senang mendengar gerutuan Rasika barusan. Ralu tidak tahu itu bukti cinta atau tidak yang jelasnya Rasika mengakui dirinya.
“Pengen peluk kamu sekarang.”
“Jangan peluk aku selama kamu masih perhatian pada cewek lain.”
“Ternyata kamu tipe posesif ya. Aku suka. Ayo segera habiskan makanan kamu, sebentar lagi jam makan siang akan berakhir.”
Suasana hening kembali menyelimuti keduanya. Rasika menghela napas memilih menuruti Ralu. Meyakinkan diri, tidak ada perubahan dalam diri Ralu saat ini. Rasika menepis perasaannya yang mengatakan kalo Ralu saat ini terganggu akan sesuatu.
Setelah selesai makan siang berdua di luar, Rasika dan Ralu langsung kembali ke rumah sakit. Sesampainya mereka di rumah sakit, mereka langsung di sambut dengan teriakan Firlan maupun Maria. Kedua perawat yang biasanya membantu Rasika itu tampak panik. Berlari sekuat tenaga menghampiri Rasika dan Ralu. Rasika dan Ralu melempar tatapan heran kepada satu sama lain.
“dr. Rasika, Vira kabur.” lapor Firlan. Deru napasnya tidak beraturan.
Rasika dan Ralu tanpa membuang-buang waktu langsung bergerak untuk mencari Vira. Firlan pun juga kembali bergerak melanjutkan pencariannya, kali ini mengikuti pergerakan Rasika dan Ralu. Sementara Maria, perempuan itu mendudukkan dirinya di lantai koridor rumah sakit. Kakinya ia selonjorkan. Tangannya memegangi dadanya. Menenangkan dirinya.
Rasika dan Ralu mencari Vira di taman rumah sakit yang terletak di samping kiri dan kanan gedung rumah sakit sementara Firlan mencari di lantai atas. Rasika dan Ralu kembali bertemu di rumah sakit setelah pencarian di taman sayap rumah sakit hasilnya nihil.
“dr. Ralu, apa yang harus kita lakukan?” tanya Rasika cemas. Mondar-mandir dengan tatapan matanya celingak celinguk kiri kanan mencari, masih berharap Vira ada di sekitarnya.
“Tenang, Vira pasti bisa kita temukan.” jawab Ralu menenangkan Rasika. Menepuk pelan bahu kanan Rasika.