Terlihat kertas origami bertebaran di lantai kamar bernuansa aquamarine itu. Di dekat pintu, Zinnia yang masih bergelung selimut tengkurap di atas lantai, dengan kaki sesekali menendang pelan pintu yang tertutup. Jam menunjukkan pukul enam pagi, gadis itu masih fokus pada pekerjaannya, menganyam bintang dari origami.
Tak berapa lama, suara ketukan di pintu terdengar. Zinnia sontak menegakkan tubuh, mengatakan bahwa ia telah terbangun, lalu lekas membereskan sisa pekerjaannya. Dari atas nakas, ia meraih stoples plastik bening, bekas permen yang isinya telah habis. Setumpuk bintang origami warna-warni yang berhasil ia buat kemudian dimasukkan ke dalam stoples, memenuhi hampir setengah bagiannya.
Meskipun belum tahu akan dijadikan apa, tapi Zinnia tersenyum puas. Ia menutup stoplesnya dan meletakkan kembali ke atas nakas.
***
SMA Negeri 16 Alibasyah - Siang hari.
Matahari bersinar ceria di atas kepala, kontras dengan wajah-wajah siswa yang memenuhi lapangan sesaat setelah bel istirahat pertama berbunyi. Siswa-siswi dari kelas sebelas IPA dua apalagi, setelah bergelung dengan kuis matematika di minggu pertama semester baru, tak ada satupun wajah ceria yang terlihat.
Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada jam istirahat bagi anak sekolahan. Waktu lima belas menit selalu kurang bagi mereka untuk merilekskan pikiran setelah melewati jam belajar di kelas. Tak heran, semuanya tampak buru-buru. Beberapa siswa berlarian ke arah barat, menuju kantin. Sementara beberapa lagi pergi ke ruang guru, berkumpul di pinggir taman atau di lapangan.
Sementara itu, dari arah berlawanan--keluar dari sebuah ruangan di pojok lapangan bola, Zinnia muncul dengan wajah ceria sambil tangannya memeluk dua buku tebal. Satu-satunya wajah ceria di kelas sebelas IPA dua.
Cewek itu berjalan santai menyusuri lapangan sekolah yang penuh sesak, menuju bangku-bangku berjejer di tepi taman sekolah yang menjadi tempat nongkrong tiga sahabatnya.
Di lapangan, gerombolan cowok berseragam olahraga asyik bermain voli. Bola berbentuk bulan purnama berwarna biru tua dipadu kuning itu silih berganti bergerak bolak-balik melewati pembatas, kadang-kadang melambung tinggi, lalu didekati, dipukul lagi, dan berakhir menghantam tanah.
Semerbak bau keringat menyesakkan hidung persis saat Zinnia melewati lapangan voli. Anehnya, hari itu banyak sekali yang bergabung dalam kotak segi empat tersebut, melebihi jumlah pemain sepak bola. Atau sebenarnya tidak aneh, karena ini adalah liga antar vamvire-vamvire ganas yang memperebutkan darah suci sang Patrick Star. Di antara bau asam keringat campur wangi ketiak, hidung cewek itu menyesap aroma lemon yang begitu kental. Zinnia memelankan langkah seraya mengendus sumber aroma segar tersebut.
Ia meneruskan langkah ke bangku kayu di pinggir lapangan. Airin, Diana, dan Selly sedang asyik ber haha-hihi di bangku paling ujung.
"Dari mana nih anak?" Selly langsung menyadari kehadiran makhluk gaib macam Nia yang memang biasa membuat merinding.
Senyuman lebar dan anggukan menjawab pertanyaan tersebut. Nia ikut duduk sambil memamerkan novel yang berhasil dipinjamnya untuk tugas Bahasa Indonesia.
"Cie yang senyumnya ceria sendiri!" cetus gadis berkacamata. Airin namanya, ia menatap sebal pada Nia. "Tau ga sih? Tadi kuis matematika dadakan dia ngumpul duluan, terus keluar kelas, gaada bagi-bagi jawaban lagi!"
Nia tercengir, ia sejurus merasa bersalah pada teman sekelasnya itu.
"Anak-anak kelas pada kesal sama lo, tauk!" lanjut Airin.
"Maaf, Rin. Kuisnya nggak kuisi semua kok, tadi tuh kebelet pipis aja makanya buru-buru ngumpul. Lagian pak Syahid mikir apa sih, baru seminggu sekolah udah kuis aja."
"Ckk! Terus abis dari toilet, mampir ke perpus?" Kali ini Diana yang bertanya, yang dijawab anggukan oleh Nia.
Diana mendesah. "Nebak Nia tuh gampang ya, kalo nggak di kelas, ya kumpul saka kita, atau ga di perpus."
Nia mengangkat bahu. "It's OK. Aku suka hidupku yang datar gini, nggak bikin pusing."
"Terus pinjam buku apa? Coba gue lihat." Selly mengambil alih satu buku bersampul kuning pudar dari genggaman Nia. Menimang-nimang sebentar sambil dibolak-balik, ia berujar. "Aih, ini novel tahun berapa, ya? Kunonya udah melebihin dinosaurus."
"Cuma bisa nemu novel itu. Nih, Rin," Nia beralih pada Airin dan menyodorkan sisa buku di tangannya pada gadis berkacamata bulat itu. "Jaga-jaga kamu marah, aku cariin satu nih buat tugasmu."
Airin yang menerima pun sontak tersenyum. Lagipula, ia tidak betulan marah pada Nia, hanya kesal saja. Tapi ia bersyukur sahabatnya itu mengingat dirinya saat mencari buku untuk tugas yang mesti dikumpulkan seminggu lagi.