Hari berikutnya, setelah dentum tak beraturan di dada terlupakan dan hari-hari kembali normal.
Di sudut lapangan sekolah, pukul delapan lewat lima menit, pak Bambang dengan setelan kaus merah dan training hitam kebesarannya memulai pelajaran olahraga dengan kalimat, "Marilah kita berdo'a menurut agama dan kepercayaan masing-masing."
Nia menundukkan kepala dalam-dalam, memejam mata dengan khusyuk. "Semoga hari ini Nia ketemu Alvaro. Aamiin."
Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia menyambut mata pelajaran olahraga yang notabene dibencinya dengan senyuman 10 watt dan wajah secerah matahari pagi ala Alvaro. Ya, belum apa-apa, senyumnya sudah menular. Ajaib, kan, ketika seseorang jatuh cinta?
"Rin, ajarin gue service bola voli, ya?" pintanya pada Airin yang sudah mengamankan satu bola voli setelah pemanasan selesai.
Cewek di hadapannya mengernyitkan alis. "Tumben-tumbenan Nia antusias begini pas jam olahraga, biasanya selalu duduk di pinggir lapangan sambil bilang 'aduh kakiku sakit!' atau 'aduh perutku sakit!'. Nah hari ini kenapa?"
"Ya ... pengen aja," jawab Nia buru-buru. "Aku takut nanti pas pengambilan nilai akhir dapet 60 lagi kayak pelajaran renang waktu itu."
"Mana ada sejarahnya Jin Tomang mau peduli sama nilai olahraga?"
"Sekarang aku peduli!" Nia mendekap tangan di depan dada. "Lagian Airin kenapa sih gamau ngajarin aku? Ck, mentang-mentang pacarnya pak Bambang kamu ya!"
"Nia, nanti didengar bapaknya!" Tangan Airin buru-buru mendekap mulut Nia, menyeretnya menjauh dari keramaian.
Dengan tidak rela, akhirnya gadis itu mengalah. "Yaudah, sini diajarin."
Airin membawa Nia menuju sisi lapangan yang sepi. Sambil menjelaskan, gadis bertubuh langsing itu beberapa kali mempraktekkan cara men-service bola dengan telaten. Nia tentu memerhatikan dengan sungguh-sungguh.
"Tunggu, posisi tangannya kayak gini!" Airin membetulkan posisi jari-jari Nia. "Nah lempar bolanya ke atas, gausah tinggi-tinggi banget. Dan ... aduh! Tangan kamu tuh terbuat dari karet apa gimana? Letoy bener!"
"Sori, beb! Sakit nih!!" Nia mengangkat kedua punggung tangannya yang habis memukul bola. Tepatnya, bola voli tadi hanya memantul di tangannya lalu gadis itu buru-buru berdecak kesakitan. "Lagian demi apa ribet banget sih cara mainnya. Boleh ga Nia tendang aja sampe ke seberang?"
"Itu sih namanya main sepak bola, sayang." Airin menggelengkan kepala. Ia tahu mengajari Nia akan percuma. Nia mungkin pintar dalam pelajaran lain, tapi nilai olahraganya selalu nol besar.
Setelah beberapa kali kembali mencoba mengajari Nia, Airin akhirnya menyerah. Ia menarik langkah ke arah lapangan yang telah dipasangi net.
"Ish, Airin, aku ikut!" Nia buru-buru menyusul.
***
"Please jangan si Jin yang main!" Terdengar protes keras dari Kusuma saat pak Bambang yang melihat Nia mengekori Airin tiba-tiba memintanya untuk memenuhi jumlah orang di tim sebelah kanan.
"Tenang, Nia bisa lah main ginian!" Nia memberi cengiran lebar pada Kusuma seraya menggulung lengan baju.
Gadis itu telah mengambil posisi. Lalu ia menunduk, menatap pada ubin tempatnya berpijak. Tanpa komando, sesuatu di dalam dadanya kembali bertalu dengan hebat seperti suara tabuhan dol. Gilanya, semua itu terjadi hanya karena ia tiba-tiba teringat bahwa di pijakan yang sama, kemarin siang seorang cowok dengan senyum 10 watt dan joget tentakel ala Squidward telah lancang mencuri hatinya.
"Bisa bikin tim kita kalah, maksudnya?" Kusuma kembali nyeletuk.
"Yoi!" Nia mengangguk.
"Sialan!" Cowok berbadan kekar dan cerewet yang entah bagaimana caranya bisa terpilih jadi ketua kelas tiga periode itu mengumpat.
"Bilang sialan lagi, gabakal kukasih contekan satu semester, ya!"
"Sialan!"