Ini bukan cerita tentangku, tapi tentang Alvaro, anak lelaki dengan senyum 10 watt dan wajah secerah mentari pagi yang kemarin siang muncul tanpa diduga, berkata akan membayar pesanan ayam bakarku.
Kisah ini miliknya. Setiap kata yang kutulis di sini adalah untuknya.
Zinnia merobek kertas kecil yang ia bubuhi tulisan, lalu menggulung dan menyimpannya ke dalam stoples bintangnya.
***
SMA Alibasyah merupakan salah satu sekolah hijau yang setiap tahun langganan memboyong pulang piala Adiwiyata. Dari pohon kelapa, cemara bonsai, bebungaan, hingga pohon mangga dan jambu air tumbuh dengan subur dan terawat halaman sekolah. Namun, di antara sekian banyak pepohonan rindang itu, pohon ketapang yang tumbuh di antara kelas Sebelas IPA 2 dan Sebelas IPA 3 menjadi pohon favorit Nia.
Pohon itu tumbuh di antara kelasnya dan Diana, yang juga berarti, di antara kelasnya dan kelas Al.
Mungkin, Al dan pohon ketapang itu mirip. Mereka adalah dua anugerah yang mesti ia syukuri keberadaannya di masa SMA. Sementara pohon ketapang yang rimbun itu selalu sedia meneduhkan dari terik matahari, Al meneduhkan pandangan matanya setiap hari.
Bersebelahan kelas dengan Al membuat Nia bisa leluasa memerhatikan cowok itu dari koridor depan kelasnya atau mencuri pandang diam-diam ke pintu kelas tetangga yang terbuka.
"Jadi..." Selly mengetuk-ngetukkan jemarinya di sandaran bangku kayu di bawah pohon ketapang. Matanya yang besar lekat menatap pada kedua bola mata Nia yang tampak gugup. "Ada apa di antara kamu dan si anak baru itu?"
"Namanya Alvaro!" terdengar suara Diana yang duduk di kiri Nia.
Nia merasa gugup diinterogasi. Untung saja Airin sedang ada agenda kumpul bersama anak ekskul karate di perpustakaan, sehingga meskipun sedikit, setidaknya ia bebas dari gebukan bertalu-talu yang acap dilayangkan sahabatnya yang satu itu secara membabi buta.
"Ya, ya, Alvaro. Kamu suka sama anak baru itu, Jin? Gausah berkelit, sorot matamu bisa menjelaskan semuanya."
"Yoi!!" Diana membenarkan perkataan Selly. "Aku bisa lihat ciri-ciri orang jatuh cinta di wajah Jin Tomang ini. Pertama, merasa gugup ketika berhadapan dengan cowok yang dia taksir. Kedua, matanya sibuk jelalatan mencari keberadaan cowok yang ditaksir. Ketiga, gugup kalau membicarakan topik terkait cowok itu. Keempat, gendang telinganya menjadi super peka terhadap nama cowok yang ditaksir."
"Woah!" Tiba-tiba Selly berteriak heboh, matanya melotot ke kejauhan. "Alvaro! Itu Alvaro! Lagi jalan kesini!" teriaknya, membuat Nia spontan menolehkan kepala.
Tidak ada siapapun di sana. Samar-samar terdengar cekikikan geli. Awalnya pelan seperti suara tikus terjepit, lama-lama berubah menjadi tawa mak lampir.
Diam-diam Nia berdoa agar buah ketapang raksasa segera jatuh tepat di kepala dua sahabatnya itu.
"Fix, Nia suka sama Alvaro!" tandas Diana kemudian, setelah berhasil menguasai tawa. "Ciri-cirinya udah jelas banget."
Nia hanya bisa menunduk menahan sebal dan malu.
"Hahaha. Tapi, Di, ciri-ciri yang pertama kayaknya salah, deh," ujar Selly.
"Yang mana? Merasa gugup ketika berhadapan dengan cowok yang dia taksir?" Diana mengulang kalimatnya.
"Beuh, gugup pas berhadapan?! Jarak tiga meter dari Alvaro aja dia langsung hilang nyali, kayak kerupuk kena siram kuah bakso."
"Pantes aja waktu itu di lapangan dia tiba-tiba nanyain Alvaro. Zinnia gitu, sejenis Jin yang biasanya lebih tertarik sama buku dibanding manusia, tiba-tiba nanyain nama seseorang."
"Kapan? Kok aku nggak tahu,"
"Sekitar sebulan yang lalu," ujar Diana. "Hari waktu kamu patah hati karena kak Dama jadian sama kak Faye itu loh."
Selly menyenggol lengan Nia. "Kok Nia diam aja sih? Sejak kapan suka sama Alvaro? Love at first sight, ya, Jin?"
"Jin? Eh, Jin Tomang! Kok lo malah diam, sih?" Selly kembali bersuara.
"Iyaaa," cicit Nia akhirnya, berpikir tak akan tahan menerima lebih banyak godaan lagi. "Iya, Nia suka sama Al! Alvaro maksudnya!"
"Cieeeee!!!" Walaupun bebas dari gebukan Airin, tapi ia tetap tersiska oleh suara melengking nan nyaring milik Selly. "Jin Tomang kita, yang polos-polos menggemaskan akhirnya jatuh cinta lagi. Cieeee, sini peluk dulu sini."
"Ish, jijik banget, Sellimut!!" Nia menggeser duduk dengan segera sebelum Selly yang alay-nya sudah dilevel menggenaskan itu berhasil memeluknya.
"Gitu banget sama aku. Sini, Jin! Duduk di sini, cerita dong tentang hati kamu yang berlabuh ke anak baru itu."
Alih-alih mendekat pada Selly, Nia makin merapatkan duduk pada Diana yang sifat tenangnya begitu ia kagumi selama ini. Lagian, lumayan, bahu empuk Diana memang tempat terbaik buat bersandar.
"Jadi, Nia benaran love at first sight, nih?" tanya Diana.
Masih bersandar di bahunya, Nia mengangguk.
"Serius? Pas kamu tanya namanya waktu itu karena tertarik sama dia?"
"Iya."
"Kok bisa?"