Setrum Warsito

Bentang Pustaka
Chapter #2

Warsito dan Mimpi Indonesia

Danau Hamana di kota Hamamatsu terasa sejuk menjelang sore, 29 April 2014. Kolam alam ini merupakan tempat pelarian Warsito dari rutinitas penelitian yang kadang terasa begitu menjemukan.

Seperti apa sih keseharian seorang peneliti?

“Saya harus masuk jam sembilan pagi, baca-baca bahan, meeting atau seminar. Siang, habis makan, ambil data dan eksperimen sampai jam enam sore, terus makan. Setelah shalat Magrib, menganalisis data atau baca paper yang belum kelar. Sekitar jam sebelas malam biasanya lapar. Jadi, saya makan lagi, lalu kerja sampai jam satu atau dua dini hari. Waktu sudah berkeluarga, sore jam enam pulang dulu ke flat. Jam delapan malam balik ke laboratorium sampai jam dua belas malam.”

Sambil berjalan, ia membetulkan letak syal yang jatuh ditiup angin danau. Jaket kulitnya ikut dirapikan.

Penampilan lulusan Shizuoka University ini jauh dari gambaran ilmuwan kebanyakan. Bahunya kekar, perutnya datar. Ia terlihat modis dengan sepatu kulit bertali yang nyaman dibawa berjalan. Dan syal dengan motif garis-garis yang tadi dirapikannya, berpilin warna oranye dan abu-abu. Namun, justru padu dan serasi. Sang doktor bergeser cepat ke samping, memberi ruang kepada dua orang Jepang yang berlari kencang.

“Saya juga pernah ikut lomba lari waktu kuliah,” katanya, seolah menekankan bahwa gaya hidup sehat dan seimbang itu pilihan, apa pun profesi yang ditekuni seseorang. Ia tidak merokok dan tak sekali pun pernah mencobanya ketika remaja. Terhadap makanan, pilihan utamanya ikan mentah ala Jepang dan sayur-sayuran, kecuali ketika pulang ke rumah ibunya di kampung. Stimulus pikirannya adalah musik rock yang berdentam cepat. Semakin rapat gebukan drum dan permainan kunci gitar, semakin asoi. “Mikirnya jadi lebih cepat,” katanya.

Kedatangan Warsito ke Jepang di musim semi 2014 bukanlah jalan-jalan biasa. Memang ada unsur nostalgia dengan berkunjung ke Hamamatsu, bertemu pembimbingnya, Profesor Shigeo Uchida, makan unagi dan soba paling enak di kota itu, juga menikmati sore di Danau Hamana. Namun, acara utamanya adalah menandatangani nota kesepahaman dengan Profesor Ken Umeno, seorang ahli chaos theory di Kyoto University.

Warsito dan Umeno berkolaborasi untuk sebuah ide gila: “membaca” otak manusia.

Bagaimana penjelasannya?

“Selama ini, kita kan berkomunikasi jarak jauh dengan memasukkan suara ke dalam ponsel atau menuliskan pesan. Nah, kerja sama dengan Profesor Umeno adalah pintu menuju komunikasi antara otak dan internet, atau antarotak manusia yang difasilitasi internet. Informasi apa pun dari internet bisa diinjeksikan ke dalam kepala, melalui komputer tentunya. Atau sebaliknya, kepala kita yang memerintahkan mesin pintar tersebut bekerja, menjadi semacam google atau pencari data yang dibutuhkan,” ujar Warsito.

Kedengarannya seperti di film-film scifi?

Lihat selengkapnya