Seven Days

ken fauzy
Chapter #1

Bab 1.

Di sebuah kota kecil.

Hari masih pagi benar. Matahari baru memberikan cahaya hangatnya dari garis horison. Sebagian cahaya masih tertahan di balik bukit – bukit yang berbaris di kejauhan sana. Sisa embun masih membulir di atas daun - daun semak yang tumbuh di jalan – jalan rumah, dan pekarangan.

Di salah satu rumah, seorang pemuda sedang bersiap - siap. Ia menyeduh secangkir teh harum melati yang manis hangat dan menyeruputnya. Di pagi yang dingin, setegukkan hangatnya teh manis yang mengalir di tenggorokan bisa memberikan perasaan tenang yang nyaman. Kemudian ia melap sepedanya agar terlihat bersih, merapihkan serta menghitung jumlah koran – koran pagi yang akan dibawanya, setelah sesuai ia masukkan ke dalam tasnya, lalu bersiap memakai jaketnya.

Sebelum pergi, ia mampir ke garasinya dulu, sebuah garasi kecil bekas bengkel motor ayahnya yang telah dirubahnya menjadi studio lukis sederhana. Di dalam garasi, terdapat sebuah rak kayu terdiri dari empat tingkat, tempat menyimpan gulungan kanvas, kertas – kertas, kuas dengan berbagai ukuran, palet, pisau palet dan cat – cat lukis, di sebelahnya terdapat sebuah meja yang di atasnya terdapat puluhan pinsil dengan ketebalan yang berbeda dan kertas - kertas yang telah digambari berbagai sketsa wajah. Di pojok garasi terdapat sebuah sofa empuk dan meja kecil, sedang di tengah garasi, tepat di bawah lampu berdiri sebuah easel yang ditutupi sebuah kain.

Pemuda itu menarik kainnya dan memperhatikan sebentar sebuah lukisan yang semalam baru saja diselesaikannya. Lukisan dari wajah seorang gadis cantik berlesung pipi sedang tersenyum. Dilukis menggunakan pinsil dengan arsiran terang gelap dan penambahan sedikit warna dari cat minyak, membuatnya menjadi sebuah perpaduan lukisan yang unik. Sebuah lukisan wajah hitam putih dengan warna – warni dari sorot matanya yang coklat, lesung pipinya yang gading dan senyum merah bibirnya.

Ia menyeruput tehnya sambil senyum – senyum sendiri menatapnya. Wajah inilah yang memberinya semangat untuk bangun pagi dan menjalani hari. Wajah inilah yang membuat paginya menjadi begitu bersinar cerah. Pemuda itu sebentar memejamkan mata, membayangkan bila gadis yang dilukisnya ini duduk di boncengan sepedanya.

“Hussh! Pagi – pagi sudah senyum – senyum sendiri,” cetus seorang perempuan lanjut usia dari depan pintu garasi. Pemuda itu terkejut, membuka matanya, “Hehehe, Nenek bikin kaget aku aja ah,” ujarnya sambil tertawa. “Ini rotimu Zen, habiskan dulu sebelum pergi..” kata nenek dan menyerahkan setangkap roti tawar berisikan coklat. Zen menerima dan langsung melahapnya. Sebentar sang nenek memperhatikan lukisan di easel tersebut, “Cantik, seperti ibumu…” gumamnya tersenyum.

Zen memeluk neneknya. “Aku berangkat dulu Nek,” bisik Zen meraih tangan perempuan tua itu dan mencium punggung tangannya. Setelah meminum lagi tehnya untuk mendorong potongan roti terakhir yang masih bergumul dalam mulutnya, ia menutupi lukisan itu kembali dengan kain. Menutup pintu garasinya, menyelempangkan tas berisikan koran - koran dan mengambil sepedanya. “Hati – hati Zen,” ujar nenek, Zen mengangguk dan melambaikan tangannya.

Sepeda dikayuh dan rodanya mulai berputar melalui jalan – jalan yang masih berangin dingin dan melewati rumah – rumah yang lampu terasnya belum dimatikan. Zen menikmati udara jalanan pagi yang masih terasa segar untuk dihirup ini. Terus mengayuh hingga sampai pada jalan besar yang mulai ramai kendaraan dengan asap knalpotnya. Zen menyeberangkan sepedanya berhati - hati menuju sebuah komplek perumahan. “Selamat pagi Pak,” sapa Zen pada satuan keamanan yang berjaga. Seorang keamanan mengangguk membuka portal gerbangnya dan mengijinkan Zen masuk.

Sepeda Zen menyusuri jalan – jalan mulus dalam komplek. Satu dua koran mulai dilemparkan ke pekarangan – pekarangan rumah. Ia bersiul – siul senang melakukan pekerjaan setiap paginya ini. Wajah gadis tadi telah memberinya suntikan semangat padanya. Zen berputar – putar mendatangi rumah – rumah pelanggannya itu, ia sudah hapal dan tidak pernah salah melempar koran pada pelanggannya. Tak terasa, koran – koran sudah diantarkannya, tinggal tersisa satu koran lagi.

Zen tersenyum senang akan mengantarkan koran terakhir ini, ia bersemangat mengayuh sepedanya menuju rumah terakhir tersebut. Seorang gadis tiba – tiba muncul di belokan membuat Zen terkesiap dan menarik remnya cepat, sepedanya berhenti tepat di depan gadis yang terpekik kaget tersebut, nyaris saja mereka bertabrakan. Dadanya seketika berdegup kencang ketika melihat gadis yang hampir ditabraknya itu.

“Duh Mas, hati – hati dong bawa sepedanya,” cetus gadis itu sambil memegangi dadanya yang naik turun. Zen mengangguk gugup, ”Eh iya, iya…ma…maaf ya.” Gadis itu menilik dan memperhatikan koran yang dipegang Zen. “Mau nganter koran ke rumah ya? Sini aku ambil aja Mas, sekalian pulang,” katanya. Zen mengangguk dan dengan sedikit gemetar menyerahkan korannya. Gadis itu mengambil korannya sambil tersenyum menampilkan lesung pipinya, kemudian melanjutkan larinya lagi. “Lain kali jangan melamun ya Mas,” teriaknya dari belokan jalan.

Lihat selengkapnya