Beberapa saat kemudian Zen sampai di rumah sakit, beberapa suster jaga berlarian membantu Zen menurunkan gadis itu dari sepeda serta memindahkannya ke atas ranjang beroda. Ranjang itu didorong masuk dengan cepat, Zen mengikuti.
“Apa yang terjadi Mas? Kenapa kepalanya bisa berdarah?” tanya seorang suster yang memegang catatan. Zen kebingungan. “Bisa jelaskan kronologisnya? Siapa nama gadis ini Mas?” suster itu bertanya lagi cepat. “Saya kira kepalanya tertimpa batang pohon yang patah Sus,” hanya itu yang bisa dijawab Zen. Suster mencatat dan segera bergabung bersama rekan – rekannya yang telah lebih dulu masuk ke ruang gawat darurat. Zen hanya berdiri termangu melihat pintu ruang tersebut ditutup. Ia memutuskan untuk menunggu di situ dalam kebingungan harus menghubungi siapa. Zen duduk di kursi tunggu dalam hatinya berdoa agar tidak terjadi sesuatu yang parah terhadap gadis itu.
Setelah lama menunggu, seorang dokter keluar dari ruangan gawat darurat dan menepuk bahunya.
“Keluarga dari Luna?” tanya dokter itu. Zen menoleh, “Luna?”
“Iya, gadis yang tadi Mas gendong ke sini, kami menemukan kartu identitasnya di dompetnya ini, di kantong jaket olahraganya,” dokter menyerahkan dompet itu pada Zen. Oh namanya Luna, bisik Zen dalam hati.
“Mas keluarganya?” tanya dokter itu lagi.
Zen menggelengkan kepalanya, “Eung…bukan Dok, saya--”