Seven Days

Mizan Publishing
Chapter #1

Day 1

Secercah cahaya dari jendela dan suara air mengucur yang terdengar dari kamar mandi menjadi alasanku untuk bangun pagi kedua kalinya setelah shalat Subuh. Lembutnya kain seprai dan bantal yang tidak terlalu empuk membuat otakku sadar kalau saat ini aku tidak sedang berada di kamarku sendiri, yang menurut hipotesaku sudah menjadi tempat ternyaman di dunia. Meski begitu, tetap saja bangun pagi kali ini terasa menyenangkan.

Mataku mengerjap perlahan, mengumpulkan nyawa yang beterbangan. Ada sensasi tersendiri ketika bangun pagi di tempat yang tidak biasa seperti hari-hari lainnya. Udara segar yang berbeda, sinar matahari yang berbeda, kamar yang berbeda, dan dua buah ransel yang sudah terbuka. Isinya sudah tertata rapi di lantai pojok kamar. Pasti Shen yang merapikan malam tadi, setelah aku terkapar lelah tanpa peduli pada barang-barangku sendiri.

Tanganku meraih ponsel dan menyentuh layarnya, masih pukul 06.00 waktu Bali. Rasanya malas beranjak dari tempat nyaman ini meski satu sisi diriku begitu bersemangat untuk pergi ke pantai dan menikmati udara laut di pagi hari. Shen sepertinya sudah selesai mandi, tidak terdengar lagi suara kucuran air shower. Aku bangun dari tempat tidur.

Sambil berdiri di depan cermin besar yang menempel di tembok, aku menatap pantulan diri sendiri. Sosok gadis usia dua puluh lima yang masih sering disangka mahasiswa. Bukan karena awet muda, melainkan lebih karena postur tubuh kurus dan tidak terlalu tinggi, rata-rata tinggi wanita Indonesia. Rambut lurus sepunggung yang tidak pernah ditata kecuali kucir kuda, dengan sedikit poni menjuntai yang terkadang menutupi mata dan pipi. Kulit sawo matang, wajah hampir tidak pernah tersapu make up, hidung nggak mancung-mancung amat, dan bibir tipis. Kata orang-orang, daya tarikku hanya sepasang mata bulat dengan sorot mata sayu.

Kuambil make up case untuk membersihkan wajah. Saat aku masih mengelap wajah dengan tisu basah, Shen keluar dari kamar man-di. Hanya mengenakan celana pendek dengan handuk tersampir di bahunya. Melihat sahabatku bertelanjang dada sudah menjadi hal biasa buatku. Jangankan tidak memakai baju, saat masih TK kami malah sering main hujanhujanan dan mandi di pancuran rumah, samasama telanjang. Aduh, kenapa otakku malah kepikiran urusan telanjang?

“Pagi, Nilam.”

Senyumku mengembang melihat wajah Shen yang tampak segar. “Pagi, Shen.”

Shen mulai mencari-cari kaus dari dalam ranselnya. “Nyenyak semalam?”

“Seperti mati suri,” jawabku singkat. Kami tertawa. Sudah menjadi rahasia umum kalau aku memang kebo dalam masalah tidur ketika teramat lelah, tapi sanggup begadang sampai pagi ketika hasrat melukis begitu erat mencengkeram otak dan hati.

“Cepetan mandi. Kita ke pantai sekalian cari sarapan.”

Kuambil alat mandi dan memilih kaus tanpa lengan serta celana selutut untuk dikenakan. Saat masuk ke kamar mandi, otakku mulai berpikir. Hari pertama di Bali dengan Shen, berdua saja, semua tampak normal sampai pagi ini.

******

Selamat pagi, Pantai Kuta ....

Ketika menjejak pasir halus yang menggelitik kaki, satu hal yang kulakukan dalam hati adalah bersyukur karena telah datang ke tempat ini. Mendengar debur ombak, memandang birunya laut lepas yang menyegarkan mata. Semilir angin segar menyentuh kulit dengan lembut, mengantarkan impuls dan membuatku ingin terus tersenyum menikmati.

Suasana masih sepi dan tenang. Hanya beberapa turis asing lewat sambil menenteng papan selancar, mungkin mencari tempat yang ombaknya lebih tinggi. Anak-anak kecil penduduk lokal tampak seru bermain layang-layang. Dua ekor anjing kecil tampak berkejaran dengan gembira. Pemiliknya hanya berjalan santai dan sesekali bersiul jika kedua binatang itu berlari terlalu jauh. Aku berjalan merapat pada Shen saat salah satu anjing tersebut mendekat. Selucu apa pun binatang itu, traumaku dikejar anjing saat duduk di bangku TK masih melekat dan selalu membuatku takut.

“Tenang, Nilam. Mereka nggak akan ngejar.” Shen tertawa melihatku ketakutan.

Aku tidak peduli dengan ucapan Shen dan tetap berjalan di sampingnya sambil mengintipintip untuk memastikan si anjing kecil tidak mengikuti. Kami terus berjalan menyusuri pantai, memperhatikan ibu-ibu berseragam dinas kebersihan yang memunguti sampah. Nun jauh beberapa ratus meter dari tempat kami, kulihat sebuah mobil perata tanah untuk meratakan pasir pantai. Perawatan yang baik sekali untuk sebuah tempat wisata.

Shen berhenti berjalan, mengeluarkan kain pantai dari tas kecilnya. “Kamu duduk di sini dulu, ya? Aku mau lari pagi.” Dia menggelar kain di atas pasir.

“Jauh?” tanyaku.

“Nggak kok. Paling bolak-balik di sekitar pantai ini.”

Aku duduk di atas kain, memperhatikan Shen yang mulai meregangkan tangan dan kaki, bersiap untuk lari. “Oke, aku tunggu di sini.”

“Tunggu sebentar, ya.”

Aku mengangguk, menatap Shen yang mulai berlari menjauh. Aku tidak suka lari. Lebih baik jalan kaki sejauh apa pun daripada harus lari meski hanya seratus meter. Olahraga yang aku suka hanya berenang. Sisanya, yang membutuhkan lari-lari, aku tidak suka. Makanya aku paling malas kalau harus menemani Shen jogging tiap minggu di Senayan atau saat car free day di Sudirman.

Haahhh .... Kurebahkan tubuhku di atas kain, tiduran melihat langit biru yang mengarak awan putih. Langitnya cerah, biru, tapi tidak menyilaukan mata. Mungkin karena masih pagi juga, matahari belum mengganas memancarkan sinar ultravioletnya. Senang sekali berada di suasana seperti ini. Damai, tenang, membangkitkan mood untuk melukis. Oh, ya, nanti siang aku akan minta Shen mengantarku untuk membeli kanvas.

Tiba-tiba aku teringat Reza. Biasanya Sabtu pagi seperti ini dia belum bangun. Dia hanya mengirim pesan Hai, Cantik! saat subuh tadi, lalu tidak ada kabar lagi. Pasti tidur setelah shalat. Mungkin sebaiknya kukabari dia agak siang. Pasti dia iri kalau kuceritakan bagaimana menyenangkannya suasana di sini. Atau aku minta saja padanya untuk pergi ke Bali berdua kapankapan. Untuk bulan madu, mungkin? Ah, aku jadi teringat kalau belum menjawab perihal lamarannya. Padahal sudah hampir dua bulan.

Tentang Shen, aku bahkan belum bertanya lagi apa maksudnya “memantapkan perasaan masing-masing” yang dia ucapkan sebulan lalu sebagai alasan jalan-jalan ke tempat ini.

“GUK!”

Refleks lamunanku buyar, langsung terbangun, dan celingukan mencari arah suara. Beberapa puluh meter dari tempatku bersantai, ada seekor anjing jenis golden retriever berlari-lari kecil tanpa kulihat tuannya. Ukuran tubuhnya tidak terlalu besar, mungkin masih kategori bayi. Tapi tetap saja, anjing dengan ukuran dan jenis apa pun selalu membuatku waspada. Sialnya, sepasang mata sendu milik si goldy mungil itu malah balas menatap ke arahku.

“GUK! GUK!”

Oke, kewaspadaanku meningkat dua kali lipat. Tenang, Nilam, jangan takut dan santai saja. Toh si anjing masih cukup jauh dan belum tentu akan datang kemari. Sayangnya, ketenanganku semakin terusik karena si goldy mulai berlari-lari kecil sambil sesekali mengendus-enduskan hidungnya ke dalam pasir. Kepalaku menoleh menyapu wilayah pantai, berusaha dan berharap menemukan pemilik goldy mungil ini. Nihil, tidak ada orang yang peduli. Panik semakin merambati perasaanku. Aku berjongkok, berpikir untuk secepatnya menghindar daripada diam seorang diri.

Lagi-lagi sial, aku yang heboh buru-buru berdiri malah menarik perhatian si goldy. Ia mulai menggonggong beberapa kali, aku semakin panik, berjalan mundur perlahan dengan ekor mata tak lepas dari si goldy, tetap waspada. Si goldy malah semakin tertarik padaku dan gotcha! Ternyata ia memutuskan berlari ke arahku dengan lidah menjulur-julur kesenangan. Lari, Nilam! Otakku memberi perintah, dan tepat saat itu aku melihat Shen yang masih berlari di bibir pantai.

“Sheennn!!” Kuperintahkan kaki untuk lari sekencang mungkin ke arahnya.

Aku tidak peduli, sepertinya teriakanku sudah mengundang pandangan mata semua orang yang sedang bermain di pantai ini. Atau malah membuat goldy mungil semakin bersemangat mengejarku sambil menggonggong kencang. Yang ada dalam otakku adalah lari tanpa menoleh ke belakang, menuju Shen yang malah melongo menatapku.

Semakin dekat dengan Shen, aku langsung menghambur ke pelukannya. Meminta perlindungan dari goldy mungil yang tega sekali membuatku harus lari pagi tanpa pemanasan. Shen malah terbahak melihat tingkahku yang menjerit-jerit ngeri. Satu tangannya memeluk tubuhku, tangannya yang lain malah asyik bermain dengan goldy mungil yang berloncatloncatan. Ditambah dengan sisa debur ombak menjilati kaki, si goldy mungkin menyangka seru sekali bermain dengan kami.

Tak lama kemudian, kami mendengar seseorang berteriak memanggil nama Milo. Si goldy mungil pun berlari menuju arah suara tuannya yang ternyata seorang turis asing seusia Ayah, berkulit putih pucat dengan rambut pirang. Dia melambaikan tangan pada kami sambil tersenyum lebar. Shen balas melambaikan tangan dan ikut tersenyum lebar. Aku sendiri hanya tersenyum kecut dengan bibir gemetar.

“Udah, nggak apa-apa.” Shen masih tertawa kecil saat melepas pelukannya.

“Nggak apa-apa bagaimana? Kalau tuh anjing punya rabies dan gigit aku, gimana?” semburku panik dan kesal. Mataku melotot menatapnya, napasku masih terengah lelah dengan jantung berdebar kencang. Campuran antara capek karena mendadak lari dan ketakutan. Shen tampak berusaha meredam tawanya dengan susah payah. Sejak dulu, dia memang paling senang melihatku panik tak keruan.

Telapak tangan Shen menyentuh pipiku lembut, merapikan anak rambut yang dimainkan angin. Seketika saja aku sadar ternyata kami sedekat ini. Bagus sekali, setelah capek dan takut, kini jantungku semakin membelot tak bisa diatur dan berdebar karena kedekatan kami.

“Anjing itu, si Milo tadi, pakai kalung leher. Berarti ia ada pemiliknya. Biasanya pemilik anjing sudah memvaksin hewan peliharaan mereka. Tenang aja, Nilam.” Shen berusaha meyakinkan dengan cengiran khasnya.

“Tapi, dia ngejar aku!”

“Disangkanya kamu hanya main-main. Mereka, kan memang suka lari.”

“Aku nggak suka.” Bibirku mengerucut cemberut.

Shen hanya bertolak pinggang dan tertawa geli. Dia kembali berjalan menuju kain pantai yang kutinggalkan tergeletak berantakan. Aku mengikutinya di belakang.

“Kita cari sarapan aja deh, yuk,” ajak Shen setelah melipat kain dan memasukkannya ke dalam tas. Aku hanya menurut sambil masih berusaha keras menenangkan debar jantung yang berloncatan.

Mencari sarapan di sepanjang Legian tentu tidak sama dengan di Senayan setiap pagi. Tidak ada warung atau gerobak di pinggir jalan di sini. Pilihannya hanya restoran hotel, kafe, atau restoran cepat saji. Berhubung sudah diperingatkan Ayah agar berhati-hati untuk mencari makanan halal bagi umat Muslim saat di Bali, kami akhirnya memilih restoran cepat saji yang tidak menyajikan menu “berbahaya” bagi aturan agama kami.

Waktu seperti berjalan lebih cepat. Jam sudah menunjukkan pukul 10 dan aku masih nongkrong makan es krim sembari menikmati perubahan keramaian di Jalan Legian yang mulai meriah. Toko-toko yang mulai buka, orang asing yang berlalu-lalang. Aku merasa lebih se-ring melihat orang asing dibanding penduduk lokal. Seperti tinggal di luar negeri saja.

Setelah bosan duduk di restoran cepat saji, Shen mengajakku mengambil mobil yang sudah dipesannya untuk alat transportasi selama di Bali. Di sini banyak sekali penyewaan mobil dan motor dengan syarat yang tidak rumit. Ada rasa heran dan salut pada para pemilik persewaan yang begitu baik hati dan percaya saja pada penyewa.

Lihat selengkapnya