Efek pulang pukul 2 pagi membuatku lang-sung tertidur lagi setelah shalat Subuh tadi. Dari jendela kamar yang sengaja tidak kututup tirainya, sinar matahari sudah makin benderang. Layar ponsel menunjukkan waktu pukul 08.30. Masih setengah mengantuk dan bermalasmalasan, aku membuka pesan WhatsApp dari Reza. Dia mengabarkan akan pergi bersepeda dan main game dengan teman-teman kantornya seharian ini, jadi mungkin sulit dihubungi.
Senyumku tersungging. Bagi wanita yang punya pacar seorang gamer, ditinggalkan oleh pacar seharian penuh tanpa kabar dan ternyata dia asyik main game itu sering kali menjengkelkan. Dulu, aku sering protes pada Reza tentang hal itu dan dia balas protes sulit menghubungiku ketika asyik melukis. Akhirnya dibuat kesepakatan, jika akan melakukan aktivitas dan tidak ingin diganggu, kami akan saling mengabari sebelumnya. Selama tiga tahun ini, sudah begitu banyak kesepakatan yang kami buat. Semuanya demi saling memahami. Aku yakin semua pasangan melakukan hal yang sama.
Saat kembali menyurukkan kepala di bantal, lagi-lagi terdengar suara notifikasi dari ponsel. Pesan dari Shen.
Shen : Kamu udah bangun?
Nilam : Baru aja.
Shen : Cepat mandi sama beres-beres, ya. Habis sarapan kita ke Ubud.
Nilam : Emang kamu sudah siap?
Shen : Aku udah mandi, lagi beres-beres. Kalau kamu mau dibantuin packing, ketuk pintu kamarku aja.
Kepalaku kembali lunglai. Ah Shen, kenapa kamu hobi sekali cepat-cepat, sih? Aku kembali membalas.
Hah? Shen bahkan sudah bersiap-siap. Mau tak mau aku langsung loncat ke kamar mandi. Meski sebenarnya masih ingin menikmati suasana hari Minggu dengan bermalas-malasan di kasur, tapi pasti nanti Shen akan ngoceh tak keruan. Nilam, kita di Bali hanya satu minggu. Masih banyak tempat wisata yang harus kita kunjungi dan nikmati. Kalau mau malas-malasan, di Jakarta juga bisa. Bisa kubayangkan bagaimana mimik wajah Shen yang akan berkata seperti itu.
Cukup waktu lima belas menit untuk mandi pagi dan keramas. Saat masih mengeringkan rambut, Shen sudah memanggil dan mengetuk pintu.
“Ya, sebentar.” Kubuka pintu dan tampak Shen yang sudah rapi dengan celana jins dan kaus putih. Ranselnya sudah dia bawa serta. “Aku masih dandan sama ngeringin rambut,” kataku tanpa dia tanya.
Shen langsung masuk ke kamarku dan menyimpan ranselnya di tempat tidur. “Mana barangmu yang sudah selesai dipakai? Aku bantu packing sekalian. Nanti tinggal angkut ke mobil.”
Untuk urusan dandan, aku tidak pernah melakukannya dalam waktu cukup lama dan menghabiskan beberapa produk kecantikan. Cukup sunblock, bedak tabur, dan pelembap bibir. Sehingga wajar jika kulitku memang tidak seputih dan semulus gadis-gadis Jakarta kebanyakan yang tidak pernah lupa perawatan dokter kulit secara rutin. Sebenarnya aku ingin juga seperti mereka, apa daya uangku lebih sering habis untuk membeli kanvas dan cat minyak.
Dandan kilat selesai bersamaan dengan Shen yang juga selesai merapikan kedua ransel besar kami.
“Turun, yuk. Kita sarapan sekalian.” Shen sudah selesai mengecek seluruh kamar dan yakin tidak ada barang yang tertinggal.
Kami menggendong ransel masing-masing menuju lantai bawah dan ke restoran sederhana di dekat lobi. Ternyata ada pasangan Andrea dan James di sana sedang sarapan juga.
“Hi, good morning,” sapaku riang, menghampiri mereka.
James yang sedang asyik makan roti bakar langsung berdiri menyambut dengan senyum lebarnya. “Hey, Nilam and Shen! Where are you going?” tanya James karena melihat tas kami.
“Ubud, James,” jawab Shen antusias.
Aku mencium pipi kanan dan kiri Andrea. Shen bersalaman akrab dengan James.
“Let’s have breakfast together,” ajak Andrea senang.
Shen dan aku memesan menu yang sama, salad dan pancake cokelat. Kami berempat ngobrol ngalor-ngidul dan berbagi cerita kehidupan masing-masing. Andrea dan James sudah pacaran sejak kuliah di tingkat kedua, mereka sama-sama mengambil jurusan hukum, dan tinggal bersama di apartemen murah dekat kampus. Tahun ini adalah tahun terakhir mereka di bangku kuliah, dan keduanya sedang mencari-cari pekerjaan yang cocok atau mencoba magang di perusahaan besar. Shen gantian bercerita tentang pekerjaannya di sebuah biro arsitek, merendahkan diri dengan mengatakan masih belajar menjadi arsitek muda. Padahal dengan otak geniusnya dia sudah ikut dalam proyek-proyek besar pembangunan apartemen atau hotel di beberapa kota besar.
Pasangan Andrea-James terkejut saat kubilang aku hanya desainer freelance dan suka melukis. Menurut mereka itu adalah pekerjaan paling menyenangkan di dunia. Tidak terikat oleh jam kerja. Iya sih, tapi kalau banyak order tetap saja deadline dan klien mengejar dengan membabi buta.
“Do you sell your paintings?” tanya James.
Aku menggeleng sambil tersenyum. Pelukis amatir sepertiku melukis hanya untuk hobi. Lukisan yang tidak seberapa hanya kuberikan ke teman dekat, dipajang di rumahku, di rumah Shen, dan di kosan Shen di Jakarta.
“She’s shy.” Shen tersenyum menggoda. Dulu Shen pernah diam-diam “mencuri” salah satu lukisanku dan mengikutsertakannya di ajang lomba lukis di kampus. Meski hanya mendapat juara 3, tapi itu pertama kalinya lukisanku dilihat oleh banyak orang dan membuatku terkenal di seantero kampus secara tiba-tiba. Setelahnya, aku selalu hati-hati jika Shen datang ke rumahku, agar lukisanku tidak dia ambil lagi. Belum saatnya menggunakan lukisanku untuk hal komersil.
Selesai sarapan dan bertukar alamat rumah, e-mail, serta nomor ponsel, aku dan Shen pamit pada Andrea-James. Kami berjalan keluar restoran untuk check out ke resepsionis ketika terdengar namaku dipanggil.
“Nilam!”
Kulihat Andrea berlari kecil menghampiri. Apa ada yang ketinggalan?
Seketika Andrea berbisik antusias di telingaku. “He loves you. Shen. Trust me.”
Aku menatapnya bingung tak mengerti. Dia hanya tersenyum, mengedipkan mata, dan berjalan kembali ke meja.
******
Hampir dalam segala hal Shen selalu melakukannya dengan cepat, konstan, teratur, dan rapi. Menyetir adalah pengecualian dalam hal kecepatan meski tetap konstan dan teratur. Sahabatku ini selalu hati-hati dalam membawa kendaraan dan tidak asal salip atau gas-rem tak keruan. Menjadikannya pihak minoritas yang sering dizalimi di belantara lalu lintas Jakarta yang acak adut dan hampir selalu dilanda kemacetan luar biasa.
Lucunya, kondisi yang kami alami sekarang berbeda 180 derajat. Pandanganku sedari tadi tak beralih dari kondisi jalanan yang kami lewati. Mulai dari jalan kecil, jalan protokol, sampai jalan by pass Ngurah Rai yang besar. Sempat terjadi macet di jalan raya Kuta tadi, sepertinya karena pengaruh weekend. Namun tetap saja, kemacetan terjadi tanpa ada hal yang menyebalkan yang muncul.
Aku berpikir sepertinya warga Bali ini penganut peraturan yang tertib sekali. Motor-motor melaju rapi di lajur kiri, hanya ada beberapa yang ke kanan karena memang akan belok. Tidak ada pemandangan motor nyempil di setiap sela mobil karena ingin saling menyalip. Tidak ada bising suara klakson pengendara tak sabar ketika detik waktu lampu lalu lintas menjelang hijau. Jika jalanan sepi pun, tidak ada kendaraan menerobos ketika lampu masih menyala merah.
Bahkan jika di persimpangan jalan ada kendaraan yang bertemu, mereka akan saling mengalah. Tidak saling serobot ingin mendahului. Aku berdecak kagum dan takjub. Di Jakarta, mana bisa kujumpai pola berkendara seperti ini? Ah, sebagai penduduk Jakarta, menemukan lalu lintas yang rapi seperti ini sudah termasuk dalam kategori bahagia.
“Kamu ngerasa nggak, kalau lalu lintas di sini menyenangkan, Shen?”
Shen malah tertawa. “Kamu itu lucu ya, Nilam. Jauh-jauh ke Bali dan yang menyenangkan buatmu itu lalu lintasnya. Orang-orang itu datang ke sini karena mengincar pantai atau tempat wisata.”
Aku nyengir saja. “Buatku, ini juga wisata, Shen. Aku yakin kok, lalu lintas tertib dan jalanan tanpa macet itu termasuk surga kecil buat penduduk Jakarta.”
Shen hanya menanggapi dengan senyumsenyum.
Panas di Bali termasuk kategori terik, tapi tidak menyurutkan siapa pun untuk tetap bermain ke pantai. Kali ini Shen memarkir mobilnya di sekitar Pantai Sanur, yang konon menjadi salah satu pantai terindah di Asia. Saat keluar dari mobil, suasana pantai sudah sangat terasa.
Angin kencang, sinar matahari yang ganas, dan beberapa wisatawan asing berjemur di pasir. Aku sendiri memilih menggunakan topi lebar dan kacamata hitam agar tidak silau.
Shen mengajakku ke salah satu rumah makan di tepi pantai untuk makan siang. Lagi-lagi kami memilih menu aman: ayam bakar. Sambil menunggu pesanan datang, aku menyerahkan ponselku ke Shen.
“Fotoin aku, dong. Latar belakangnya pantai, ya.”
Shen hanya nyengir karena tingkah narsisku yang mulai kumat. Dengan berbagai pose dari sok manis, cute, dan norak, sepertinya ponselku sudah banyak merekam gambar narsis pemiliknya.
Saat pesanan datang, aku menyempatkan diri mengirim beberapa foto melalui WhatsApp ke Reza.
Nilam : [image]
Nilam ; Aku lagi di Sanur. Cantik banget ya, pantainya
My Reza : Cantikan modelnya :D
Nilam : Gombal :p
My Reza : Pantainya memang cantik, kamu juga. Yang kurang cuma aku nggak ada di sana.
Nilam : Nanti, kapan-kapan kita ke sini. Aku belajar rutenya dulu sama Shen supaya nggak nyasar. Hahaha .... Gimana main game? Jangan lupa makan siang.
My Reza : Yup! Ni masih sama teman-teman. Ntar pasti makan. Salam buat Shen, ya .... Have fun, Sayang. I love you ....
“Apa kabar Reza?”
Aku mendongak. Sepertinya Shen tahu aku sedang chat dengan Reza karena sering kali tanpa sadar senyum-senyum sendiri. “Baik. Masih kumpul sama teman-teman game-nya. Salam