Dua hal yang kuingat jika ada seseorang menyebut Ubud adalah Julia Roberts dalam film Eat, Pray, Love dan novel Perahu Kertas karangan Dewi Lestari. Sekarang ada tambahan lagi yang kuingat tentang daerah ini, kedamaian. Sambil menikmati secangkir kopi dan duduk di depan kamar penginapan, suasana Ubud pagi hari begitu tenang dan menyenangkan.
Ada cerita unik yang kudapat dari pemilik penginapan semalam. Saat aku melihat jejeran motor milik pengunjung terparkir di jalanan di depan penginapan, aku bertanya ke mana semua kendaraan itu nanti disimpan, karena lahan parkir yang tersedia sedikit sekali. Pemilik penginapan malah tertawa menanggapi pertanyaanku. Katanya, motor-motor itu diparkir di jalan saja. Tidak pernah terjadi pencurian selama dia hidup di Ubud ini. Semuanya aman. Giliran aku terhenyak tak percaya.
Tercium harum dupa sisa doa pagi pemilik penginapan yang lembut dan khas. Beruntung sekali kamarku menghadap taman kecil yang indah dengan bunga berwarna-warni. Masih terlihat jelas tetes embun melekat di dedaunan dan kelopak bunga.
Hari Senin pagi. Biasanya aku sudah melihat pemandangan jalanan ramai dari jendela rumahku di Jakarta. Motor-motor berseliweran, mobil lalu-lalang, orang-orang yang berjalan tergesa demi mencari penghasilan yang sering kali tak cukup memenuhi kebutuhan keluarga. Sedangkan di sini, sudah lewat pukul 7 dan kehidupan seperti belum dimulai. Aku belum mendengar suara pejalan kaki apalagi deru kendaraan. Yang ada hanyalah tenang dan kedamaian. Sepi, namun melenakan.
Kudengar suara gagang pintu dari kamar sebelah. Shen keluar dengan wajah sudah terbasuh air, tapi matanya masih tampak mengantuk. Dia terkejut melihatku.
“Tumben bangun pagi?” ujarnya asal.
Aku nyengir. “Bukan aku yang bangun pagi, tapi kamu yang kesiangan. Capek nyetir, ya?”
“Mungkin juga.” Shen duduk di bangku sebelahku, mencomot biskuit di meja. “Enak, ya?”
“Biskuitnya?” tanyaku.
“Suasana pagi ini, maksudku.”
Aku tertawa dan mengangguk. “Damai banget, Shen. Tinggal di sini bisa jadi terapi untuk orang-orang yang nyaris gila sama kehidupan Jakarta.”
“Sepertinya begitu.”
“Atau karena kita lagi ada di penginapan aja, ya?”
Shen menatapku. “Mau coba jalan-jalan pagi, yuk? Nanti jam 9 kita pergi ke Pura Besakih, Kintamani, sama Danau Batur.”
Aku menatap Shen dengan perasaan takjub. Dalam urusan perencanaan, sahabatku ini memang paling bisa diandalkan. Aku saja belum terpikir akan melakukan apa hari ini. Menikmati kedamaian di penginapan seperti ini saja sudah sangat menenangkan hati.
Setelah mandi dan bersiap secepat mung-kin, kami keluar dan jalan-jalan di sekitar penginapan. Jalanan masih lengang, sepi, dan tampak beberapa ekor anjing di depan pertokoan masih bermalas-malasan. Saat berpapasan dengan beberapa penduduk Ubud di jalan, aku cukup terkejut saat mereka otomatis tersenyum dan menyapa,
“Halo, selamat pagi!”
“Pagi!” Balasku dan Shen, terkejut dan takjub.
Hampir setiap kali kami bertemu orang-orang, mereka semua melakukan hal yang sama.
Tersenyum, menyapa dengan sopan dan riang. Ah, Tuhan, betapa Engkau telah mengizinkanku mengecap satu sudut negeri tercinta yang masih ramah penduduknya. Aku jadi merasa tersindir akan sikapku sendiri di Jakarta. Teman-teman bilang aku introvert dan individualis. Di Ubud ini, hatiku tersentuh hanya karena sapaan hangat dan tulus orang-orang yang tak kukenal.
Sudah setengah jam kami berjalan-jalan menikmati pagi, mengamati indahnya rangkaian bunga di tempat air atau wadah daun pandan sisa doa pagi di depan rumah dan pertokoan. Termasuk melihat-lihat aktivitas penduduk dan anak-anak sekolah. Ternyata perutku mulai menagih jatah sarapan. Sayangnya, hampir semua restoran masih tutup dan sepi. Ada satu restoran yang baru buka dan pelayannya masih menyapu halaman. Namun, di trotoar menuju tempat tersebut ada seekor anjing yang duduk dengan tenang. Berwarna cokelat tua dengan tubuh cukup besar. Sepertinya jenis Labrador. Hatiku langsung ciut.
“Kamu laper, kan?” tanya Shen.
Tentu saja aku lapar. Tapi, kalau harus mendekat pada anjing yang nongkrong di dekat restoran itu, ya jiper juga. Perasaan takut, ragu, dan lapar campur aduk jadi satu. Kupandangi anjing tersebut dan berdoa banyak-banyak agar dia cepat pergi.
Sepertinya Shen mulai gemas karena aku hanya berdiri mematung memperhatikan anjing tersebut.
“Dia nggak akan pergi meski kamu coba berkomunikasi melalui jalur batin untuk mengusirnya,” tutur Shen jengah.
Duh, dia tahu saja apa yang sedang kupikirkan. “Usir dulu dong, Shen,” rengekku takut.
Shen menggeleng. “Aku bantu kamu supaya belajar nggak takut sama anjing. Sini.” Dia menarik paksa lenganku.
“Aaahh ... Shen, nggak mau. Kalau dia gigit gimana?” Aku menariknya balik dan enggan berjalan. Tapi, tenaganya lebih kuat sehingga membuatku terseret-seret mengikuti.
“Nilam, kamu nggak perlu takut. Udah kubilang berapa kali kalau kamu takut, anjing bisa tahu dan dia bakal ngejar. Jadi, kamu harus tenang, anggap dia nggak ada.”
Dasar Shen, ngomong sih gampang. Memangnya anjing itu jin yang tidak kasatmata. “Nggak mau!”
Wajah Shen mendekat. Membuatku bisa mencium bau sabun mandi yang segar dari tubuhnya. “Kamu tutup mata,” perintahnya. “Anggap kamu berjalan dalam gelap dan nggak lihat apa-apa, lupakan anjing itu. Kamu pasti bisa.”
Aku balas menatapnya tak mengerti. Sedikit tidak konsen akibat campuran efek takut anjing dan aroma tubuh Shen. Aduh, sepertinya indra penciumanku melakukan konspirasi.
“Ayo, tutup mata. Aku jalan di samping kamu.”
Mau tak mau, aku menurut apa kata Shen. Aku menutup mata, meredakan jantung yang berdebar karena takut, mengatakan pada diri sendiri kalau tidak ada anjing di sekitar sini. Tenang, tarik napas, embuskan pelan-pelan. Tidak ada anjing, yang ada hanya Shen di sampingku. “Oke, aku siap,” desisku pelan. “Kamu jangan pergi, Shen.”
Pandanganku gelap. Kurasakan Shen mulai merangkul pinggangku lembut, badan kami merapat, ada kehangatan yang mengalir dari tubuhnya. Menciptakan sensasi tersendiri yang malah membuat jantungku berdetak kencang dan kini bukan karena masalah anjing.
Atas tuntunan Shen, aku mulai berjalan pelan di sampingnya, perlahan. Seperti gadis buta, langkahku meraba-raba jalanan agar tidak tersandung atau menginjak kaki Shen. Hanya butuh waktu sekitar dua menit hingga Shen berhenti berjalan. Lengannya masih merangkul pinggangku erat.
“Kita udah sampai. Tapi, kamu jangan buka mata dulu,” perintah Shen.
Aku berdiri diam dan menunggu. Apa pun yang dikatakan oleh Shen, aku hanya bisa menurut.
“Kamu tenang dan buka mata dalam hitungan ketiga.”
“Oke,” jawabku singkat.
“Siap. Satu, dua, tiga ....”
Kelopak mataku membuka perlahan. Efek buram masih terasa saat melihat pemandangan jalan. Suasana tenang, tidak ada kendaraan lalu-lalang. Baru ketika pandanganku melihat ke kaki, saat itu juga aku terkesiap! Refleks badanku ingin segera melompat. Rangkulan Shen menahanku dan makin terasa kencang di pinggang. Ketakutanku kembali muncul dan meremang menjalari kulit saat si anjing ternyata duduk tepat di dekat kaki dan menatapku! Ya Tuhan, aku tidak pernah berada sedekat ini dengan anjing.