Warung makan "Ibu Tama" begitu orang menyebutnya, sebuah tempat makan favorit para mahasiswa dan karyawan bergaji pas-pasan di lingkungan tempat indekosnya Kasuma. Tempat makan itu terlihat biasa saja mirip warteg-warteg standar berdinding semi permanen yang dicat warna hijau muda. Kapasitas bangku panjang yang terdapat tiga buah di dalamnya mungkin cuma muat untuk duduk lima belas orang berjejalan, namun jangan ditanya saat peak hour jam makan siang, warung itu akan penuh sesak dengan antrian puluhan mahasiswa dan pekerja yang sedang kelaparan.
"Murah Boleh, Enak Pasti", itulah semboyan yang sering didengungkan Ibu Sutama janda berusia 40-an tahun pemilik warung itu. Dan itu bukanlah semboyan omong kosong, sudah terbukti beberapa pelanggan baru yang ikut mengisi perut di warung itu akan balik lagi walaupun tempat tinggal mereka cukup jauh karena kangen dengan cita rasa dan harga yang ditawarkan warung "Ibu Tama" tersebut.
Kasuma tokoh kita ini termasuk salah satu korbannya, malah sudah tergolong fanatik, walau perut sudah keroncongan di jalan dia tetap tak tergoda demi mendapatkan sensasi makan di warung tercinta. Kasuma mungkin termasuk pelanggan kesayangan di warung itu, desas desus yang beredar Ibu warung naksir berat sama dia untuk dijodohkan sama anak perawannya yang masih sekolah di SMP.
Pada suatu sore yang cerah, Kasuma tampak berjalan lunglai mengarah ke warung Ibu Tama. Tadi siang dia sudah melewatkan perutnya dari makan besar karena ada limpahan traktir-an bakso di kampus, imbalan bikin tugas dosen buat teman kuliahnya. Dan itu sudah dianggap Kasuma cukup buat menahan laparnya sampai makan malam. Di tangannya Kasuma menenteng rantang kecil terbuat dari kaleng yang ada pegangannya. Hari ini dia merasa sangat beruntung, tadi Ibu kos menyuruhnya buat membelikan soto daging yang terkenal enak di warung "Ibu Tama" ini.
Sambil menyerahkan selembar uang 20 ribu Ibu kos ngomong, "Kasu, tolong Ibu belikan soto ke warung sana itu ya, ini duitnya beli saja semua, nanti kalau kamu mau ambil sotonya separuh, ibu gak bakal bisa habisin sendirian juga."
Maka tak disangsikan lagi walaupun tergontai-gontai jalannya, Kasuma melaju dengan girang, "Aduhaiii, hari ini indah sekali, setidaknya tinggal beli nasinya saja, hiduplah aku sampe besok pagi," pikir Kasuma senang.
Sesampainya di tempat, warung Ibu Tama terlihat sepi, hanya tampak dua orang mahasiswa yang sedang lahap makan sambil ngobrolin skripsinya, di samping pintu masuk tampak seorang bapak tua yang sedang sibuk menyeruput teh manisnya yang terlihat masih panas mengebul.
Kasuma mendekat ke seseorang di balik etalase kaca, "Ibuukk ... soto dagingnya masih ada?"
Seorang ibu bertubuh gemuk yang tampak enerjik mengangkat kepalanya dan menyahut ramah, "Eh, nak Kasuma, lagi tumben gak maam disini, sotonya masih anget kok, hei, En ... Enny! ini dibantu kakakmu mau soto daging!"
Ibu Tama meneriaki anak gadisnya yang sedang memotong-motong daun bawang. Enny gadis kecil masih SMP yang berkulit coklat terang namun punya hidung mancung dan mata yang indah menyahut dengan malu-malu, "Kakak Kasu, mau beli berapa?"
Setelah menyerahkan selembar 20 ribu pemberian Ibu kos tadi, Kasuma memperhatikan Enny yang dengan kikuk memasukkan ramuan soto ke dalam rantangnya karena digodain ibunya yang sebentar-sebentar ngomong.
"Enny! bikinnya yang enak dan banyakan loh, itu buat kakakmu ini." Akhirnya soto daging itu siap, Enny menyerahkannya sambil menggigit bibir bawahnya dan melirik ke bawah.