Sewa Ayahku, Yuk

Mambaul Athiyah
Chapter #1

Lingkaran D #1

Mata David menatap layar ponselnya, kakinya ditaruh di atas punggung kursi Rambo, begitu dia memanggil anak paling culun satu kelas itu. Tanpa memperhatikan pelajaran, tanpa memperhatikan guru Bahasa Indonesianya yang sedang menuliskan materi pelajaran di muka kelas. Kaki David juga digerak-gerakkan, membuat Rambo mengalah dan mendekatkan diri ke mejanya.

Tawanya menggelegar setelah tebakan isi kotak nomor lima yang dipilih oleh peserta dalam kuis yang ditontonnya itu ternyata sama dengan tebakannya.

"Rasain Lo. Zonk. Kakkakakk."

Lirikan teman lainnya yang terganggu atas ulah David itu dipatahkan oleh Samsul, tangan kanan David, duduk di pojokan sendiri, tubuhnya berotot, wajahnya agak lebih dewasa dari yang lainnya, lipatan lengan bajunya sudah menyentuh bahu. Dia memberikan tanda bogem mentah dengan lengannya saat lirikan itu muncul dari pemilik bangku dekat pintu keluar kelas 11C itu.

Juga, saat lirikan tanda tak suka itu dilayangkan Jessica, gadis cantik pemimpin klub musik sekolah. Samsul juga memberikan tanda bogem mentah itu dengan lengannya.

Ulah David dan Samsul itu diperhatikan benar-benar oleh guru Bahasa. Dia menggeleng.

"Apa Lo!"

Kali ini si Samsul diam. Dia menunduk. Ketika suara itu datang dari arah yang tak disangka. Sang guru yang merasa terganggu rasanya memang perlu menegur.

Merasa semua bisa dikendalikan olehnya, David semakin tak terkendali. Dia melihat acara di ponselnya tanpa memperdulikan waktu. Hingga sentuhan seseorang di pundaknya mengganggunya.

"Aish. Apaan Lo. Sono. Urus urusan Lo sendiri." Tanpa menoleh, David mengatakan itu dengan enteng.

Satu sentuhan, lagi.

"Bego, Lo. Dibilangin jangan-" David tidak meneruskan kalimatnya, matanya melirik Samsul yang menahan tawa tapi kemudian berubah ketakutan.

"Jangan apa? Kenapa tidak dilanjutkan?" tanya guru bahasa.

David menggaruk kepalanya, kemudian menjawab, "Ti-dak ja-di, Ba-pak Bu-di." Dengan penekanan mirip anak kecil belajar mengeja dan semuanya tertawa mendengar ucapannya.

"Kamu! Berani menghina guru, ya. Ke kantor BK sana."

Guru Bahasa Indonesia yang memang bernama Pak Budi itu menyuruh David menemui guru BK yang tidak pernah absen menemuinya selama kelas 10 dulu dan sekarang berlanjut ke kelas 11.

"Masih hapal ruangannya, kan, Vid?" Pak Budi berseloroh. David mengangguk dan memberi hormat.

***

"BK lagi, BK lagi. Kemarin hormat bendera, kemarin lagi nguras kamar mandi, kemarin jauh dulu lari keliling sekolah. Besok lulus, gue bakal jadi multitalent nih," ucap David sambil terkekeh.

"Banyak beuud, pengalaman sekolah gue," lanjutnya sambil berjalan mantap bak pahlawan tak bersalah saja. Hingga akhirnya dia sampai di depan ruangan kantor BK, mengetuk pintu dan Bu Tutik mempersilakan masuk.

"Astaghfirullah, David."

"Baru saja kelas baru masuk dua Minggu dan panggilan BK untukmu hanya bolong di hari Minggu karena sekolah libur."

"Ya Allah, Nak. Kita kok akrab banget ternyata, ya?" Mata Bu Tutik sambil melotot dan gemas.

"Duduk dulu di pojokan situ. Ibu keluarin dulu surat panggilan dan telpon orang tua kalian."

Bak sudah sangat hapal alur setelah dari BK ini, David segera menyentuh ponselnya, mencari nomor ayahnya dan menuliskan pesan.

[Yah. Seperti biasa. Kantor BK yang hangat]

***

Sebelum tiba di ruangan BK tadi, David sempat berpikir bahwa pasti hanya ada dia seorang di sana, eh nyatanya, ada empat anak yang sudah duduk di sana, ditambah David jadi lima. Satu anak kelas 12, tiga anak lagi kelas 10, dan semuanya berkasus.

"Wajah-wajah panik ini, pasti belum berpengalaman," ucap David dalam hati. Mereka terlihat panik, keringat sebesar biji jagung, tangan tergenggam hingga memucat, semua seperti tidak bisa tersenyum. Sementara David dengan santainya datang senyum-senyum, lalu duduk dengan santai, sempat memandangi wajah Bu Tutik yang sangar, benar-benar tanpa wajah ketakutan.

"Santai banget, Lo. Vid. Saking udah langganan ya," kata Jonan, anak kelas 12 yang ikut menunggu itu.

"Bisa jadi, Bro. Lo kasus apa nih? Godain cewek temen lagi?"

Jonan agak enggan bercerita.

"Lalu berantem?"

Jonan semakin tak nyaman. Berkelahi karena perempuan jelas membuat namanya sebagai lelaki agak tercoreng di sekolah.

Lihat selengkapnya