Pertanyaan itu sudah terlontar dan Lana sama sekali tidak berniat untuk menarik kata-katanya kembali, ataupun merasa menyesal karena telah mengungkapkan hal sensitif yang menjadi sumber masalah mereka berdua.
Lana juga tidak mengharapkan apa-apa. Bukan pula bermaksud mengungkit kembali rasa sakit hati yang pernah ia rasakan. Lana hanya perlu mengetahui penjelasan dari orang yang dulu sudah ia percaya sepenuh hati, tapi kemudian malah mematahkan sendiri komitmen yang sudah mereka buat bersama.
Sebuah tanda tanya besar yang selama ini ingin sekali Lana ketahui jawabannya. Alasan yang mungkin saja bisa diterimanya dengan baik, meski itu terdengar menyakitkan sekalipun. Setidaknya Lana tahu yang menjadi penyebab lelaki di hadapannya ini sampai bisa memutus segala hal yang terkait dengannya secara sepihak.
Untuk beberapa saat, tatapan Ares pada Lana tampak menyiratkan sesuatu. Namun Lana benar-benar tidak bisa menduga arti sorot mata lelaki yang duduk di hadapannya itu.
"Maaf kalau aku pernah buat kamu kecewa, Na. Tapi dulu aku memilih untuk mutusin kamu karena aku pikir hubungan jarak jauh kita nggak akan pernah berhasil," ungkap Ares.
Apa sesulit itu buat kamu, pikir Lana.
Ia merasa pada saat itu tidak ada yang aneh. Semua baik-baik saja. Komunikasi mereka juga terbilang lancar. Hingga secara mendadak Ares tidak pernah lagi menghubunginya. Lana berpikir kalau sumber masalahnya tentu bukan berasal dari dirinya, tapi Ares. Mungkin saja saat di Jerman dia bertemu perempuan lain, muncul rasa suka, lantas memilih meninggalkan Lana. Dalam pikiran Lana, kemungkinan itu bisa saja terjadi.
"Bukannya dulu kamu sendiri yang ngeyakinin aku, kalau nggak akan ada masalah walaupun kita udah berjauhan?" tanya Lana yang tercetus begitu saja. Yang ia sendiri juga merasa lucu sudah menanyakan itu. Semakin membuat dirinya terlihat tidak rela pernah dicampakkan Ares.
Ares mengangguk membenarkan kalau dulu dia memang pernah mengatakannya. "Tapi orang bisa aja berubah, Na. Nggak selamanya bisa sama. Termasuk aku," jawabnya datar.
"Jadi begitu." Lana mengangguk pelan kemudian meraih cangkir berisi caramel macchiato miliknya. Menyesapnya perlahan dengan pikiran yang sebenarnya berusaha mencerna penjelasan Ares tadi.
Sekarang ia bisa memahami perbedaan itu, kalau Ares memang bukan lagi orang yang sama. Bukan lagi Ares yang pernah ia kenal dulu. Sekarang ia sangat yakin semua tidak akan pernah lagi sama di antara mereka.
Perempuan itu meletakkan cangkirnya kembali ke atas meja, lalu berkata, "Ternyata cewek Jerman ada yang berhasil membuat kamu tertarik juga, kan?" Ada sedikit nada sinis yang tersamar pada ucapannya. Teringat dengan perkataan Ares dulu.
"Ingat ya, Res, jangan tergoda cewek Jerman. Jangan coba-coba flirting nggak jelas."
"Jangan mikir yang aneh-aneh, Na. Masih cantikan juga cewek Indonesia daripada cewek bule, kan."
Ares tidak menanggapi asumsi yang dibuat Lana. Sehingga itu malah menjadi seperti sebuah pembenaran baginya.
Pada akhirnya Lana tersenyum. Jenis senyuman yang ketika mengalami perasaan yang tidak mengenakkan, tapi berusaha untuk terlihat baik-baik saja.
"Terima kasih karena udah kasih tahu aku alasan kamu mutusin aku," tukas Lana.
"Aku minta maaf, karena nggak bisa menepati janji yang udah aku buat sama kamu," ujar Ares yang entah kenapa terdengar kaku sekaligus tulus di telinga Lana.
"Kamu nggak perlu minta maaf. Itu udah jadi masa lalu kita. Nggak berefek apa-apa juga, kok. Aku hanya ingin masalah kita menjadi jelas aja. Dan sekarang aku udah tahu alasan kamu."Lana mengedikkan pundaknya seraya berujar, "Itu aja udah cukup buatku."
Lana lagi-lagi tersenyum. Mencoba menunjukkan pada Ares kalau ia baik-baik saja. Akan tetapi Lana merasakan kepalsuan dari senyum yang ditampilkannya itu.
Tiba-tiba Lana merasakan nyeri pada perutnya. Ia tidak asing dengan rasa nyeri ini yang terkadang memang muncul saat dirinya sedang datang bulan. Ia mencoba menahannya, meski perlahan intensitas rasa sakitnya mulai meningkat.