Jarum pendek jam sudah menyentuh ke angka sebelas malam, saat Lana keluar kamar dan melihat Hesa masih terjaga. Tunangannya itu masih tampak sibuk di depan laptop. Sampai-sampai tidak menyadari kehadiran Lana yang sudah duduk di sampingnya.
"Belum tidur?"
Hesa langsung menoleh dan tersenyum melihat Lana. "Besok ada aanwijzing¹. Masih ada beberapa hal lagi yang perlu aku siapin," jelasnya.
Dia lalu merangkul Lana agar mendekat. "Masih sakit nggak perutnya?"
"Udah mendingan, kok, nggak sesakit tadi," jawab Lana sambil menyandarkan kepalanya di pundak Hesa. Ikut melihat yang sedang dikerjakan lelaki yang bekerja di perusahaan kontruksi itu.
Lana merasa tidak enak kalau setiap siklus bulanannya ini datang, membuat Hesa menjadi repot. Padahal Hesa sudah lelah seharian di kantor. Ditambah masih mengerjakan urusan yang belum selesai, tapi malah harus juga mengurusnya yang berjuang menahan nyeri haid.
"Maafin aku selalu bikin kamu repot."
Hesa berhenti menggerakkan jarinya di atas keyboard dan mengalihkan perhatian dari laptop kepada Lana. "Aku nggak pernah merasa repot kalau itu menyangkut kamu. Aku malah senang bisa ngejagain kamu."
"Memangnya mau sampai kapan kamu ngejagain aku?"
"Sampai kita jadi kakek nenek," ucap Hesa sambil mengusap lembut rambut Lana dan mengecup puncak kepalanya.
Lana tersenyum mendengarnya. Sebenarnya ia tidak bermaksud untuk mendapat jawaban yang seperti itu. Namun kata-kata Hesa membuat hatinya menghangat.
"Makanya aku mau bisa menikah sama kamu secepatnya. Biar kamu nggak akan lepas dari penjagaan aku."
Meski terdengar bercanda, tapi Lana tahu kalau Hesa serius dengan kata-katanya. Dia adalah orang yang benar-benar tulus akan menjaganya. Namun kalau mengingat kendala yang didapat dari Sekar, dirinya menjadi pesimis dengan nasib kelanjutan hubungan mereka berdua.
"Tapi kayaknya masih lama, tuh," sindir Lana.
"Kamu jangan pesimis gitu, Sayang. Ibu hanya butuh waktu. Aku yakin kalau nanti juga ibu nggak akan maksa kamu harus resign."
"Oh ya?"
Hesa menghela napas. Dia tampak enggan untuk melanjutkan pembahasan tentang hal tersebut, karena bisa memancing perdebatan.
"Kamu mau teh nggak?" tawar Hesa berusaha mengalihkan topik pembicaraan, sambil menutup layar laptop dan meletakkannya di atas meja.
Lana menggeleng. "Yang tadi kamu bikinin buat aku aja belum habis."
"Tapi pasti tehnya udah dingin. Kurang enak. Aku buatin yang baru aja, ya, Sayang."
Belum sempat Hesa beranjak untuk membuatkan teh, tiba-tiba layar smartphone-nya yang tergeletak di atas meja menyala dan bergetar. Tidak perlu disengaja juga Lana bisa melihat dengan jelas nama si penelepon.
Anjani calling...