Pintu elevator terbuka. Lana bergegas keluar dengan menjinjing paper bag berisi jaket. Pandangannya beredar menyapu area lobi apartemen. Mencari sosok yang semalam telah sepakat untuk bertemu dengannya di sore hari ini.
Ah, itu dia...
Laki-laki yang mengenakan jaket berbahan jeans dengan topi softball menutupi kepalanya itu, sudah ada di dekat pintu utama lobi. Ares berdiri memunggunginya. Sehingga tak melihat Lana yang berjalan ke arahnya. Namun Lana menghentikan langkah saat ia hanya tinggal beberapa meter saja dari Ares. Memberi kesempatan bagi dirinya sendiri untuk menarik napas. Bukan karena merasa canggung harus berhadapan dengan Ares lagi, tapi lebih dikarenakan ia khawatir tidak bisa mengontrol setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti kemarin.
Jaket ini saja sudah cukup mengacaukan pikirannya. Apalagi harus berhadapan langsung dengan pemiliknya. Sebenarnya mudah bagi Lana menghindar dari Ares. Tinggal mengembalikan menggunakan layanan Gosend dan menolak usul Ares untuk mengambilnya sendiri.
Selesai.
Tapi ia berusaha tidak mau sebaper itu. Menghindar sekarang pun percuma, karena urusan pekerjaan pasti akan menuntutnya untuk bertemu juga. Semestinya LoBo punya casting department sendiri, jadi tidak mencampuradukkan soal talent yang sebetulnya bukan termasuk dalam jobdesk pekerjaannya. Namun kalau ia terus mengeluh pun tidak akan ada ujungnya.
Lana bergerak mendekat. Ia urung menepuk bahu Ares ketika tiba-tiba laki-laki itu berbalik. Ares tersenyum melihatnya, lalu memasukkan ponsel ke dalam saku celana jeans.
"Padahal kamu nggak perlu repot-repot sampai harus datang ke sini," kata Lana cepat sambil mengangsurkan paper bag ke arah Ares. "Thanks, ya."
"Nggak repot," ucap Ares pendek.
Jari mereka sedikit bersentuhan saat paper bag itu berpindah tangan. Yang untuk beberapa saat kemudian membuat suasana menjadi agak kaku.
"Perut kamu masih sakit?" Pertanyaan Ares memecah kebisuan.
"Udah mendingan. Nggak begitu terasa sakitnya."
"Syukurlah." Ares tersenyum. "Aku ingat dulu kamu sampai nggak bisa bangun seharian dari tempat tidur kalau lagi sakit perut."
"Ya begitulah problem-nya perempuan," tanggap Lana.
Selain Hesa, ada Ares yang dulu paling hapal tentang siklus bulanannya ini. Begitu menyiksa Lana dan membuat laki-laki ini kadang kena getahnya juga.
Seorang security memasuki lobi dan lewat di antara mereka berdua. Membuat Lana menyadari kalau tidak ada lagi hal yang perlu dibicarakan dengan Ares. Lebih baik ia sekarang kembali ke apartemennya.
"Kalau gitu aku ...."
"Lagi nggak sibuk, kan?" potong Ares sebelum Lana sempat menyelesaikan kalimatnya.
Lana menggeleng karena memang tidak sedang mempunyai kesibukan apa pun. Hampir seharian ia hanya merebahkan diri di kamar, dengan menahan nyeri perut yang terkadang masih muncul.
"Kita makan ice cream dulu di sana." Ares menunjuk ke arah kafe yang khusus menjual es krim yang berada tepat di seberang apartemennya ini.
Kedua alis Lana terangkat mendengar ajakan Ares. Antara ingin menolak atau mengiyakan. Sembari melirik pantulan dirinya di depan kaca pintu lobi. Memeriksa pakaian yang dikenakannya saat ini apakah dalam kategori layak untuk keluar. Kaos longgar bergambar kucing dan celana pendek di atas lutut berwarna biru sepertinya cukup pantas.
Antara akan menolak dan berpikir untuk mengambil dompet terlebih dahulu. Namun Ares tidak memberi ruang baginya untuk berpikir terlalu lama.
"Aku yang traktir," ajak Ares sambil berjalan keluar lobi tanpa menunggu tanggapan Lana yang kemudian mau tak mau mengikuti langkahnya.
Langit di luar sudah menampakkan mendung. Lana sempat berpikir untuk kembali ke apartemen dan membawa payung lipatnya untuk berjaga-jaga kalau hujan. Namun ia akhirnya memilih untuk terus berjalan bersama Ares. Meski kafe es krim yang mereka tuju posisinya persis di seberang, tapi untuk ke sana harus memutar terlebih dahulu dan melewati JPO yang jaraknya kurang lebih lima puluh meter dari apartemennya. Mereka berdua lantas berbelok ke kiri, berjalan di sepanjang trotoar tanpa saling berbicara.
Menurutnya, Ares tampak bersikap waspada dengan keadaan di sekeliling. Mungkin karena keterbatasan pendengaran membuat Ares harus lebih berhati-hati ketika berada di area jalan raya seperti sekarang ini.
Ia tidak tahu bagaimana rasanya menjadi Ares yang sekarang. Dunianya pasti sudah menjadi berbeda mengikuti kondisinya. Banyak perubahan yang harus disesuaikan. Serta banyak hal yang tidak bisa diwujudkan.