▪︎Bandung, November 2006
"Menurut lo si Bella cantik nggak?" Tiba-tiba pertanyaan itu meluncur dari mulut Ares pada Lana saat mereka sedang bermain monopoli bersama di rumahnya.
"Mabuk di muka umum denda $1500." Lana membaca isi kartu kesempatan yang diambilnya. Kemudian meletakkan kembali kartu tersebut dengan kartu berwarna merah muda lainnya di tumpukan paling bawah.
"Na," panggil Ares berusaha menarik perhatian gadis itu.
Tapi Lana malah sibuk menghitung dollar warna-warni untuk membayar denda dan memberikannya kepada kakak perempuan Ares yang bermain sebagai bank.
Resa menahan tawa melihat pertanyaan adik semata wayangnya tidak digubris oleh Lana. Wanita berkacamata bulat itu pun berpura-pura sedang fokus pada layar televisi di depannya.
"Giliran lo, Res, cepatan kocok dadunya," tukas Lana tak sabar.
"Jawab dulu, dong, pertanyaan gue."
"Tanya apa, sih?"
"Itu yang tadi."
"Apaan yang tadi?"
"Si Bella cantik apa nggak?" ulang Ares.
"Menurut lo dia cantik nggak?"
"Cantik."
"Itu udah lo jawab sendiri, kan," tukas Lana lalu mengingatkan Ares agar segera melanjutkan permainan.
Angka dari dua buah dadu yang dilempar Ares ke atas papan permainan monopoli, mengharuskan bidak miliknya bergerak delapan langkah hingga berhenti di kawasan kompleks negara berwarna kuning. Lana langsung menyebut jumlah yang harus dibayar Ares, karena berada di negara Korea yang sudah menjadi miliknya.
"Jadi menurut lo si Bella cantik juga?" Lagi-lagi Ares bertanya hal yang sama.
"Apa pentingnya pendapat gue?" tanyanya sambil melempar dadu.
"Gue hanya mau tahu dari sudut pandang lo sebagai cewek."
Lana berdecak, karena bidaknya harus berhenti di kolom penjara.
"Na." Ares meminta perhatian gadis itu.
"Iya si Bella cantik. Setiap makhluk hidup yang berwujud perempuan itu cantik," cetus Lana santai.