"Kita nggak akan ngerjain project-nya Infinity Water," kata Faraz begitu keluar dari ruang creative director mereka. Helaan napas panjangnya menandakan tumpukan kekesalan yang sedang dia tahan.
Mendengar hal itu, tentu membuat Lana berpaling dari layar laptop. "Kok gitu?"
"Keputusannya udah final, karena kita nggak bisa kasih kepastian buat dapetin si Ares. Pihak Infinity juga akhirnya malah buru-buru narik project ini dari kita."
Lana baru akan bertanya lagi, tapi Faraz tiba-tiba langsung menyambar ransel serta jaketnya kemudian berjalan cepat keluar ruangan. Kentara sekali kalau Faraz sedang tidak dalam kondisi mood yang bagus.
"Tadi dia habis adu argumen sama Mas Rio," celetuk Bona menyebut nama salah seorang senior account executive kantor ini.
Art director LoBo itu kemudian menceritakan yang terjadi di dalam ruangan Erwin. Faraz marah karena Rio tidak berusaha melakukan negosiasi yang maksimal saat klien mereka meminta kepastian tentang kesanggupan menarik Ares ke dalam iklannya.
"Dan Mas Rio maunya kita fokus untuk pitching berikutnya aja. Mengejar target yang lebih besar profit-nya. Gue maklum kalau Faraz nggak bisa menerima itu. Mas Erwin juga tadi udah nggak bisa bilang apa-apa lagi. Yah, kita punya AE memang kurang becus." Bona menumpahkan kekesalannya.
Bukan sekali ini saja divisi kreatif tidak sejalan dengan AE, pernah beberapa kali perdebatan sengit harus dilewati sebelum mencapai kesepakatan. Mereka terkadang tidak bisa mengikuti keinginan AE yang kaku dan bertentangan dengan prinsip kerja kreatif.
Kehilangan project ini bagi Lana sebenarnya bukan sesuatu yang sangat mengecewakan, tapi ia menjadi merasa bersalah karena belum bertindak maksimal untuk membujuk Ares.
Ah, Lana jadi ingat untuk mengembalikan topi milik Ares nanti. Kemarin Ares memaksanya untuk memakai topi ketika gerimis turun saat mereka berdua hendak berjalan kembali ke apartemen. Momen bersama Ares kemarin seperti deja vu. Ada rasa kebersamaan yang hinggap di antara mereka layaknya dahulu. Sejenak Lana dibuat lupa kalau mereka sekarang adalah dua orang yang sudah berbeda.
Masa lalu memang tidak bisa ditempatkan dalam satu waktu yang sama. Pun tidak bisa ditarik dan diulang kembali. Garis waktu akan selalu bergerak ke depan. Namun Lana harus mengakui kalau ada rasa di mana ia rindu saat masih tak berjarak dengan Ares. Momen di mana ia pernah menempatkan Ares menjadi bagian terpenting dalam hidupnya.
Memori itu yang nyatanya masih betah berkelindan di sudut pikirannya. Terletak pada tempat yang sebenarnya sudah terkunci rapat, tapi pelan-pelan mulai muncul semenjak Ares kembali.
Pukul tujuh malam, Lana baru keluar kantor setelah turut membantu Ditha mempersiapkan pitching untuk besok. Dari kantor ia tidak langsung kembali ke apartemennya. Ia akan berkunjung sebentar ke rumah Hesa untuk menengok Naya yang dua hari lalu sempat terserang demam. Ia sudah membeli sekotak cup cake kesukaan Naya. Anak itu suka sekali dengan warna-warni dari whipped cream ditambah taburan gula mutiara yang mempercantik tampilan cup cake-nya.
Mobil Lana meluncur mulus melewati gerbang kediaman Hesa, yang kemudian segera ditutup kembali oleh salah seorang pekerja. Lana dengan lihai memarkir mobilnya tepat di sebelah mobil Hesa, yang menjadi tanda kalau kekasihnya itu pasti sudah berada di rumah. Ada tiga kendaraan lain yang juga terparkir sejajar dengan mobilnya. Ia bisa menebak kalau ayah Hesa tidak sedang ada di rumah, karena hanya Pajero hitam yang tidak ia lihat keberadaannya di antara mobil-mobil itu.
"Hesa di mana?" tanya Lana begitu pintu utama sudah dibukakan oleh Inah.
Perempuan kurus berdaster motif polkadot itu memberitahunya kalau Hesa sedang berada di kamar Naya. "Kalau Ibu dan Bapak baru saja pergi keluar."
Baguslah, pikirnya. Merasa terbebas dari keharusan bertemu dengan ibunya Hesa.
Lana buru-buru menahan Inah yang tadinya akan bergerak ke lantai atas untuk memanggil Hesa. Ia berinisiatif untuk langsung sendiri saja yang menemui Hesa di kamar Naya. Lana memang sengaja tidak memberitahu Hesa perihal kedatangannya ini. Sesekali ia ingin sedikit memberi kejutan.
Dari anak tangga teratas ia berbelok ke kiri. Ia sudah hapal dengan rumah ini. Kamar Naya berada di ujung koridor. Tepat di sebelah kamar Hesa. Namun langkah Lana yang sebelumnya mantap harus tertahan begitu ia mendengar suara tawa dari sebuah kamar dengan daun pintu berwarna pink yang tidak tertutup sempurna. Itu kamar Naya. Ia bisa mendengar suara tawa anak itu dan juga ayahnya. Tapi yang mengusiknya adalah suara tawa seorang wanita lain di dalam sana.
Itu suara Jani. Tak mungkin ia salah menebak. Lana kemudian mendorong lebih lebar lagi pintu kamar Naya. Dan hal yang dilihat Lana selanjutnya sukses memantik rasa cemburu dalam hatinya.
Hesa, Naya, dan Jani. Mereka sedang duduk di atas tempat tidur sambil menonton sesuatu yang pastinya lucu karena membuat ketiganya tertawa. Naya duduk di antara mereka berdua sambil memegangi tablet seukuran sepuluh inchi di tangannya. Masih belum ada yang menyadari kehadiran Lana. Ia memang sengaja tak bersuara.
Lana terdiam memperhatikan mereka bertiga yang menyerupai tampilan keluarga bahagia. Mengingatkannya pada sebuah iklan produk pasta gigi. Ada ayah, ibu dan anak yang tertawa lepas karena gigi mereka tidak bolong. Si ibu selalu mengingatkan anaknya untuk selalu menyikat gigi sebelum tidur agar kuman dan bakteri jahat tidak muncul. Membuat si ayah senang karena mempunyai istri yang pandai merawat gigi anaknya. Seperti itulah gambaran mereka di mata Lana. Potret keluarga sempurna yang sering ia temukan dalam iklan.
Namun Lana harus segera memasuki potret sempurna itu, karena bukan Jani yang seharusnya ada di sana. Lana berdeham lumayan keras. Membuat Hesa dan Jani mendongak berbarengan ke sumber suara.
"Tante Lana!" Naya tampak girang begitu melihat Lana. Balita itu lalu turun dari tempat tidur dan langsung memeluk Lana yang membungkuk untuk menyambut tubuhnya.
"Naya udah sembuh?" tanya Lana sembari menempelkan punggung tangannya ke dahi Naya.
"Udah Tante. Kan, kata Ayah kalo aku mau minum obatnya nanti panasnya ilang, telus aku cepet sembuh. Eh, benelan udah ilang panasnya," tutur bocah cantik berambut ikal itu yang penasaran dengan benda yang dibawa Lana.
"Ini cupcake buat Naya." Lana memperlihatkan isi kotak tersebut pada Naya.