"Na, lo bisa rapi sedikit nggak itu motongnya. Jangan beda gitu ukurannya," protes Wanda begitu melihat buncis yang dipotong Lana. Sama sekali nggak beraturan. Ada yang masih terlalu panjang, kependekan, terpotong lurus dan juga serong. Wanda yang sudah terbiasa memasak lantas menggelengkan kepala melihat hasil tangan temannya itu.
"Nanti juga masuk ke perut. Hancur juga. Nggak ada bedanya, kan?" kilah Lana sambil mengambil sebuah tomat dari kulkas yang akan mendapat giliran berikutnya untuk dipotong.
"Memasak itu bukan hanya soal rasa, tapi bentuk makanan harus diperhatikan juga. Gimana orang jadi berselera untuk makan kalau tampilannya nggak karuan?"
Lana mengangguk paham dan tidak berniat memprotes Wanda yang level kemahirannya sudah jauh melewati dirinya yang masih kasta anak bawang.
Seharusnya hari ini Lana bersama Hesa akan mengunjungi rumah baru mereka. Namun tiba-tiba Hesa membatalkan rencana itu, karena katanya ada urusan mendadak. Lana tidak sempat bertanya lebih jauh lagi. Dan akhirnya memilih menghabiskan hari Minggunya di rumah Wanda dibanding harus sendirian saja. Kebetulan Wanda sedang membuat makan siang untuk Satria, yang akan datang ke rumahnya juga nanti.
Wanda begitu cekatan ketika memasak. Dia sangat lihai menggunakan peralatan dapur. Kontras dengan Lana yang canggung menggunakan segala tetek bengek urusan perdapuran.
"Kamu lagi kursus masak sama Wanda, Na?" gurau wanita paruh baya bertubuh tambun yang baru saja masuk ke dapur.
"Nggak, Tante. Ini lagi bantuin Wanda masak aja. Sekalian aku cari pengalaman sedikit," ujar Lana.
"Masih belum bisa masak?"
"Belum, Tan ...." Lana menggeleng sembari pura-pura memasang raut sedih. "Jadi iri sama Wanda yang bisa masakin Satria."
"Halah, nggak apa-apa, Na. Nanti juga kalau kamu sudah nikah, pelan-pelan pasti bisa. Segala sesuatu nggak akan lagi sulit, ketika sudah terbiasa."
Vera membuka pintu kulkas, mengambil kotak tupperware berisi buah stroberi, lalu melirik ke arah puterinya yang sedang menumis bumbu halus. "Sebenarnya, Tante itu lebih suka Faraz dibanding Satria."
Lana terkekeh. "Memangnya Satria kenapa, Tan?"
"Mami mulai lagi, deh," gerutu Wanda. Merasa sebal ibunya belum mau move on juga dari Faraz.
Namun Vera tak menggubrisnya, dia terus saja bercerita. "Satria memang nggak kalah ganteng sama Faraz. Tapi hanya Faraz yang enak dan seru kalau diajak ngobrol. Satria itu agak kaku dan kurang nyambung sama Tante."
"Terus gimana, dong, Tan? Kan, mereka berdua udah mau nikah. Apa mau Tante tolak?"
Wanda memutar lagi kedua bola matanya mendengar pertanyaan Lana yang sama-sama kompak dengan ibunya kalau sudah bercanda.
"Tante, nggak mau ikut campur dengan pilihan Wanda. Tante nggak bisa melarang hanya karena Tante lebih suka Faraz. Lagipula Satria juga orangnya baik dan bisa menjaga Wanda. Melihat mereka berdua bisa bahagia, itu sudah cukup buat Tante," terang Vera sebelum meninggalkan dapur bersama sekotak stroberi di tangannya.
Wanda tersenyum simpul mendengar perkataan ibunya. "Mami gue, tumben banget bijak."