Ares?
Lana tercekat. Benar-benar dibuat terkejut. Matanya memperhatikan kembali dengan seksama foto sosok lelaki pada kertas seukuran A4 yang dipegang Erwin. Sesaat, ia tidak yakin kalau lelaki itu adalah Ares. Namun sedetik kemudian, ia yakin bahwa orang itu memang Ares.
"Wow, keren juga orangnya," celetuk salah seorang copy writer bernama Dita yang duduk di seberang Lana.
Ares memang terlihat tampan. Bahkan jauh lebih tampan dari Ares yang Lana kenal sepuluh tahun lalu. Foto itu sepertinya diambil saat Ares sedang mengajar di kelas. Rambut ikal yang sedikit berkesan messy, tapi begitu pas dengan kontur wajahnya. Alis tebalnya yang selalu bisa membuat Lana iri, hidung mancung, sorot mata yang selalu penuh semangat, itu semua milik Ares.
Lana menjadi bingung dengan informasi yang sebelumnya disebutkan Erwin. Kenapa Ares disebut sebagai penyandang tuna rungu?
Pertanyaan itu menyesaki pikirannya yang mulai penuh dengan banyak pertanyaan lainnya. Lana seperti berada di batas antara harus menerima atau tidak menerima fakta itu. Ares yang selama ini ia kenal adalah lelaki yang normal dan tidak memiliki kekurangan fisik apa pun.
"Dia beneran tuna rungu?" Pertanyaan itu kemudian keluar dari bibir Lana. Jelas bernada tidak yakin. "Nggak mungkin kalau dia ...." Lana memutus kata-katanya sendiri.
Erwin mengangkat alis. Yang lain pun ikut menyoroti Lana dengan pandangan heran. Lana lantas berdeham. Mencoba menetralkan suasana.
"Cuma nggak nyangka aja. Ada seorang tuna rungu yang seganteng dia." Alasan itulah yang ia jadikan tameng agar tidak terlihat bertambah konyol dengan pertanyaannya tadi.
"Jangan sampai naksir, Na. Ingat itu cincin di jari," sindir Faraz sengaja mengeraskan suaranya yang disambut tawa yang lain.
Lana mendelik.
Andai temannya itu tahu kalau Lana memang pernah menyukai Ares sepenuh hati. Ya, pernah. Kata 'pernah' terdengar lebih pas. Lana tidak berpikir masih menyimpan rasa itu untuk Ares. Rasa itu sudah lenyap tak bersisa. Sudah hancur sejak Ares tiba-tiba memutuskan hubungan mereka tanpa alasan.
Lana masih ingat dengan jelas kalimat yang ditulis Ares pada selembar kartu pos---bergambar Brandenburg Gate, yang merupakan salah satu landmark di Jerman---yang langsung membuat ia kecewa sekaligus marah.