Sekar yang melihat anak dan calon menantunya datang, kemudian berhenti memotong-motong wortel untuk menyambut tangan Lana yang hendak memberi salam dengan mencium tangannya.
"Sedang masak apa, Tante?" tanya Lana sambil melirik ke arah berbagai macam sayur di dalam baskom seperti wortel, jamur kuping, dan kapri.
"Sup kimlo," jawab Sekar pendek seolah tidak terlalu berminat untuk menjawab pertanyaan Lana. Tangannya kembali bergerak memotong wortel. Tak acuh dengan Lana yang masih berdiri memperhatikan.
Kalau sudah begini, Lana juga merasa enggan untuk lanjut berbasa-basi dengan Sekar. Hanya karena demi sopan santun saja Lana berusaha menyikapi dengan sabar sikap ibunya Hesa.
"Calon istrinya Mas Hesa cantik juga ya," celetuk seorang perempuan yang baru Lana sadari kehadirannya. Yang sebelumnya pun Lana merasa belum pernah bertemu dengannya. Wajahnya masih asing di mata Lana.
Perempuan itu berjalan dari arah kitchen sink dengan membawa semangkuk besar soun yang sudah direbus dan ditiriskan. Lana sempat melihat bagaimana perempuan itu sengaja menyenggol lengan Hesa saat melewatinya. Membuat Lana agak jengah melihat tingkah entah siapa sebenarnya perempuan itu yang juga tersenyum pada Lana lalu meletakkan mangkuk berisi soun yang dibawanya di atas kitchen island. Berdampingan dengan bahan-bahan sup kimlo lainnya.
Perempuan itu berbalik lalu mengulurkan tangan pada Lana. "Kenalkan, aku Anjani. Tapi Mbak cukup panggil aku Jani aja." Dia memperkenalkan diri dengan suara yang mantap dan penuh percaya diri.
Lana menjabat tangan Jani, lalu menyebutkan namanya, "Alana."
Jani tersenyum, kemudian melirik ke arah Sekar. "Ibu sudah banyak bercerita tentang Mbak Lana. Ternyata memang benar-benar cantik."
Eh, ibu?
Lana mengernyit heran, karena dirinya saja yang berstatus calon menantu belum pernah memanggil Sekar dengan panggilan 'ibu'. Mungkin kalau Sekar yang memintanya langsung untuk memanggilnya 'ibu', Lana akan dengan senang hati melakukannya. Namun Sekar sama sekali belum pernah melakukannya. Membiarkan Lana tetap memanggilnya dengan sebutan 'tante' yang entah sampai kapan akan bisa berganti.
"Mungkin Mbak Lana bingung ya, aku ini siapa." Jani seolah paham isi pikiran Lana, lalu melanjutkan, "Tapi aku udah lama kenal keluarga Mas Hesa. Dari aku masih kecil, lho. Jadi bisa dibilang aku dan Mas Hesa itu teman yang benar-benar dekat."
Lana menoleh ke arah Hesa. Memberi tatapan bingung dan meminta penjelasan maksud dari teman yang benar-benar dekat.
Hesa menangkap kebingungan kekasihnya itu, lalu buru-buru menjelaskan, "Jani itu sepantarannya Gala, teman sekolahnya juga dulu. Jadi, dia udah kami anggap seperti keluarga sendiri."
Oh, berarti hanya aku yang orang luar di sini, Lana membatin.
Perempuan berlesung pipi itu kemudian bercerita kalau dia sudah tiga tahun menjadi instruktur tarian tradisional di sebuah sanggar tari di Malang. Namun sekarang dia memutuskan untuk kembali ke Jakarta dan berniat membuka sanggar tari sendiri.
Jani memang tidak secantik Lana, tapi wajahnya cukup berkarakter dengan kulit sawo matang khas perempuan Jawa. Bentuk tubuh Jani yang curvy malah membuat tubuh langsing Lana hanya terlihat seperti sebatang pensil. Lurus. Tak ada lekukan indah seperti Jani.
"Oh iya, aku tadi di rumah udah buatin puding jagung kesukaannya Mas Hesa, lho," ujar Jani antusias sambil bergelayut di lengan Hesa. Yang sukses membuat hati Lana kebat-kebit.
Lana agak risih melihat Jani yang seperti bermanja-manja dengan Hesa. Lana pikir hal itu bukan sesuatu yang pantas dilakukan. Jani sudah dewasa, bukan anak kecil lagi. Kalau dia sebaya dengan Gala, berarti usianya sudah dua puluh dua tahun. Bukan golongan remaja atau abege labil.
"Tapi aku lupa bawa pudingnya. Aku ambil dulu di rumah ya," tukas Jani.