Shades of Cool

Ayuwening Tyaswuri
Chapter #8

Tujuh

"Kamu kenapa, Na?" Hesa bertanya pelan. "Kasih tahu aku kalau ada sesuatu yang membuat kamu marah." Sorot matanya menuntut penjelasan dari Lana. Setelah tadi ia dibuat bingung dengan ponsel Lana yang tidak bisa dihubungi, kemudian berinisiatif mencari ke apartemennya yang ternyata kosong. Dan Hesa baru bisa bernapas lega ketika menemukan Lana di kafe ini, sesuai dengan perkiraannya.

Lana terdiam beberapa saat. Mengumpulkan kata-kata yang tercecer dalam benaknya. "Sebenarnya Jani itu siapa? Kok, kayaknya kalian udah akrab banget?"

Hesa mengerutkan kening mendengar pertanyaan itu. Senyumnya perlahan terkembang tatkala menyadari sesuatu. "Jangan bilang kamu cemburu sama Jani?" Hesa tampak tak percaya lalu terkekeh. "Jadi gara-gara dia kamu sampai ngambek sama aku? Ya ampun, Sayang ...." Hesa merasa geli dengan kecemburuan Lana. Tangannya menyugar rambut ke belakang sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Aku bukan ngambek, tapi aku kesal, Hes." Lana menolak kalau disebut ngambek yang menurutnya terdengar kekanakan. "Gimana aku nggak kesal kalau lihat kamu disuapi sama Jani. Apa nggak bisa kamu makan sendiri tanpa perlu disuapi dia?"

"Lana, aku sama Jani udah kenal lama, karena keluarga kami dari dulu juga udah dekat. Dia itu udah aku anggap seperti adik aku sendiri Hanya sebatas itu, Na. Nggak lebih," jelas Hesa.

Kedua tangan Lana terlipat di depan dada. "Ya, tapi aku nggak melihatnya seperti itu, Hes. Nggak pantes aja suap-suapan di depan aku yang jelas-jelas pacar kamu. Gimana aku nggak kesal lihat dua orang yang udah dewasa masih suap-suapan."

"Maafin aku kalau hal itu bikin kamu marah. Tapi sumpah demi apa pun, aku menganggap dia itu nggak lebih dari seorang adik. Jani memang biasa seperti itu. Bukan hanya ke aku aja, ke Gala juga. Aku juga merasa wajar aja jadinya waktu dia nyuapin puding ke aku."

"Oh, jadi itu udah biasa ya. Tapi itu malah terlihat nggak wajar di mataku, Hes," keluh Lana.

Empat bulan masa pertemanan ditambah lima belas bulan menjadi pacar Hesa membuat Lana memahami karakter lelaki itu. Hesa mungkin tipe orang yang ramah dan baik pada siapa saja. Namun kalau Hesa terlalu segampang itu menunjukkan keakraban di luar batas kewajaran yang bisa nalar Lana terima, bukan tidak mungkin malah menjadi umpan bagi Jani untuk merebut Hesa.

Lana mencoba mengenyahkan pemikiran tersebut, tapi sulit kalau mengingat kata-kata yang sudah diucapkan Sekar. Membuat Lana takut kehilangan Hesa.

Hesa mengembuskan napas. "Oke, kalau kamu nggak suka gara-gara itu. Aku minta maaf ya, Sayang," ucap Hesa tulus. Enggan untuk terus menerus larut dalam masalah yang menurutnya tidak perlu sampai Lana berpikiran macam-macam tentangnya dan Jani.

Melihat Lana masih bergeming, Hesa berkata lagi, "Udah ya, jangan marah lagi. Jangan khawatir soal Jani. Nggak akan pernah ada yang lebih antara aku sama dia. Percaya sama aku."

Tatapan Lana kini menjadi lebih serius pada lelaki yang sedang berusaha membuatnya tersenyum. "Tapi ibu kamu mungkin punya pikiran lain tentang kalian," cetus Lana.

"Lho, kenapa dengan Ibu?" tanya Hesa bingung.

"Ibu kamu sepertinya memang nggak suka sama aku, Hes. Dan aku pikir, mungkin aja Jani yang diharapkan jadi istri kamu. Bukan aku," lugas Lana.

Hesa makin sulit memahami jalan pikiran Lana yang menurutnya semakin jauh. "Jangan berpikiran yang aneh-aneh tentang Ibu, Na. Ibu nggak mungkin seperti itu," sergah Hesa yang malah membuat perempuan di depannya tambah gelisah.

Lihat selengkapnya