•Berlin, Agustus 2008
Semua tak lagi sama. Keadaan sudah berbeda bagi Ares. Dunianya seolah berubah menjadi hening. Tak ada suara yang mampu ditangkap oleh pendengarannya, karena ia kini adalah seorang Tuli.
Neuroma akustik. Itulah nama penyakit yang menyerang Ares. Sebuah nama dari jenis penyakit yang baru diketahuinya setelah ia dilarikan ke rumah sakit pasca pingsan beberapa bulan lalu.
Setelah menjalani beberapa pemeriksaan, akhirnya diketahui ada tumor jinak yang sudah tumbuh dan memengaruhi saraf vestibular---saraf yang menghubungkan telinga dengan otak. Tumor yang menyerang Ares sudah tumbuh dalam ukuran cukup besar. Menyebabkan saraf kranial yang berhubungan dengan saraf pendengaran terjepit. Hal itulah yang membuat ia harus kehilangan pendengaran.
Telinga kanan Ares hanya mampu menangkap suara dalam skala 110 desibel dan telinga kirinya 100 desibel. Sedangkan skala pendengaran untuk orang normal adalah 0-20 desibel. Yang membuat pendengarannya termasuk dalam kategori tuli berat.
Satu-satunya jalan adalah dengan melakukan pengangkatan tumor lewat jalan operasi, dikarenakan tumor yang sudah cukup besar tidak bisa lagi dihancurkan bila menggunakan sinar radiasi. Namun operasi tersebut bukanlah tanpa resiko.
Dokter menjelaskan kalau tumor yang lebih besar berada lebih dekat dengan bagian-bagian otak dan saraf wajah. Sehingga risiko pendarahan otak akan menjadi berkali-kali lipat lebih besar jika melakukan operasi. Juga karena bisa memotong saraf-saraf yang berkaitan dengan pendengaran, keseimbangan tubuh, maupun wajah. Alhasil kemungkinan terjadinya komplikasi akan sulit untuk dihindari.
Dan Ares enggan untuk mengambil risiko tersebut. Ares tidak mau setelah operasi malah membuat tubuhnya menjadi lebih banyak mengalami disfungsi. Ia lebih memilih untuk bertahan dan tidak menjadikan kekurangannya sebagai alasan untuk merasa fruatasi.
Pada awalnya memang tidak mudah bagi Ares menerima keadaan tersebut. Banyak penyesuaian yang harus dilakukan dengan kondisinya yang kurang itu, tapi Ares selalu berusaha untuk bisa melakukan apa pun. Sama halnya seperti sebelum ia kehilangan pendengarannya.
Lalu Ares sampai pada sebuah keputusan untuk mengakhiri hubungannya dengan Lana. Memutus hal apa pun yang berkaitan dengan orang yang dicintainya itu. Menurutnya itu yang terbaik.
Memang berat. Namun jalan itu yang akhirnya dipilih Ares. Ia merasa tidak bisa melanjutkan lagi hubungannya dengan Lana ketika kondisinya sudah berubah. Ia takut mengecewakan perempuan itu.
Maka, pagi-pagi sekali Ares mengayuh sepedanya menuju kantor pos terdekat. Membeli perangko pada mesin otomatis, kemudian menempelkannya pada selembar kartu pos yang sudah ia tuliskan sesuatu di sana.
Maaf, kita nggak bisa lanjut lagi
Sesingkat itu Ares menulisnya, karena ia tidak tahu lagi harus mengakhirinya dengan kalimat seperti apa.
Untuk beberapa saat Ares masih berdiri mematung di depan sebuah kotak pos kuning dengan logo Deutsche Post berwana hitam. Seolah kotak pos itu menanyakan kemantapan hatinya untuk memikirkan kembali tindakan yang akan dilakukannya.
Apa aku harus melakukan ini? Pertanyaan itu terlintas di benaknya.
Tangan Ares kemudian bergerak sebagai jawaban. Kartu pos itu akhirnya masuk ke dalam kotak pos.
Selamat tinggal Lana.
⛾