Tangan Lana mendingin. Suhu udara di sekitarnya seakan turun drastis. Lana tidak tahu kenapa melihat Ares bisa membuatnya begini. Campuran dari rasa kesal, jengkel, marah, tapi juga ada rindu yang menghimpit. Meski Lana tidak mau mengakui adanya rasa itu.
Faraz menoleh pada Lana. "Na, kita mau terus berdiri di sini aja atau gimana?" sindirnya karena Lana masih saja diam di tempat.
Lana tergeragap begitu Faraz menyenggol lengannya. Membuat Faraz menaikkan alis karena heran melihat gelagat temannya yang menjadi agak aneh.
Lana menarik napas panjang dan melangkah mantap menuju meja mereka berada. Tidak mungkin ia berbalik badan sekarang. Lagipula kenapa ia harus menghindari Ares? Toh, sekarang sudah tidak ada lagi perasaan yang ia simpan untuk Ares. Hatinya sudah mati untuk lelaki itu.
"Tumben jam segini ke sini?" tanya Wanda sambil melirik sekilas ke arah Faraz, lalu kembali memusatkan perhatiannya pada Lana. Jelas sekali kalau Wanda terlihat enggan dengan kehadiran mantan pacarnya itu.
"Iya nih, sekalian mampir habis cek lokasi buat syuting minggu depan," terang Lana yang memberi senyum hanya pada Satria. Ia masih menghindari kontak mata dengan Ares.
"Oh iya, kenalin dia Ares," ujar Wanda sambil menunjuk lelaki berkaos warna abu-abu yang duduk di sebelah Satria.
Ares bangkit dan langsung mengulurkan tangannya lebih dulu pada Faraz. Kening Faraz mengernyit. Tampaknya Faraz sudah menyadari kalau orang yang rencananya akan ditemuinya bersama Lana hari Senin nanti, ternyata malah sudah berdiri di hadapannya sekarang. Faraz seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi tidak jadi dan memilih hanya memperkenalkan diri saja.
Pandangan Ares beralih pada Lana yang sedang menampilkan raut wajah sebiasa mungkin. Tak dapat disangkal kalau Lana sebenarnya canggung harus menyikapi pertemuan ini. Baginya, Ares adalah mantan sahabat sekaligus mantan pacar yang sudah mencampakkannya. Yang sudah membuatnya sakit hati.
Dan sekarang ....
Melihat Ares berdiri di depannya setelah masa sepuluh tahun itu bagi Lana tidaklah mudah. Sepuluh tahun yang ia yakini kalau Ares tidak akan pernah muncul lagi dalam hidupnya.
Namun Lana menyambut uluran tangan itu dengan senyum yang Ares pasti tahu kalau tidak sampai ke matanya. Jenis senyum yang Lana paksakan.
Lana berusaha menguasai diri. Ini adalah kontak fisik pertama kali Lana dengan Ares setelah sekian lama, yang membuat degup jantungnya semakin tidak karuan. Jemari mereka berdua masih saling menjabat, tapi tidak ada satu pun kata yang meluncur keluar.
Mata Ares tidak lepas menatap balik mata indah Lana. Seolah isi hati mereka bisa terbaca. Ares paham ada rasa kecewa dari sorot mata perempuan yang semakin bertambah cantik itu. Lana yang dulu diakrabinya bukanlah Lana yang sekarang. Keadaan sudah mengubah total kondisi hubungan mereka. Dan Ares sadar, kalau dirinya sendiri yang sudah mengacaukan hubungan mereka.
"Ehm ...." dehaman Wanda sontak membuat Ares maupun Lana tersadar kalau jabatan tangan mereka sudah cukup lama dari sewajarnya. Lana buru-buru menarik tangannya.
Alis Wanda bertaut melihat kejanggalan Ares dan Lana. Begitupun Faraz yang merasa curiga dengan situasi mereka berdua. Satria bertopang dagu di atas meja memperhatikan tindak-tanduk Ares yang di matanya seperti ada sesuatu dengan Lana.
"Apa kabar, Na?" sapa Ares cepat.
"Baik," jawab Lana pendek seraya tersenyum kaku.
Otomatis hal tersebut membuat yang lain heran, karena tidak menyangka kalau mereka berdua ternyata sudah saling mengenal.
Wanda buru-buru bertanya, "Jadi kalian ini udah saling kenal ya?" Pandangan matanya menyelidik.
Lana tidak tahu harus memberi jawaban seperti apa, tapi Ares yang kemudian menjawab pertanyaan Wanda.
"Kami udah lama saling kenal," terang Ares.
Wanda mengangguk paham, lalu menyolek pergelangan tangan Lana yang masih saja berdiri.
"Na, kok bengong?" tanya Wanda yang masih belum lepas rasa herannya melihat sikap Lana agak berbeda dari biasanya. "Yuk, duduk," ajaknya pada Lana dan tidak memedulikan Faraz.
Faraz paham dengan sikap tak acuh Wanda, lalu memilih untuk duduk di counter bar. Mungkin Faraz merasa tidak nyaman juga kalau harus satu meja bersama Wanda dan Satria.
Kemudian Lana duduk bersebelahan dengan Wanda, berhadapan langsung dengan Ares yang sekarang melipat tangannya di depan dada. Manik mata hitam Ares masih terarah pada Lana. Yang malah membuatnya tidak nyaman diperhatikan seperti itu. Lana mengerjap lalu membuang pandangannya ke arah lain.
Tangannya bergerak mengambil buku menu yang tergeletak di atas meja. Menyibukkan diri dengan melihat lembar demi lembar daftarnya. Menelusuri satu per satu makanan serta minuman kafe ini dengan isi kepala yang semerawut karena Ares.
"Kalian itu teman sekolah atau gimana, Res?" tanya Satria yang tampak ingin tahu. "Bukannya lo itu pindah ke Jerman udah dari 2007 ya, Res?" tambah lelaki berpotongan rambut klimis itu.
"Gue sama Lana dulu tetanggaan di Bandung," jelas Ares.
"Berarti udah kenal lama banget dong, sama Lana," timpal Wanda dengan tangan yang sibuk menyuapi Satria sepotong tiramisu. Perempuan itu sengaja melakukannya demi membuat panas Faraz yang sesekali melirik ke arah meja mereka.