Tatapan Ares belum beralih dari perempuan cantik yang sudah sepuluh tahun tidak dijumpainya, yang berjalan ke arah pintu kafe dengan sedikit tergesa-gesa. Sampai pandangan Ares tak lagi bisa melihat Lana yang sudah keluar melewati pintu itu. Ia tak memedulikan dua pasang mata yang kini menaruh curiga dengan sorot penuh tanya padanya.
Ares meraih cangkir yang ada di depannya. Menyesap cappucino yang tinggal setengah dan langsung menandaskannya. Kemudian menaruh cangkir itu kembali di atas meja dengan sikapnya yang santai seolah tanpa beban.
Akan tetapi bukannya tanpa beban. Justru sebenarnya Ares merasa sangat berat harus bertemu Lana sekarang, karena pertemuan ini tidak pernah dibayangkan Ares akan terjadi dari sejuta kemungkinan atau kebetulan yang bisa terjadi dalam hidupnya.
Kemungkinan untuk bisa bertemu Lana tidak masuk dalam perhitungannya. Ia sudah mengubur semua hal tentang Lana. Sudah menjauhkan dirinya dari perempuan yang sangat disukainya itu. Meski Ares paham akan kemampuan dirinya sendiri yang jauh dari kata mampu untuk benar-benar melupakan Lana.
Sulit. Ia akui itu.
Namun keputusan yang sudah Ares ambil sepuluh tahun lalu tidak akan mengubah apa pun dari pertemuan mereka. Sebuah kondisi dari pilihan yang dibuatnya sendiri. Bahkan Ares tadi sengaja menyebut hubungannya dengan Lana sebagai hanya teman. Sebuah penegasan agar Lana tetap membencinya hingga akhir.
⛾
Ares mengambil sebotol air mineral dari dalam kulkas. Membuka segelnya dan langsung meminumnya sambil berjalan menuju sofa di ruang tengah. Di sana Satria sedang duduk bersila kaki dengan laptop yang ditumpangkan di atas pangkuan, yang tampak sedang serius mengerjakan sesuatu.
Selama di Jakarta, Ares tinggal di sebuah unit apartemen di bilangan Thamrin bersama Satria yang sudah menjadi teman baiknya sejak mereka sama-sama kuliah di Jerman.
Ares lantas duduk di sebelah temannya itu dan mulai menyalakan televisi tanpa khawatir akan mengganggu konsentrasi Satria. Tentu saja karena Ares tidak perlu mengaktifkan volume suara televisi.
Setelah beberapa kali berpindah channel, akhirnya pilihan Ares jatuh pada sebuah program berita malam yang bisa dipahaminya. Ada sebuah kotak kecil pada bagian bawah di sebelah kanan layar televisi yang menampilkan seorang penerjemah bahasa isyarat. Sesuatu yang sangat membantu sekali bagi Ares ataupun para Tuli lainnya.
Ares menoleh begitu Satria menepuk pelan lengannya dan mulai memperhatikan gerak bibir temannya itu.
"Ada yang mau lo ceritain ke gue tentang Lana," Satria kemudian menutup laptop-nya dan meletakkan benda tersebut di atas meja. Menunggu respon Ares yang ekspresinya masih terlihat datar-datar saja.
Satria lalu berkata lagi, "Gue tahu bagaimana lo, Res. Jadi lo nggak bisa bilang 'nggak ada apa-apa' kalau sebenarnya ada sesuatu antara lo dan dia."