Mungkin jika Alicia masih bermimpi, itu jauh lebih baik dari pada saat ini. Ketika harus menghadapi sosok bayangan di mimpinya menjadi nyata di kehidupannya. Senyata saat laki-laki itu hendak kembali mendekatinya.
“Berhenti!” cegah Alicia. Kakinya bahkan gemetar. “Aku sangat yakin bahwa kita tidak saling mengenal.”
“Aku mengenalmu.” Laki-laki itu berjalan memutari tempat tidur mengarah ke tempat Alicia berdiri.
“Tolong berhenti....” Alicia meminta dengan suara gemetar. Mengambil langkah mundur lebih banyak dan kali ini ia sempat menjangkau penggaris di atas nakas. “Atau sebenarnya kau adalah pencuri?!”
***
“Aku tidak berniat mencuri apa pun.” “Kalau begitu kau bisa pergi sekarang!”
Laki-laki itu terkekeh. “Kau bilang tidak mengenalku, bagaimana jika kita berkenalan agar satu masalah di antara kita selesai.”
Alicia melemparkan penggaris di tangannya dan mengambil barang-barang lain yang bernasib sama. Laki-laki itu tidak berusaha menghindar malah kini tertawa seakan menikmati ketakutan Alicia.
“Kau memang sering lucu seperti ini?” tanyanya. “Tadi kau menanyakanku seorang pencuri atau bukan, jadi lewat mana sebaiknya aku harus keluar? Jendelamu?”
“Aku tidak tahu. Tolong keluar saja lewat jalan kau masuk sebelumnya.”
Laki-laki itu terdiam menatap Alicia. Lalu tersenyum yang mampu membuatnya sesaat tersesat. Lalu laki-laki itu berjalan santai mendekati dirinya.
“Berhenti di sana!” pekik Alicia. “Aku memintamu keluar.
Kenapa malah mendekatiku?”
“Kau menyuruhku untuk keluar di tempat aku masuk, bukan?” laki-laki itu kini berada di hadapan Alicia. Mempertegas perbedaan tinggi mereka yang cukup jauh dan menambah perasaan terancam Alicia berkali lipat.
“Bagaimana caranya jika kenyataannya adalah aku datang dari mimpimu, Alicia?” lanjutnya.
Alicia mengerjap. “Jangan bercanda.”
“Kau pasti mengingatku. Kau melihat mataku di dalam mimpimu.”
Dia mengetahuinya. “Tapi itu mustahil.”
Laki-laki itu seperti sudah mengira jawaban Alicia dan beralih menoleh ke arah jendela. “Kau tidak ingin siap-siap? Ini sudah memasuki jam yang akan membuatmu terlambat ke kampus.”
Alicia meremas tangannya yang berkeringat. “A-ku harap kau mau pergi. Terserah bagaimana kau melakukannya.”
Laki-laki itu kembali melihat Alicia. Kali ini menelitinya dari kepala hingga kaki. Berakhir dengan sebuah senyum kecil di sudut bibirnya yang Alicia tidak mengerti apa artinya.
“Jangan takut padaku. Karena kau sudah membawaku ke dunia ini, maka kita akan sering bertemu sekarang.”
Alicia mengerutkan kening. Apakah laki-laki ini benar-benar muncul dari mimpinya?!
“Dan namaku Damian. Kau harus mengingatnya.” Lanjut laki- laki itu penuh percaya diri. “Sebagai bukti agar kau mempercayai apa yang aku katakan tadi, maka buka matamu lebar-lebar dan lihat.”
Alicia yang memang tidak bisa berkedip menatap tanpa bergerak. Setelahnya napas Alicia seakan tertahan ketika laki-laki yang mengaku keluar dari mimpinya itu menghilang begitu saja. Lenyap secepat yang tidak bisa ia kira.
Alicia melarikan matanya mengelilingi setiap sudut kamar. Mencari keberadaan laki-laki itu. Tapi yang ia temukan hanya kekosongan. Hanya ada Alicia di kamar itu.
Alicia memeluk dirinya sendiri dan berlari ke kamar mandi. Mengunci pintunya secara brutal, entah untuk menahannya dari apa. Ketika Alicia masih sibuk mengatur napas, sebuah sapuan ringan terasa di pipi sebelah kirinya. Sontak tubuhnya menegak dengan kewaspadaan. Alicia masih sendirian di sana. Tangannya meraba pipi, terkejut jika ada rasa hangat yang tertinggal. Seperti sentuhan. Layaknya kecupan.
Demi kewarasan, Alicia berjanji pada dirinya sendiri untuk menganggap jika kejadian aneh itu adalah mimpi. Dirinya masih bermimpi. Titik.
***
Alicia tidak pernah terlambat. Ia tidak akan membiarkan dirinya menjadi pusat perhatian karena itu adalah daftar terakhir rencana hidupnya. Ia mengambil kursi paling depan dan mulai mengeluarkan beberapa buku.
Ketika kelas dimulai, hanya ada beberapa orang yang duduk di depan bersamanya. Hampir semua berebut untuk duduk di belakang agar bisa dengan mudah mengabaikan kelas, atau mengganggunya.