Saat bias cahaya matahari pagi membangunkan Alicia, ia menyadari jika itu adalah tidur paling nyenyak yang pernah ia rasakan. Kepalanya terasa enteng, dan tubuhnya terasa hangat. Sepertinya ia akan membuat roti panggang untuk membuat paginya lebih sempurna.
Ketika ingin turun dari tempat tidur, Alicia baru menyadari sesuatu yang berat menahan perutnya. Ia sontak menunduk, menemukan tangan seseorang di atas selimut yang sedang memeluknya. Alicia terpekik seraya bangkit dan langsung mengenali siapa yang berbaring di sana.
“Kau!” Alicia menekan punggungnya ke dinding, berharap itu bisa membawanya menjauh. “Apa lagi yang kau lakukan di sini?”
Damian menggeliatkan tubuhnya sebelum menjawab dengan santai, “Menemanimu tidur,” lalu menumpukan tangan di atas bantal. “Kau sangat berisik, jadi aku memelukmu.”
“Ada apa sebenarnya denganmu?” Alicia mengumpulkan akal sehatnya sendiri. “Kau tidak bisa memasuki rumah orang lain seenaknya. Apalagi jika kau tidak diizinkan.”
Damian bangun dari posisinya. “Tenanglah,” lalu berdiri mendekati Alicia. Tapi Alicia mundur selangkah, menampilkan ketidaksukaan terhadap keberadaan laki-laki itu.
Damian menyadari itu, dan mengangkat bahunya. “Aku hanya tidak punya tujuan lain selain ke sini.”
“Aku akan memanggil polisi,” ujar Alicia mencoba tidak berlari ke arah pintu, tapi Damian dengan cepat menghalanginya.
“Kau tidak akan melakukannya,” ucap Damian percaya diri. “Ke-napa tidak?”
“Kau mengatakan itu hanya untuk menakutiku. Agar aku keluar dari rumah ini.”
Meski itu benar, Alicia tidak ingin mengakuinya. “A-ku tetap akan memanggil polisi. Kecuali kau bisa menjelaskan siapa dirimu yang sesungguhnya dan keluar dari sini.”
Laki-laki itu tersenyum. “Jadi kau penasaran?”
Sulit untuk tidak, bukan? Ia takut dengan sosok asing Damian, sekaligus penasaran siapa laki-laki itu. “Sebenarnya siapa dirimu?”
“Aku sudah mengatakannya kemarin.”
“Apakah...” Alicia berhati-hati mengatakan ini, “Kau benar- benar datang dari mimpiku?”
Damian menahan sudut bibirnya berkedut. Dan menganggukkan kepala.
“Kau adalah bayangan hitam di dalam mimpiku yang menjadi nyata?” Alicia tidak mempercayai kata-kata itu keluar dari mulutnya, tapi memang benar ia ucapkan. “Ba-gaimana bisa? Itu mustahil.”
“Kemustahilan adalah sesuatu yang sudah tidak berlaku lagi untuk saat ini.” Damian mengangkat ujung jari telunjuknya ke arah Alicia. Awalnya tidak ada yang terjadi, tapi tiba-tiba Alicia merasakan sebuah sapuan ringan di dahinya sampai anak rambutnya melayang. Seperti seseorang tengah menyentuhnya.
Alicia terbelalak. “Jadi... itu perbuatanmu? Sentuhan-sentuhan di pipiku?”
Damian terlihat merasa bersalah tapi juga tidak. “Aku harap itu tidak terlalu menakutimu.”
Alicia tidak tahu respons seperti apa yang harus ia tunjukkan. Sebelum ia mempercayai hal tidak masuk akal yang Damian ucapkan, ia berlari keluar kamar dan menyambar telepon secepat yang ia bisa. Ia tidak ingin melakukan ini tapi Alicia tidak akan membiarkan dirinya menjadi gila.
“Halo...” belum sempat sahutan dari nomor polisi yang dihubunginya, suara dengung panjang terdengar. Menandakan telepon itu terputus. Alicia mencoba menelepon lagi, namun telepon rumahnya justru mati.
“Alicia,” suara itu datang dari Damian yang menyusulnya turun ke ruang tamu. “Sebaiknya kita bicarakan ini hanya berdua. Tanpa melibatkan orang lain.”
“Ini ulahmu?” Alicia menunjuk teleponnya. Dan Damian hanya mengangkat bahu tapi Alicia yakin itu artinya iya.
“Apa kau sadar?” Alicia meletakkan telepon sembarangan dan mundur menjauhi Damian sebisa mungkin di ruang tamunya yang sederhana itu. “Kau orang asing dan sulit untukku tidak takut padamu. Bagaimana bisa kau ingin aku mempercayai perkataanmu?”
“Benar. Kau jelas benar, Alicia. Tapi,” kalimat Damian terhenti bersama dengan tubuh laki-laki itu yang juga menegang. “Alicia, mendekat padaku sekarang.”