Napasnya pendek-pendek, tajam dan memburu seperti derap kuda dalam dadanya. Kabut tipis lolos di antara sela-sela giginya. Rasa dingin itu menggigit. Menjalar di sekujur tubuh, merambat dari telapak hingga ke tengkuk. Ia menggeliat. Tersentak oleh rasa ngilu yang menyambar setiap persendian tubuhnya, tapi tak sanggup untuk melawan.
Segalanya terasa salah. Tubuhnya… aneh. Terlalu panjang, sekaligus terlalu sempit di bagian tertentu. Entah bagaimana meregang, seolah bukan miliknya sendiri. Ia mengerutkan hidung, rahangnya mengencang. Ia dapat mendengar gigi-giginya bergemeletuk menahan rasa sakit dan dingin. Bahkan gerakan kecil saja memantik sengat tajam di bawah kulitnya.
Ia meringkuk di lantai batu. Dingin dan kejam. Menggigit seperti ratusan gigi kecil mencabiknya perlahan. Tangannya memeluk erat tubuh yang bergetar di luar kendali. Liurnya menetes, lidahnya terasa kering, bercampur dengan rasa getir dan masam—asing dan menjijikkan. Keringat dan liur bercampur. Membuat helaian kelabu menempel di sisi wajahnya. Seperti jaring laba-laba yang enggan lepas. Sendi-sendinya seolah terlilit bara panas, lemas luar biasa, dan sulit digerakkan. Lantai batu tak pernah terasa sedingin ini.
Ia tidak tahu berapa lama dirinya hilang kesadaran. Ingatannya buram, terdistorsi. Yang diingatnya terakhir kali hanyalah ketika dirinya dibawa ke sebuah kastil di utara, jauh dari tempat asalnya, lalu dikurung dalam rubanah entah untuk berapa lama. Kemungkinan besar ia masih berada di kastil yang sama, tapi ia tidak yakin. Segalanya terasa samar dan berbayang, termasuk benaknya.
Perlahan, ia mencoba menguasai dirinya. Kedua tangannya yang kurus dan gemetaran terkepal menjejak lantai, berusaha menopang tubuh yang sebelumnya meringkuk. Ia berjengit merasakan lantai kasar di bawah tangannya. Matanya berkedip pelan, mencoba memfokuskan penglihatan. Tapi kepalanya sakit, pusing berkunang-kunang, seperti baru saja dihantam batu besar.
Saat penglihatannya mulai jelas, ia menyadari dirinya berada di ruangan minim pencahayaan. Dua obor yang menyala di sudut ruangan tidak cukup untuk menerangi semuanya. Seharusnya itu tidak masalah, penglihatannya biasanya cukup dapat diandalkan, bahkan hanya dengan sebelah mata yang sehat. Tapi kini, rasanya tidak berguna. Terlalu lambat menangkap objek. Terlalu gelap, seolah bau dan cahaya berbaur, tak dapat dibedakan.
Rasa takut merambat melalui tulang punggungnya, namun instingnya jauh mendahului. Ia mengendus udara di sekitarnya. Bau ruangan berjamur menyeruak, bercampur dengan aroma dupa, rempah-rempah, dan bau tajam darah dari berbagai jenis hewan, juga manusia. Sebuah aroma yang tiba-tiba membuatnya merasa lapar, namun juga anehnya, mual.
Setelah beberapa saat, ia baru menyadari siluet samar yang bergerak perlahan. Bayangannya memanjang akibat cahaya obor yang temaram. Ada orang lain di ruangan itu. Sosok itu berdiri tak jauh darinya, berbalut jubah hitam yang berat. Rambut putih panjangnya berkilau, wajahnya keras dengan tulang rahang lebar dan alis yang tajam. Meski tampak seperti pria awal empat puluhan, insting alaminya mengatakan itu hanyalah penampilan luarnya. Sosok itu bukan manusia biasa. Aromanya tajam dan mengancam, seperti peringatan bisu. Perlahan, baunya berubah menjadi lebih dalam dan berat, seperti tangan tak kasat mata yang menggenggam erat dari dalam dada. Aroma itu tidak dapat tercium oleh hidung manusia biasa. Tapi ia bukanlah manusia.
Ia menggeram pelan, meskipun tubuhnya terlalu lemah untuk benar-benar melawan. Ia merendahkan tubuhnya sedikit. Dadanya nyaris menempel pada lantai. Ia mencoba bersiap untuk apapun yang akan terjadi. Kedua sudut bibirnya terangkat membentuk seringai mengancam.
Jangan mendekat! Itu yang ingin ia katakan. Namun, suara yang keluar serak dan kecil, seakan menelan duri tajam.
"Tidurmu lelap, anak anjing?" suara pria itu berat dan mencemooh.
Ia menggeram—atau mencoba menggeram, sekalipun tenggorokannya perih dan suaranya enggan keluar. Aku bukan seekor anjing! pikirnya. Anjing hina bersembunyi ketakutan di belakang tuannya. Sedangkan ia adalah pemburu dalam gelap. Tapi dalam kondisinya yang lemah ini, ia tak bisa membela dirinya sendiri. Bahkan untuk sekadar menopang tubuh, ia nyaris tak sanggup.
Pria berjubah hitam itu maju dua langkah. Wajahnya terlihat lebih jelas, memperlihatkan kulit pucat dan tulang hidung panjang yang agak bengkok. Mata kelabunya menyiratkan tahun-tahun panjang yang dilaluinya, jauh lebih panjang dari manusia pada umumnya. Sekalipun disembunyikan oleh tampilan luar yang jauh lebih muda.
Geliat samar menjalari punggungnya. Tanda bahaya yang hanya dipahami kaummya. Aroma pria itu lebih tajam ketika mencondongkan tubuhnya. Bau yang seakan berbisik dari dalam kegelapan. Pria itu berjongkok, menarik rahangnya dengan satu tangan. Jemarinya besar, dingin, dan pucat, memeriksa wajahnya dari sisi ke sisi, seakan menilainya sebagai hewan yang layak dibiarkan hidup atau tidak. Tatapan tajamnya terhenti pada sisi kanan wajahnya.
Pria itu memiringkan kepalanya sedikit, tangan yang lain dilambaikan. "Mata anjing ini buta sebelah, Derek," katanya dingin.
Dari bayangan di sudut ruangan, muncul seorang pria muda. Tubuhnya tinggi semampai dengan kulit pucat seperti mayat. Rambutnya hitam kelam, wajahnya tirus, dan dagunya runcing. Aroma amis bercampur batu basah mengikuti kemunculannya. Bau ular dan kematian.
Ia rupanya familiar dengan bau tersebut.
"Ini bukan kesalahan ritual, Master. Ia memang cacat," jawab Derek, meyakinkan masternya.
Ia mengenali pria yang dipanggil Derek itu. Ular hitam besarnya mengintai waspada di belakangnya. Bahunya menegang mengingat sisik kasar yang pernah melilit tubuhnya hingga nyaris mati.
“Kupikir juga begitu," pria berjubah berat di hadapannya bangkit, melepaskan tangan dari wajahnya dengan kasar.
"Beri dia makan!" perintahnya tegas.
Tidak lama kemudian, Derek kembali bersama seseorang dengan karung yang meneteskan darah segar. Ia berjongkok, membuka ikatan karung, dan mengeluarkan sepotong daging yang masih basah dengan darah. Tanpa ragu, ia melemparkan daging itu ke dekatnya.
Percikan darah jatuh ke wajahnya. Bau amis daging merah seketika menusuk hidung, membuat perutnya melilit. Rasa lapar tiba-tiba menyergap lebih erat. Kewaspadaannya surut, terkalahkan oleh naluri purba yang menuntut darah dan daging. Liur menggenang di mulutnya. Ia tak sanggup menahannya lagi.
Ia merendahkan kepala, mengendus daging itu. Ia ingin menolak, namun tubuhnya lebih patuh pada tuntutan perut yang menyembah rasa lapar. Ia mulai menggigitinya dengan rakus. Geraman dan tatapan nyalang terselip di antara gigi-giginya yang mengoyak daging. Ia tahu mereka menonton, tapi ia tak bisa berhenti.