Shadow of the Forgotten Flame

Sadille N. Mouren
Chapter #4

The Dust Boy on the Freight

Einar menyandarkan punggung dan kepalanya pada salah satu rangka kayu yang menopang atap lengkung kereta. Kereta pengangkut yang dinaikinya berguncang keras dan ia sudah mulai lelah berada di dalamnya. Baru sehari perjalanan sejak meninggalkan gerbang kota, tapi Einar sudah merasa kelelahan. Ia tak terbiasa melakukan perjalanan jauh. Ini adalah kali pertamanya pergi ke luar ibu kota selama bertahun-tahun sejak kedatangannya ke Thalvaris dan berpindah dari satu majikan ke majikan lain.

Baru kemarin ia merasakan tubuhnya menegang ketika petugas jaga memeriksa surat-surat di gerbang keluar. Ia mengalihkan kegugupannya dengan mengamati papan pengumuman yang berdiri di dekat gerbang, padahal ia sendiri sama sekali tidak bisa membaca. Sekalipun begitu, ia tahu berita apa saja yang ada di sana. Orang-orang bilang pengumuman itu masih memuat kabar kematian sang kaisar tua dan orang-orang yang hilang di wilayah timur—hal-hal besar yang rasanya jauh dari dirinya.

Ia tak peduli. Kini, bokongnya lebih memerlukan perhatian. Sebuah bantalan duduk, barangkali. Baru sebentar saja, ia sudah tidak betah. Einar hampir yakin, melakukan perjalanan dengan kereta angkut seperti ini dapat menambah memar di tubuhnya.

Kereta angkut itu tidak terlalu besar. Terbuat dari kayu ek dengan rangka besi pada setiap sudutnya. Bagian atas kereta ditutupi kanopi dari kain terpal berwarna kusam—untuk melindungi muatan dari panas dan hujan. Roda-rodanya besar dan kokoh, sengaja dibuat agar mampu menahan beban berat. Suara berderak dari roda-roda tersebut konstan terdengar sepanjang perjalanan mereka.

Ada delapan peti besar yang dimuat dalam kereta tersebut. Semuanya dirapatkan dan diikat ke rangka kereta menggunakan tali tambang besar demi menahan guncangan.

Meskipun kokoh, kereta dengan dua kuda penarik itu terlihat sangat sederhana sehingga tidak menarik perhatian, layaknya kereta pengangkut barang yang biasa keluar-masuk kota. Tetap saja, sang sais menyelipkan sekantung koin ke balik jubah penjaga agar dapat lolos pemeriksaan tanpa perlu mencocokkan isi peti dengan surat jalan.

Rambut cokelat Einar yang kusam dan dipotong asal-asalan berkibar diterpa angin. Ia menarik selimut lusuh ke atas kepalanya, menahan angin yang mencolek wajahnya tanpa ampun. Di antara guncangan dan udara dingin itu, pikirannya malah terbang pada seekor anak anjing kelabu yang tadi ia lihat di pinggir jalan—satu-satunya hal hangat yang tersisa di benaknya. Anak anjing berwarna kelabu tua dengan segaris aksen putih di punggung.

Sejak masih tinggal bersama keluarganya, ia selalu menginginkan seekor anak anjing. Anjing jenis apa pun tidak masalah, tetapi yang tadi sangat sempurna. Sayang sekali, keinginannya tak pernah terwujud. Kandas sebelum sempat diutarakan. Penyebabnya sama seperti alasan ia berada dalam kereta pengangkut itu. Kematian orang tua.

Sudah lebih dari separuh hidupnya ia jalani sebagai budak. Berpindah dari satu majikan ke majikan lain, seperti piala usang yang tak pantas dipajang di rak manapun. Ia tak begitu ingat berapa usianya ketika pamannya sendiri menyerahkannya ke tangan seorang bangsawan rendahan. Lima tahun? Atau barangkali enam? Kepala kecilnya belum cukup pandai mengingat apapun. Termasuk nama belakangnya atau nama kampung halamannya. Bahkan wajah kedua orang tuanya pun sudah mulai pudar dalam ingatannya. Kehangatan mereka seperti bayangan samar dari masa lalu.

Kini, yang nyata adalah permukaan kasar lantai kereta kayu yang ia duduki, guncangan yang membuat perutnya bergejolak, serta embusan angin yang membawa perubahan musim. Tahan saja, pikirnya. Bukankah anak laki-laki harus kuat?

Kereta yang ditumpanginya bergerak menuju barat. Ia tidak tahu ke mana tujuan pastinya.

Ia bertanya ke mana mereka akan pergi, tapi jawabannya hanya gertakan kasar: “Bukan urusanmu!”

Sejak saat itu, Einar tahu diri. Tugasnya hanya menaik-turunkan muatan dan membuat dirinya berguna bagi orang-orang tuannya—seorang sais, tiga ksatria, dan seorang penyihir yang mengawal muatan mereka.

Tuannya bukanlah seorang yang baik hati. Ia sudah beberapa kali berpindah majikan, namun tidak ada yang yang senista tuannya yang sekarang.

Magnus Lennox memiliki ratusan budak di wilayahnya. Sebagian besar dikurung di tempat yang disebut asrama—meski bagi Einar, tempat itu lebih mirip kandang manusia.

Belasan orang dijejalkan ke dalam satu ruangan tanpa tempat tidur. Lantainya tanah keras, dan bau apek bercampur keringat seperti dinding kedua ruangan itu. Siang dan malam bercampur, karena kerja mereka dimulai sejak gelap dan baru berakhir ketika tubuh tak lagi bisa berdiri.

Tak ada makanan yang layak, hanya cukup agar mereka tetap hidup. Banyak yang batuk terus-menerus karena debu kain dari pabrik. Yang sakit dibiarkan. Yang mati, diganti. Dan yang melawan... dihukum. Cambuk yang dijanjikan tak pernah meleset dari punggung.

Einar cukup beruntung—setidaknya menurut ukuran dunia budak—karena hanya sebulan bertahan di neraka itu sebelum dibawa ke kediaman Magnus untuk mengurus kuda-kuda. Di sanalah ia bertemu Boyd, satu-satunya orang yang membuat tempat itu sedikit lebih bisa dihadapi.

Boyd berkepala nyaris botak dengan gigi depan besar. Seperti halnya orang-orang yang datang dari timur, ia berkulit gelap. Terpaut dua tahun lebih tua dari Einar, tentu saja ia lebih mahir dan cekatan mengurus kuda. Tuannya berkata bahwa Einar akan belajar menjalankan pekerjaannya dari Boyd. Dan memang begitulah adanya.

Menurut Boyd, mereka akan sampai di tempat tujuan dalam empat hari. Bagi Einar, itu bukan waktu yang sebentar. Apalagi ia tidak suka berada dalam kereta kuda yang dijalankan ugal-ugalan. Kepalanya pusing dan perutnya mual setiap kali keretanya berguncang keras. Tidak seperti di dalam benteng ibu kota, jalan kekaisaran niscaya seperti jalanan menuju neraka.

Einar mengembuskan napas, berusaha menenangkan perutnya yang bergejolak. Ia bertanya-tanya, apakah menjejalkan makanan lebih banyak ke dalam mulutnya dapat meringankan rasa mual. Ia menggeleng pelan. Makanan harus dihemat. Lebih baik mengalihkan pikiran pada anak anjing tadi.

"Apa yang kau pikirkan?" tanya Boyd tiba-tiba, memecah lamunannya.

"Tidak ada. Aku hanya lapar," jawab Einar, "atau mual. Atau mungkin keduanya. Terkadang aku tak bisa membedakannya.”

Seringai bodoh terbit di bibir Boyd. "Ucapan tolol macam apa itu? Ya sudah, kita buktikan, kau lapar atau cuma sok-sokan mual.”

“Asal tahu saja," bisiknya sembari membuka tas serut yang melingkar di tubuhnya. “Kemarin aku mencuri beberapa potong roti kering dan beri dari dapur.”

Ia mengeluarkan beberapa potong roti kering yang nyaris berjamur. Diikuti segenggam beri yang beberapa diantaranya sudah lumat terjepit di dalam tas. "Makan ini. Celakalah kau kalau sampai sakit! Aku tak sudi mengasuhmu selagi harus mengurus anjing-anjing penjilat itu.”

“Terima kasih.” Einar menerima pemberian Boyd dengan senang hati, tidak menghiraukan umpatan yang dilontarkan anak itu. Sedikit jamur di permukaan roti tidak masalah baginya. Tubuhnya sudah berteman baik dengan makanan setengah layak.

“Lain kali, makanlah lebih banyak," ujar Boyd sok menasihati, sebelum menjejalkan beberapa butir beri ke mulutnya. Padahal kondisinya sendiri tak lebih baik. Boyd memang suka bersikap seperti kakak yang baik—sok bijak, sok tahu. Mungkin karena merasa lebih tua dan lebih tinggi. Atau mungkin… karena dulu ia memang pernah punya adik. Itu yang pernah Boyd katakan.

Adik perempuan. Mati terkena panah pemburu. Ya, beberapa bangsawan gila memang melakukannya. Menjadikan budak sebagai target buruan, alih-alih kambing atau rusa. Untuk senang-senang, katanya. Boyd mengatakannya dengan nada biasa, malah diiringi kekehan ringan seolah-olah beberapa bagian ceritanya adalah lelucon. Tapi tatapan matanya tak dapat menyembunyikan duka itu.

Ia belum lama mengenal Boyd. Dua bulan lebih sedikit, barangkali. Anak itu kasar dan bermulut pedas. Tapi memang seperti itulah perangai kebanyakan budak. Hanya menjaga mulut dan mematut sikap di depan majikan. Karena itu, perkelahian antar sesama anjing pesuruh memang biasa terjadi. Einar sendiri beberapa kali mengalaminya. Bekas luka di dagunya adalah salah satu kenangan berdarah—pengingat bahwa hidup sebagai budak tak pernah benar-benar tenang, bahkan di antara sesama.

Matahari mulai terbenam ketika rombongan mereka berbelok ke sebuah jalan kecil. Jalan itu sama sekali tidak terlihat dari jalan utama. Belokannya berada tepat di sebuah tikungan tajam, terhalang pepohonan rimbun. Kalau tidak belok ke sana, Einar tak akan pernah tahu jalan itu ada.

Lihat selengkapnya