Shadow of the Forgotten Flame

Sadille N. Mouren
Chapter #3

The Lone Survivor

Yang ada dalam benak si serigala kecil hanyalah berlari. Kaki-kaki kecilnya terus bergerak tanpa henti, menembus gelap malam dan kerimbunan hutan. Ia tidak peduli ke mana tujuannya, tidak peduli seberapa parah luka di wajahnya. Hal terpenting baginya adalah menyelamatkan nyawa.

Kau harus hidup… Kata-kata terakhir induknya terus menggema di benaknya, bagai suara yang terperangkap dalam gua. Kalimat itu menjadi mantra yang memaksa tubuhnya bertahan di tengah ketakutan dan rasa sakit. Ia tidak tahu bagaimana caranya hidup tanpa kelompok, tetapi nalurinya berkata hal yang sama: bertahan hidup.

Ia terus berlari hingga tubuhnya kehabisan tenaga. Napasnya memburu, kakinya mulai terasa sakit, dan lajunya melambat seiring waktu. Akhirnya ia terpaksa berhenti ketika warna langit mulai memudar. Malam segera berlalu. Kabut tipis melayang di udara, perlahan turun menjadi embun. Napasnya tersengal dan dadanya naik turun dengan cepat. Aroma tanah basah bercampur dedaunan memenuhi hidungnya. Hutan di sekelilingnya terasa asing, tapi tidak ada waktu untuk kebingungan. Ia butuh tempat berlindung.

Matanya menangkap sebuah pohon besar di kejauhan, tegak kokoh di antara pepohonan lain. Di antara akar-akar yang menyembul ke permukaan tanah, sebuah lubang menganga.

Serigala kecil mendekat, ragu-ragu. Lubang itu bisa saja sudah dihuni rubah, ular, atau anjing hutan yang siap menerkamnya kapan saja ia lengah. Ia mengendus hati-hati, kepalanya direndahkan, telinganya menegang, bersiap mundur jika bahaya tercium di udara.

Namun, yang tercium hanyalah bau tanah lembap dan daun kering. Tidak ada tanda-tanda kehidupan lain.

Serigala kecil menghela napas lega.

Dengan cakar kecilnya yang masih gemetaran, ia menggaruk-garuk daun dan serpihan kayu kering yang nyaris menutupi lubang. Setelah dirasa cukup, ia masuk ke dalamnya.

Di dalam sana, kegelapan menyelimuti. Ia meringkuk, membiarkan tubuh kecilnya tenggelam di antara dedaunan kering. Begitu ketegangan perlahan surut, luka-lukanya mulai terasa lebih perih. Ngilu, bagai duri tajam yang menusuk kulitnya. Setiap goresan terasa membakar. Mata dan wajah sebelah kanannya berdenyut panas. Ia baru menyadarinya. Penglihatannya buram sebelah, seperti kabut tebal yang tak kunjung hilang. Tubuhnya bergetar, sebuah rengekan lirih keluar dari tenggorokannya. Ia menggulung tubuh lebih erat, merapatkan telinganya ke belakang, menyelipkan ekornya di antara kedua kaki belakangnya.

Ia berharap semua yang terjadi semalam hanyalah mimpi buruk. Tapi tidak ada mimpi buruk yang terasa semenyakitkan ini.

Tidurnya panjang, namun jauh dari nyenyak. Mimpi buruk membayang. Manusia-manusia dengan wajah mengerikan. Teriakan-teriakan marah. Api yang berkobar pada obor. Anggota kelompoknya dibantai. Ia sendirian, meringkuk di balik semak-semak—kecil, rapuh, ketakutan di tengah kekacauan. Kilasan-kilasan itu terus berulang dalam mimpinya, membuatnya gelisah dan melenguh dalam tidur.

Menjelang sore, ia terbangun. Tubuhnya masih terasa lelah, tidurnya tidak benar-benar memberinya istirahat. Tapi setidaknya, luka-lukanya tidak sesakit semalam. Rasa lapar yang mencengkeram perutnya kini menjadi satu-satunya hal yang bisa ia rasakan.

Bukan hal yang buruk bagi makhluk yang hidup dengan naluri. Itu berarti keinginannya untuk hidup masih ada.

Maka, ia bangkit. Saatnya mencari makan.

Serigala kecil masih mengingat bagaimana kelompoknya berburu. Kijang, babi hutan, atau kambing gunung biasanya menjadi mangsa utama mereka. Jika buruan sulit ditemukan, mereka mendekati pemukiman manusia untuk mencuri domba, ayam, atau bahkan anak sapi. Dari semua itu, babi hutan dan domba muda adalah favoritnya.

Tapi sekarang, ia sendirian. Ukurannya tak lebih besar dari seekor anjing penjaga. Berburu hewan sebesar itu adalah hal yang mustahil.

Ia tahu diri. Mencari mangsa yang lebih kecil adalah pilihan terbaik yang ia miliki. Perlahan, ia menyusuri semak dan perdu. Penglihatannya mungkin buram sebelah, namun matanya yang masih sehat seharusnya sudah cukup untuk mengamati gerakan kecil di antara dedaunan. Serangga, setidaknya, bisa mengganjal perut. Tapi ternyata, menangkapnya tidak semudah yang ia kira. Berkali-kali ia terpeleset di tanah yang licin, tersengat makhluk yang berusaha ia tangkap, atau sekadar luput karena refleksnya yang belum begitu terlatih.

Ia memang belum lama belajar berburu. Gerakannya masih canggung, instingnya belum cukup terasah. Ia tak tahu apakah mampu bertahan hidup atau tidak.

Namun, hutan ini tidak terlalu buruk. Tak jauh dari tempatnya berlindung, terbentang sebuah sungai kecil. Alirannya tenang, memantulkan bayangan bulan di permukaannya. Ikan-ikan kecil berenang santai, tidak menyadari keberadaan serigala kecil di tepian. Rupanya, mereka terlalu lama tidak bertemu pemangsa. Lama ia memandangi ikan-ikan tersebut. Bertanya-tanya apakah hewan itu dapat dimakan. Induknya belum pernah memberinya ikan. Maka, ia coba-coba saja untuk menangkapnya, yang ternyata bukan usaha yang mudah. Cakarnya terus terpeleset di batu yang licin, dan lebih dari sekali ia hampir jatuh ke dalam air.

Ia tidak menyerah.

Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya cakarnya berhasil menyambar seekor ikan. Kecil, memang. Tapi bagi perut kecilnya yang sudah kosong seharian, itu lebih dari cukup. Dan, rasanya ternyata tidak buruk. Tidak selezat kambing muda, namun lebih baik daripada serangga-serangga menyedihkan atau katak.

Hari berganti hari, serigala kecil mulai terbiasa dengan kehidupan barunya. Dua bulan penuh perjuangan telah mengasah insting dan ketahanannya. Kini, ia sudah terbiasa menangkap ikan dan memburu tikus tanah. Namun, saat keadaan memaksanya, ulat atau serangga merupakan pilihan terbaik.

Hidup soliter ternyata jauh lebih sulit. Harus berburu sendirian dan tidak ada yang menjaganya saat tidur. Setiap kesalahan bisa berarti kelaparan, atau bahkan kematian yang mengenaskan.

Ia pernah mengejar seekor kelinci. Namun berakhir dengan terjerat di semak berduri, sementara mangsanya kabur entah ke mana. Pernah juga, ia salah mengira seekor landak sebagai tikus—hal itu harus ia bayar dengan beberapa duri yang menusuk hidungnya. Katak jauh lebih mudah ditangkap, tapi rasanya tidak enak, dan mereka berlendir. Kodok tidak jauh berbeda, tapi banyak dari mereka yang beracun.

Lihat selengkapnya