Matahari telah bergulir cukup jauh dari atas kepala sejak rombongan ini memulai kembali perjalanan siang itu. Einar bersyukur atas langit yang terlihat bersahabat. Matahari tidak terlalu terik dan udara terasa sejuk seiring dengan datangnya musim dingin. Embusan angin lembut membawa aroma dedaunan basah, memberikan sedikit kenyamanan di tengah perjalanan panjang.
Namun, Boyd masih sediam kue basi di atas nampan. Bahkan, ia sekarang menghindari kontak mata dan lebih sering menatap ke dalam hutan dengan mata memicing.
Hal itu membuat Einar bertanya-tanya, apa yang dilihat temannya di sana. Atau apakah sesuatu mengusiknya. Mungkinkah ia menunggu sesuatu. Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang malah membuatnya paranoid, mengingat reputasi jalur perdagangan ilegal yang katanya tidak bersahabat.
Tapi, ini kan muatan milik Magnus Lennox! pikir Einar. Ia bahkan mampu membayar tiga ksatria dan seorang penyihir untuk menjaga muatannya. Hanya orang dungu atau hendak bunuh diri yang berani mengganggu.
Tapi, isi kepala Boyd mungkin tidak sejalan dengan pikiran Einar.
"Kau… masih ingat pertanyaan ku siang tadi?" tanya Boyd terlalu tiba-tiba, membuat apapun yang Einar pikirkan buyar begitu saja. Suaranya bahkan terdengar lebih berat.
Einar memakukan pandangan pada anak itu. Ia memiringkan kepalanya. "Soal apa? Kau tidak serius soal… ‘pergi’ tadi kan?" balas Einar dengan alis terangkat.
Wajah Boyd menggelap. “Sayang sekali… aku tidak sedang bercanda." Ia mengucapkannya perlahan, seakan tengah memberikan pemahaman pada Einar.
Dan, Einar tak suka itu.
Ia tak suka cara Boyd memberi penekanan pada setiap kata yang ia ucapkan. Boyd yang dikenalnya tidak pernah seserius ini. Selalu ada ekspresi di wajahnya. Entah cengiran tolol, bibir cemberut yang ditekuk terlalu dalam, atau hanya sekadar tatapan kelewat tajam yang sering disalahartikan sebagai tantangan berkelahi.
Einar mengerjap. Lalu… ia merasakan perubahan-perubahan kecil. Laju kereta sedikit melambat. Guncangannya tidak sekeras sebelumnya. Mereka memang melewati beberapa tikungan. Ia menatap para ksatria dan penyihir yang mengekor di belakang, lalu kembali pada Boyd. Tidak ada suara serangga ataupun burung yang kerap terdengar, seakan ada sesuatu—atau seseorang—yang mengintai di balik bayangan hutan.
“Apa yang kau lakukan?" suara Einar serendah bisikan angin malam. Matanya menyipit, berharap menemukan sesuatu dalam ekspresi Boyd.
"Dengar," Boyd menarik kerah tunik Einar dengan kasar, mendekatkan wajah mereka. “Kau tidak ada dalam rencana kami. Tapi, pasti ada alasan bagus kau berada dalam rombongan terkutuk ini."
"Le-lepas! Bicaramu melantur." Einar mulai frustrasi, kepalanya terasa berkabut dipenuhi ucapan teka-teki yang tiba-tiba Boyd lemparkan. Ia berusaha menepis cengkraman anak itu. Sia-sia. Boyd lebih kuat darinya.
"Dengar, otak siput!" Boyd mendesis. “Kalau kau mau hidupmu panjang, sekolah, dan semuanya… kumohon, dengarkan aku."
Suaranya bergetar, seolah ada sesuatu yang sangat mendesak. "Percayalah padaku. Sembunyi… dan jangan bersuara. Aku berjanji, aku akan membantumu." Boyd melepaskan cengkeramannya perlahan, kemudian meraih selimut kumal yang mereka pakai semalam. "Akan kupastikan kau mendapat kesempatan untuk melarikan diri. Mulai dari sini, merunduklah!"
Kereta memasuki jalanan yang lebih sempit. Di kanan-kiri mereka, hutan lebih rapat. Pohon-pohon besar dengan dahan-dahan menjuntai membentuk kanopi nyaris rapat di atas jalan. Menyaring sempurna sinar matahari yang masuk, seperti langit mendung sebelum badai. Jalanan berbatu dan berlubang membuat rombongan melambat. Einar menggigil, bukan karena dingin, tetapi karena firasat buruk yang tiba-tiba menyergap. Ia menunduk, meringkuk di bawah selimut, mencoba memercayai Boyd meski hatinya dikuasai kegelisahan. Matanya tetap mengamati dari celah-celah kain. Pikirannya berputar-putar—apa yang menanti mereka?
Kegelisahan berubah menjadi ketakutan nyata saat salah satu kuda tiba-tiba menunjukkan kejanggalan. Kuda itu berderap tak terkendali.
"Hei! Tenang, tenang!” sahut si penunggang.
"Kenapa dengan kudamu?” dari depan, suara sais menyahut
"Entahlah. Sebelumnya dia baik-baik saja."
Keganjilan tidak berhenti di situ. Kuda yang lain merangsek menyusul kereta, kakinya menapak-napak tak tentu arah dan meringkik panik, seakan merasakan bahaya. Penunggang di atasnya menarik-narik tali kekang dengan sia-sia. Ketika kuda itu mencapai tikungan tajam, suara keras tumbukan tajam menggema, disusul teriakan nyaring.
"Aaaah! Kakiku! Sialan! Kakiku!" pekiknya.
Rombongan berhenti mendadak begitu mencapai tikungan. Kuda lain mulai meringkik gelisah. Bagi Einar, pemandangan itu membuatnya ngilu. Bukan karena pohon besar tumbang yang melintang di jalan. Atau karena bebatuan besar yang tampak sengaja disebar di jalur setelahnya. Tetapi karena tubuh si penunggang yang terkapar di tanah dengan tungkai dalam posisi janggal. Tulang keringnya mencuat keluar menembus daging. Darahnya mengucur deras, membuat siapapun yang melihatnya bergidik ngeri.
Einar dapat membayangkan kuda tadi berlari kencang dan gelisah, sebelum menabrak pohon tumbang tersebut. Kemudian si penunggang terlempar dari kuda dan menghantam batu dengan kaki lebih dulu.
Masih mending kaki duluan, pikirnya dengan nyeri yang menjalar ke perut. Kalau kepala dulu, sekadar berteriak pun niscaya mustahil.
Sementara si penunggang terkapar dan sibuk memekik di tanah, kuda tunggangannya tidak ditemukan di mana pun dalam jangkauan pandang Einar.
Salah seorang penunggang mendekati pangkal pohon, sang sais turun dari kereta dan mengikutinya. “Ini mencurigakan. Potongannya terlalu bersih… dan batu-batu semacam itu hanya diperoleh dari sungai," ujarnya. "Aku akan memeriksa sekitar. Kau bantu dia.”
Sang sais menengok ke arah hutan sebelum mengangguk. “Tetap waspada. Ada yang salah di sini.”
Si penunggang memutar balik kudanya kembali ke jalur yang sebelumnya dilalui. Ia memacunya perlahan dan hati-hati. Dari kejauhan, Einar melihat kepalanya menoleh dari satu sisi ke sisi lain—gerakannya tampak penuh perhitungan, seperti pesuruh tua yang sedang menilai gandum dalam gudang persediaan musim dingin.