Shadow of the Forgotten Flame

Sadille N. Mouren
Chapter #6

The Shadows of the Forest

Einar berlari masuk ke dalam hutan. Semakin jauh, semakin dalam. Langkahnya tergesa dan tak tentu arah. Ranting-ranting kecil yang berserakan di tanah patah di bawah pijakannya, meninggalkan suara gemeretak halus yang nyaris tenggelam dalam desiran angin di antara pepohonan tinggi menjulang. Ia terus berlari, napasnya tersengal, dadanya terasa sesak. Tak ada tujuan yang pasti. Hanya dorongan naluriah untuk menjauh dari kekacauan yang baru saja terjadi. Sesekali, ia menoleh ke belakang. Rasa cemas menggerogoti pikirannya. Padahal, tidak ada siapa pun yang mengejarnya.

Kengerian tadi begitu nyata, tapi terasa seperti mimpi buruk yang tiada akhir. Einar pernah melihat kematian, namun bukan yang seperti ini. Ada perbedaan besar antara kematian yang datang secara alami dan kematian yang disengaja. Orang yang mati karena usia tua atau sakit setidaknya bisa mempersiapkan diri. Mereka bisa menyelesaikan urusan mereka lebih dulu.

Sementara kematian tragis seperti yang menimpa Boyd... terasa jauh lebih menyedihkan. Seperti halnya kematian kedua orang tuanya. Mau tidak mau, ia mengingatnya kembali. Kematian yang menyedihkan. Ayahnya mati dalam medan perang, tanpa tubuh untuk dimakamkan, tanpa benda peninggalan untuk dikenang. Dan ibunya, mati tenggelam dalam sungai karena tak cukup kuat menanggung kesedihan. Itu pilihan yang egois, tapi ia tak pernah membenci ibunya.

Einar menggigit bibirnya. Ia menahan perasaan yang bergemuruh di dadanya. Ia tidak pernah lupa bagaimana rasanya berduka. Tapi kini, duka itu harus bertambah dengan kematian seorang teman. Boyd adalah seseorang yang telah banyak berbagi cerita dengannya. Einar tahu impian anak itu—yang sayangnya tidak akan pernah terwujud. Kematian Boyd sendiri merupakan sebuah ironi. Seandainya ia tidak menolongnya, mungkin Einar lah yang terbaring kaku di sana. Sebuah beban berat menekan hati Einar.

Ia menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir perasaan bersalah yang melilit pikirannya. Tidak ada gunanya meratap. Sekarang ia harus memikirkan cara bertahan hidup.

Napasnya masih berat. Tubuhnya gemetar karena kelelahan dan ketegangan yang belum reda. Tapi pikirannya tak henti berputar, terpecah antara dua hal: ke mana ia harus pergi, dan bagaimana mencari makanan. Ia tidak tahu di mana letak pemukiman terdekat. Itu berarti ia harus bersiap menghadapi kemungkinan terburuk—bertahan hidup di hutan, sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya.

Setelah berlari cukup jauh, Einar memperlambat langkahnya, berusaha mengatur napas yang memburu. Dadanya naik turun cepat, dan udara terasa dingin menusuk paru-parunya. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Hutan di sekitarnya sunyi, hanya diiringi suara dedaunan yang berdesir tertiup angin dan sesekali cicit burung yang terdengar samar.

Ia bersandar pada sebatang pohon dan membiarkan tubuhnya merosot ke tanah. Kepalanya menengadah, mencari udara, sementara matanya terpejam. Kewaspadaannya turun perlahan, tetapi telinganya menolak untuk beristirahat.

Lalu, terdengar suara dahan kering yang patah.

Seketika tubuhnya menegang. Einar membuka mata, jantungnya kembali berdegup kencang. Ia menahan napas dan menelusuri setiap sudut hutan dengan pandangannya.

Di sana. Sosok itu berdiri di area terbuka, hanya beberapa puluh langkah darinya. Seorang pria—membawa kapak besar bermata dua di tangan, dan tumpukan kayu kering di punggungnya.

Dengan cepat, Einar kembali ke balik pohon, menempel erat pada kulit kayu yang kasar. Jari-jarinya mencengkeram tanah dan daun kering. Keinginannya untuk meminta bantuan bertarung dengan rasa takut yang menghimpit dada. Penampilannya yang kotor dan berlumuran darah bisa saja membuat orang itu curiga. Tapi jika pria itu adalah seorang pemburu budak… ia akan kembali terjerat dalam kuasa bangsawan lain. Lagi.

Pelariannya akan sia-sia. Nyawa Boyd akan sia-sia.

Tapi… tak ada penjual budak yang mencari kayu bakar, pikirnya. Dan ia membutuhkan pertolongan.

Ia menelan ludah, mengumpulkan keberanian. Maka, Einar menguji peruntungannya.

"Ha-halo! Tuan, yang di sana!" teriaknya, suaranya bergetar.

Pria itu menoleh cepat. Ekspresinya waspada, tubuhnya tegang. "Siapa itu?! Tunjukkan dirimu!" Ia mengeratkan genggaman pada gagang kapaknya, matanya menyapu sekeliling.

"To-tolong! Aku… aku tak bermaksud jahat!" Einar terengah, berusaha mengatur napas sambil berseru. "Aku cuma butuh bantuan!"

Perlahan, ia mengangkat kedua tangannya yang kosong dan menampakkan diri dari balik pohon. Tubuhnya masih gemetar, lututnya lemas, tapi ia berdiri tegak sebisanya. "Tolong jangan sakiti aku. Kumohon…"

Pria itu memicingkan mata, lalu menurunkan kapaknya perlahan. Dahi pria itu berkerut dalam, ragu, tapi tidak menunjukkan ancaman. Setelah hening beberapa saat, ia akhirnya berkata, "Wah, sepertinya harimu benar-benar kacau. Ikuti aku."

Hanya begitu saja. Perkara mudah rupanya.

Einar menghela napas lega, meski dadanya masih sesak. Ia tidak percaya sepenuhnya, tentu saja. Tapi entah bagaimana, pria itu sepertinya tidak curiga dan bersedia menolong.

Ia mengikuti pemuda jangkung tersebut beberapa langkah di belakang, menjaga jarak. Jika pria itu tiba-tiba berubah pikiran, atau melakukan sesuatu yang mencurigakan, ia bisa lari.

Matahari sore menyorot samar di sela-sela dedaunan, menciptakan corak cahaya dan bayangan di jalur yang mereka lalui. Sambil berjalan, Einar memerhatikan sosok pemuda itu lebih saksama. Kulitnya cokelat keemasan—khas orang-orang dari wilayah timur. Rambut ikal sebahunya jauh lebih gelap dari kulitnya, separuhnya terikat rendah di belakang kepala. Mata hitamnya tajam, dan wajahnya kelewat tampan untuk ukuran seorang rakyat jelata. Tubuhnya tidak besar, tetapi otot-ototnya tampak kuat. Ia membawa banyak potongan kayu bakar di punggung tegaknya. Anting panjang di telinga kanannya berdenting lembut tiap kali langkahnya terlalu berat. Jika pria itu mengenakan pakaian yang lebih baik, Einar mungkin mengiranya sebagai bangsawan. Bukan sekadar seorang pencari kayu bakar.

Tak lama kemudian, mereka sampai di sebuah sungai kecil. Airnya jernih, mengalir pelan di antara bebatuan yang licin oleh lumut. Pria itu mulai mengisi kantong airnya, sementara Einar bergegas turun, membasuh wajah dan tangannya. Ia menikmati kesegaran air yang seketika menyejukkan kulitnya yang kotor dan lengket. Sayangnya, ia tak punya pakaian ganti. Hanya ini yang tersisa.

"Pakai ini untuk sementara!" Pria itu melepas tuniknya dan memberikannya kepada Einar. "Nanti akan kuberikan pakaian yang lebih layak."

Pakaian itu kebesaran dan berbau keringat. Tetap saja, Einar menerimanya dengan rasa syukur. Setidaknya, pakaian itu bersih dari darah. Itu saja sudah cukup melegakan. Ia memeras pakaian lamanya lalu hendak menjejalkannya ke dalam tas serut yang melingkar di tubuhnya.

Dua potong roti kering masih tersisa di dalam tas. Pampasan Boyd dari dapur. Agak berjamur dan menyedihkan. Setidaknya masih bisa dimakan, pikirnya—untuk ukuran budak yang terbiasa makan makanan di bawah standar. Ia mengurungkan niatnya menjejalkan pakaian basah itu.

“Ada apa?" rupanya Zeke menyadari kebimbangannya. Matanya tertuju pada pakaian basah yang kini terlipat asal-asalan di tangan Einar.

Einar mendongak. Ia menggeleng pelan. “Tak ada apa-apa. Ini… kupegang saja.”

Mereka kembali berjalan. Menyeberangi sungai kecil, menyusuri tepiannya. Pria itu tetap diam sepanjang perjalanan, wajahnya tenang dan serius. Bukan serius yang disengaja, tapi memang seperti itulah raut mukanya. Einar memilih tidak mengusiknya, hanya mengikuti dalam hening. Entah bagaimana, ia merasa bisa memercayainya—sebuah perasaan yang terasa asing, bahkan berbahaya, bagi seseorang yang seumur hidup hanya mengenal cemoohan dari para bangsawan.

Lihat selengkapnya