Shadow of the Forgotten Flame

Sadille N. Mouren
Chapter #7

Echoes of the Forbidden

Serigala kecil terbangun karena guncangan yang cukup keras. Ia mengerjap perlahan, mencoba memfokuskan pandangannya untuk mengenali sekeliling. Tapi ternyata pemandangannya sama sekali tak menghibur. Ia terkurung dalam kurungan kayu berjeruji logam. Di dalam entah apapun yang tampaknya tengah melaju kencang. Guncangan keras membuat tubuhnya terhempas ringan ke sisi kandang setiap kali ia mencoba berdiri. Suara berderak konstan terdengar dan udaranya pengap sekalipun berkas-berkas cahaya masih dapat menembus apapun itu yang menutupi tempat ini.

Ia bukan satu-satunya hewan di tempat ini. Di setiap sisi kandangnya terdapat kurungan lain, masing-masing berisi hewan berbeda.

Seekor anak kucing besar berpola loreng meringkuk di dalam kandang. Tampak lesu dan tatapan matanya enggan. Ia merindukan induknya, serigala kecil tahu perasaan itu.

Di kurungan sebelahnya, seekor gagak dengan bulu hitam mengilap mematuki jeruji kandangnya dengan tidak sabar. Matanya yang segelap malam mendung berkilat-kilat tajam, penuh waspada.

Di sisi lain, seekor burung hantu berwarna cokelat terkantuk-kantuk. Ia terlihat lebih cerdas daripada si burung gagak. Setidaknya ia tak membuat seisi tempat ini berisik dengan mematuki jeruji logam.

Seekor anak kucing lain berputar-putar gelisah dalam kandang di pojokan. Tapi, alih-alih meringkuk ketakutan, bulu-bulu sewarna pasirnya justru berdiri tegak. Serigala kecil dapat merasakan kemarahan anak kucing itu.

Di sisi lain, seekor rubah berbulu kemerahan menggigiti ekornya sendiri, seolah mencoba menenangkan diri. Dan, masih ada beberapa hewan lain.

Rasa takut tiba-tiba menyergap serigala kecil. Ia seharusnya pergi mengikuti arah burung bermigrasi. Tapi ia tak tahu benda ini membawanya ke mana. Ia menggonggong panik, berharap seseorang mendengarnya dan membebaskannya dari dalam kurungan. Namun suaranya teredam guncangan dan derak yang konstan terdengar. Benda yang menutupi seluruh kandang menghalanginya dari pemandangan luar, membuatnya semakin terkurung dalam ketidaktahuan. Ia tak bisa melihat burung-burung di langit untuk menebak arah mereka pergi.

Dengan panik, ia membenturkan tubuh kecilnya ke dinding kandang. Taringnya mulai menggerogoti jeruji logam, mencoba menciptakan celah untuk melarikan diri. Namun, logam lebih kokoh dari batang pohon. Ia hanya berhasil membuat giginya nyeri dan tubuhnya semakin lelah. Beberapa hewan menoleh, memberikan tatapan malas dan kosong seolah berkata, Percuma. Tak lama, mereka kembali memalingkan wajah, tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Serigala kecil menyerah. Ia meringkuk dalam kandangnya yang sempit. Tubuhnya gemetar. Ia berharap akan ada kesempatan untuk melarikan diri. Tapi hati kecilnya meragukan itu.

Setelah banyak guncangan dan satu kali berhenti, barulah ia mengerti—ini kereta. Sebuah kereta angkut. Ditarik seekor kuda. Mereka berhenti sekali dalam sehari. Sang sais memberi makan hewan-hewan dan membersihkan kurungan mereka.

Serigala kecil segera mengenali sais itu. Pria yang dapat berbicara dengan ular. Wajahnya pucat, dagunya lancip, dan matanya cekung seperti bangkai yang masih berkedip. Sama seperti sebelumnya, ia menguarkan aroma amis yang berpadu dengan batu basah. Persis seperti reptil. Ia tidak ditemani siapa pun, hanya bepergian seorang diri. Tapi siapa juga yang butuh teman kalau bisa mengendalikan ratusan ular hanya dalam sekali bisikan?

Setiap kali mereka beristirahat, pria itu akan menurunkan dan membuka kandang. Namun, ia tak pernah mengeluarkan gagak atau burung hantu dari kurungan. Pada saat itu, ia selalu memanggil ular-ularnya untuk berjaga—memastikan tak ada yang melarikan diri.

Dari situlah serigala kecil menyadari satu hal—ia menuju arah berlawanan dari tujuannya. Jauh, jauh sekali dari tempat yang ingin ia tuju.

Udara semakin dingin seiring waktu. Nafas serigala kecil berubah menjadi uap tipis setiap kali ia mengembuskannya. Suhu dingin menggigit ke tulang, membuatnya kesulitan tidur di malam hari.

Kemarin, anak kucing loreng akhirnya mati. Ia mencoba kabur ketika kandangnya dibuka. Tetapi dalam sekejap, Umbra—ular besar bersisik hitam milik pria itu—melilit tubuhnya erat. Hanya butuh sesaat sebelum tubuhnya tak lagi bergerak. Namun, sebelum itu terjadi, ia memang sudah tampak nyaris tak bernyawa—tak menyentuh makanannya selama berhari-hari, tak merespons apapun seperti seharusnya. Mungkin lebih baik begitu.

Beberapa hari kemudian, kereta berhenti. Serigala kecil mendongak, mendengar suara berderit nyaring seperti suara pintu dibuka, namun suaranya jauh lebih berat daripada pintu rumah manusia pada umumnya.

Ketika penutupnya dibuka, serigala kecil menyadari, ia berada dalam sebuah benteng. Dinding tingginya terbuat dari susunan batu yang ditumbuhi lumut di sana-sini. Dua menara menjulang di sudut kanan dan kiri, berdiri seperti pohon tinggi yang mengawasi langit dalam bisu. Gerbangnya berwarna hitam legam, besar dan berat. Suara deritnya yang nyaring memekakkan telinganya saat ditutup kembali. Dibutuhkan empat orang yang memakai pakaian berpelat logam untuk menutupnya secara sempurna.

Di dalam tembok benteng, sebuah kastil berdiri. Dinding-dinding batunya menjulang tinggi, kusam oleh lumut. Dirambati semak kering seperti urat mangsa tua yang enggan mati. Retakan-retakan tipis seperti celah-celah penuh misteri dalam gua. Bayangannya menganga seperti tebing yang siap menelan anak rusa tersesat. Tanah di sekitarnya diselimuti lapisan es tipis yang berkilau pucat di bawah cahaya redup sinar matahari. Kastil itu seakan menyimpan suatu rahasia.

Dua orang pria datang tergopoh-gopoh begitu kereta berhenti di pelataran. Yang satu seperti pohon tua, sementara yang lain seperti beruang. Pakaian mereka berdebu dan kusam, sama-sama berbau jelaga.

"Urus hewan-hewan dan barang lainnya!" perintah pria ular dengan nada dingin, lalu ia pergi meninggalkan mereka, diikuti Umbra yang melata di dekat kakinya.

Pesuruh yang seperti beruang menatap iba hewan-hewan dalam kurungan sebelum mulai mengangkat kandang-kandang serta peti-peti dari atas kereta. Ia membawa semua itu masuk satu per satu ke dalam kastil melalui pintu belakang. Sementara yang tua melepas kuda dari kereta dan membawanya ke istal yang letaknya tak jauh.

Serigala kecil menyalak ketika kandangnya mendapat giliran dibawa masuk. Setelah melalui pintu yang sama, ia dibawa turun ke rubanah yang dingin dan lembap. Beberapa ular berkeliaran di sana, namun pria beruang tidak tampak terganggu. Di sana, deretan kandang yang lebih besar tertanam di dinding batu. Satu per satu hewan dipindahkan ke kurungan mereka yang baru, termasuk serigala kecil.

Dua pesuruh yang mengurus hewan-hewan tampak lebih ramah dibandingkan si pria ular. Mereka memberi makan tepat waktu. Kadang membelai hewan-hewan dalam kurungan jika sempat. Serigala kecil tidak yakin apakah mereka memang menyayangi hewan, atau hanya sekadar merasa kasihan. Tapi bagi serigala kecil, itu sama saja. Selama ada sedikit kehangatan yang dapat ia rasakan, walau tak dapat dibadingkan dengan belaian induknya.

Namun, seiring waktu berlalu, satu per satu, hewan-hewan dibawa pergi. Pertama, rubah. Lalu burung hantu. Kemudian gagak. Lalu hewan-hewan lain setiap beberapa hari sekali. Kucing gurun menyusul belakangan. Mereka tak pernah kembali. Hingga akhirnya, hanya serigala kecil yang tersisa.

Hari itu, pria ular datang. Ia mengeluarkannya dari kurungan, memasukkannya ke dalam kandang yang lebih kecil, dan membawanya keluar dari rubanah.

Serigala kecil bertanya-tanya, ke mana dua pesuruh yang biasa mengurus mereka. Hewan-hewan lain dibawa pergi oleh si pesuruh yang seperti beruang. Kali ini, pria ular sendiri yang membawanya sendiri.

Setelah melewati beberapa lorong gelap, mereka memasuki sebuah ruangan berpenerangan minim. Aroma dupa, rempah, dan amis darah bercampur, membuat bulu di punggungnya berdiri dan perutnya bergejolak. Di tengah ruangan, sebuah pola aneh terukir di lantai batu. Potongan-potongan daging berwarna merah muda diletakkan di setiap sudut pola, mengilap seperti isi perut yang baru dikeluarkan.

Serigala kecil diletakkan di tengah pola. Ia ingin melawan, tetapi entah karena suasana atau aromanya, tubuhnya terasa lemas. Perlahan, rasa kantuk menghantamnya. Bukan. Bukan kantuk. Matanya terpejam, namun benaknya tidaklah tidur.

Lalu rasa dingin itu menjalar perlahan dari kakinya. Sekejap kemudian, dingin itu berubah menjadi rasa sakit yang mengoyak seluruh tubuhnya. Serigala kecil melolong. Matanya membelalak.

Ia menggeram kesakitan. Seluruh tubuhnya seakan ditarik ke segala arah. Seakan dicabik dari dalam oleh kekuatan tak kasat mata. Tulangnya berderak, seakan sedang dibentuk ulang. Darahnya mendidih seperti cairan panas yang menyusuri urat nadinya.

Ia menggeliat di lantai batu. Mencakar lantai dan udara. Apapun yang dapat dijadikan pijakan, namun tak pernah ada. Penglihatannya kabur. Dunia di sekelilingnya berputar. Bulu-bulunya seakan luruh. Kulitnya terasa panas, seolah terbakar dari dalam. Rasa sakit itu luar biasa. Ia bertanya-tanya, apa yang sedang terjadi padanya? Kenapa suara lolongannya terdengar berbeda? Ia ingin rasa sakit ini segera berakhir. Apakah ini saatnya ia mati? Jika kematian terasa sesakit ini… mungkin lebih baik ia tak pernah hidup.

Lihat selengkapnya