Shadow of the Forgotten Flame

Sadille N. Mouren
Chapter #8

Shackles of Humanity

Ruangan itu remang, hanya diterangi cahaya obor yang meretih di sudut-sudutnya. Udara dingin menyelinap masuk dari celah pintu dan jendela yang ukurannya tidak seberapa, menggigit kulit seperti ribuan duri halus semak beracun. Bocah itu—yang dulunya seekor serigala—menggigil hebat. Ia pasti belum terbiasa dengan tubuh barunya. Tanpa bulu, kulitnya rentan terhadap dingin. Mungkin akan begitu juga terhadap panas.

Igor memerhatikannya dengan saksama. Sesaat ia terkesima. Bocah itu benar-benar menyerupai anak manusia. Tapi menyedihkan. Kurus. Cekung. Dan kebingungan.

Tapi dirinya sendiri tak lebih baik. Ia pun menyedihkan—lebih dari itu, sebenarnya. Diperalat. Diperbudak. Dikuras hingga tetes darah terakhir. Itulah nasib pesuruh di kastil ini. Cassius Morcant selalu punya cara. Selalu ada celah untuk menundukkan orang-orang lemah sepertinya.

Dan ketika Igor berpikir soal 'tetes darah terakhir', itu bukan kiasan. Ia benar-benar kehilangan putranya. Dikuras habis seperti kerbau tua yang tetap dipaksa menarik beban, lalu dibantai seperti tak pernah berarti. Dan ia merasa, entah bagaimana, seolah tangannya sendirilah yang memegang pisau jagal itu. Ia yang diam. Ia yang tak berbuat apa-apa. Ia tak ingin mengingatnya. Terlalu berat. Terlalu menyakitkan.

Maka ia menarik napas panjang, menelan sesak yang menggumpal di dadanya, dan memusatkan perhatian pada bocah di hadapannya. Katanya, namanya Roan. Begitu yang sempat ia curi dengar dari percakapan Cassius dengan murid-muridnya. Tapi Igor tak melihat kaitan antara si bocah dan pohon rowan. Asal dinamai saja, barangkali. Nama itu terasa asing. Dingin. Seperti nasib yang tak pernah diminta.

Roan berjengit dan menarik diri saat Igor mencoba menutupi bahunya dengan handuk kasar. Yah, hewan liar memang tak terbiasa dipakaikan sesuatu. Tapi sejauh ini, anak itu tak melawan. Hanya takut. Bertolak belakang dengan putranya yang diam-diam memberontak lalu…

Sudah. Jangan ke sana.

Percobaan pertama gagal. Yang kedua juga. Baru pada percobaan ketiga, handuk itu berhasil bersandar di bahunya.

Ia membantu anak itu duduk lebih dekat ke obor, di kursi reyot yang satu kakinya nyaris lepas. Sedikit kehangatan mungkin akan membuatnya nyaman. Tapi, tentu saja mata tuanya membutuhkan cahaya untuk merapikan rambut anak itu. Dari balik lipatan bajunya yang kumal, Igor mengeluarkan sisir dan pisau cukur. Ia menyipitkan mata dan mulai merapikan rambut basah Roan dengan hati-hati. Anak itu masih berjengit setiap kali air menetes dari rambut ke kulitnya.

“Dingin, ya?" gumam Igor.

Tak ada jawaban. Tentu saja.

Ia tak tahu kenapa mulai mengajak anak itu berbicara. Bukankah seharusnya ia muak pada anak ini? Tapi perasaan itu tak muncul sebagaimana seharusnya. Justru yang muncul adalah rasa iba yang konyol dan tak pantas. Anak yang terlahir dari entah percobaan terkutuk apa yang dilakukan majikannya.

Anak di hadapannya ini... telah memakan bagian dari tubuh putranya.

Igor tahu bahwa anak ini tidak bersalah. Bukan salahnya ia memiliki naluri hewan liar. Bukan salahnya ia ditangkap dan dijadikan bahan eksperimen sihir. Ia hanya melakukan apa yang dikatakan naluri alaminya. Ia lapar, maka ia harus makan. Dan, kebetulan, daging segar putranyalah yang tersaji di atas piring.

Tapi memang ia sendiri tak bersalah? Padahal, baru beberapa saat lalu ia memutilasi tubuh Karl, putranya sendiri. Seperti tukang jagal yang memisahkan daging dari tulang. Tindakannya juga dipengaruhi insting untuk bertahan hidup. Untuk melindungi satu-satunya keluarganya yang tersisa. Isobel, cucunya.

Kini, si venefica mungkin tengah memilah-milah dan mengumpulkan bagian tubuh Karl untuk dirinya sendiri—seperti wanita tua yang memilih daging untuk hidangan makan malam. Untuk eksperimen gilanya sendiri. Dan, seperti biasa, ia akan menyisakan sedikit saja. Bukan karena kasihan, namun karena senang melihat orang lain menderita.

Apakah dengan sisa-sisa itu ia masih dapat memberikan pemakaman yang layak? Ia tak tahu. Tapi yang jelas, ia tak bisa menggali tanah kuburan. Tanah utara menjelang musim dingin tak pernah ramah. Nyaris sekeras batu, dan masih akan lebih keras lagi sampai puncak musim dingin. Sepahit kenyataan yang menyertainya.

Kebanyakan orang utara pada akhirnya membiarkan mayat-mayat keluarganya yang mati di tanah terbuka. Membiarkan burung pemakan bangkai memakan habis tubuh-tubuh tersebut hingga tersisa tulang-belulangnya saja. Hanya sebagian kecil yang tahan menyimpan tubuh-tubuh tersebut hingga musim semi. Hingga tanah cukup empuk untuk digali, lalu menguburnya dengan lebih layak.

Itu menyakitkan. Membiarkan orang yang kau cintai membusuk begitu saja, tanpa dikebumikan dengan hormat. Karl tak pantas menerima akhir seperti itu. Dan Roan, mungkin bisa menjadi satu-satunya hal baik yang tersisa.

Igor menarik napas dalam, lagi. Ia tidak bisa membiarkan anak ini tumbuh di bawah asuhan para monster. Bukankah monster hanya akan menciptakan monster yang lain? Ia akan membantu anak ini. Setidaknya itu yang dapat ia lakukan. Demi putranya yang telah mati. Agar kematiannya tidak sia-sia. Agar anak yang terbiasa hidup berdasarkan naluri ini bisa memiliki sesuatu yang sedikit menyerupai hati nurani manusia.

Mungkin, karena itulah Igor mulai berbicara. Ia menceritakan tentang dirinya kepada Roan. Tentang kehidupannya sebelum ia bekerja di dalam kastil terkutuk ini.

Ia dan keluarganya hanyalah petani miskin. Tinggal di perbatasan utara beriklim kejam. Mereka tidak memiliki lahan luas. Tidak dapat berlomba-lomba menanam moonpine yang bernilai tinggi seperti para bangsawan utara. Hanya kentang dan wortel yang menjadi sumber penghidupan mereka. Termasuk beberapa hewan ternak kecil.

Istrinya meninggal karena wabah dulu sekali. Yang tersisa hanya kedua putranya dan seorang cucu perempuan. Putra sulungnya jatuh sakit, sementara istrinya pergi dan tak pernah kembali. Tak ada yang membicarakannya. Tanpa dikatakan pun, semua orang tahu kenapa ia pergi.

Igor dan putra bungsunya, Karl, bekerja keras memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hasilnya hanya cukup untuk bertahan hidup. Pengobatan putra sulungnya tidak berjalan baik. Ia menjual ladang dan ternaknya demi mengobati putra pertamanya. Namun, semua itu sia-sia. Ia tetap saja mati. Di puncak musim dingin yang kejam.

Kehilangan segalanya membuatnya menyadari bahwa mereka tidak bisa bertahan di sana. Mereka mencari pekerjaan ke mana-mana. Menawarkan tenaga dari pintu ke pintu. Dari ladang ke ladang. Dari bangsawan yang satu ke bangsawan yang lain. Tidak ada yang tertarik mempekerjakan mereka. Tidak ada yang sudi mengeluarkan uang tambahan untuk dua orang pekerja, apalagi ditambah seorang balita yang tak bisa lepas dari pandangan orang dewasa. Merepotkan.

Hingga akhirnya mereka tiba di kastil ini—kastil milik Cassius Morcant

Peraturan di kastil ini sangat jelas: jangan banyak bicara, jangan ikut campur urusan majikan, kerjakan saja apa yang diperintahkan.

Igor mematuhi aturan itu. Karl… tidak. Ia tidak bisa sedikit saja berpura-pura tidak melihat dan mendengar. Berpura-pura menjadi boneka yang dikendalikan. Ia masih punya hati nurani. Dan kini, hati nurani itulah yang membunuhnya.

Igor tidak menyesal datang ke kastil ini. Setidaknya, kastil ini telah memberi keluarganya makan selama tujuh tahun terakhir. Ia hanya menyesal karena gagal melindungi putranya. Andaikan waktu dapat diputar, ia bersedia menggantikan putranya mati. Satu-satunya yang dapat ia lakukan sekarang adalah melindungi cucunya, Isobel—satu-satunya alasan untuk tetap bertahan hidup.

Tapi bagaimana? Isobel bahkan belum tahu bahwa pamannya telah mati. Igor tidak akan sanggup memberitahunya. Ia bahkan tidak ingin mengingat kejadian itu. Lebih baik ia tidak tahu apa-apa.

Lihat selengkapnya